HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Merawat Kultur yang Membuat Indonesia Nomor Satu

August 23, 2025 08:28
IMG-20250823-WA0013

Dari Perayaan Proklamasi di Pura Agung Besakih

Oleh Denny JA

HATIPENA.COM – Pagi itu, 22 Agustus 2025, kabut turun perlahan di lereng Gunung.

Saya duduk di area Pura Agung Besakih, Bali. Di hadapan saya, sebuah acara sederhana berlangsung, namun sarat makna.

Yayasan Bakti Keberagaman Indonesia merayakan Hari Proklamasi dengan cara yang berbeda. Bukan parade, bukan pidato panjang, melainkan bakti sosial lintas iman.

Seorang ibu paruh baya dari Banjar Karanganyar menghampiri saya. Ia membawa nampan berisi bunga kamboja dan air suci.

“Kami di sini, Pak, tidak kaya. Tapi kami punya semangat nyame braya—persaudaraan,” katanya sambil tersenyum.

Matanya berkaca-kaca. Ia bercerita bagaimana, ketika pandemi melanda, tetangga Muslim, Hindu, dan Katolik di desanya bahu-membahu: ada yang menyalurkan beras, ada yang membuka dapur umum, ada pula yang sekadar hadir menemani.

Kata-katanya sederhana, namun di situlah saya menemukan jawaban dari sebuah pengumuman yang mengejutkan dunia beberapa hari sebelumnya.

Indonesia dinobatkan nomor satu di Global Flourishing Index 2025 oleh Harvard University.

-000-

Apa Itu Global Flourishing Index?

Indeks ini berbeda dari ukuran ekonomi biasa. Ia bukan tentang GDP, bukan pula soal gaji atau kemewahan.

Flourishing adalah keadaan ketika hidup manusia tumbuh utuh—sehat jasmani, damai rohani, penuh makna, dilingkupi cinta, serta cukup aman secara material.

Enam domainnya mencakup:

1.  Happiness and Life Satisfaction – rasa bahagia dan puas dengan hidup.

2.  Mental and Physical Health – kesehatan jiwa dan raga.

3.  Meaning and Purpose – hidup dengan arah dan makna.

4.  Character and Virtue – integritas, kejujuran, dan kebaikan.

5.  Close Social Relationships – relasi hangat dengan keluarga dan komunitas.

6.  Financial and Material Stability – stabilitas dasar untuk hidup layak.

Indonesia meraih skor 8–8,5—mengalahkan Israel, Finlandia, hingga Meksiko.

-000-

Awalnya saya tak percaya. Benarkah Indonesia bisa ranking satu, mengalahkan negara-negara seperti Finlandia yang berturut-turut terpilih sebagai negara paling bahagia berdasarkan World Happiness Index?

Setelah saya pelajari studi ini, ada tiga keunggulan utama Indonesia:

1.  Kekuatan Relasi Sosial.

Dari gotong royong di kampung Jawa, arisan di kota, hingga banjar di Bali, orang Indonesia jarang benar-benar sendiri.

Keguyuban menjadi jaring pengaman yang tak terlihat.

2.  Makna dan Spiritualitas.

Di banyak bangsa maju, materialisme membuat hidup terasa hampa. Di Indonesia, agama dan spiritualitas memberi kompas batin.

Hidup sederhana pun terasa penuh tujuan.

3.  Perilaku Pro-Sosial

Dari tradisi zakat, sedekah, dana punia, (pemberian sukarela), hingga kebiasaan berbagi makanan, Indonesia unggul dalam kebajikan kolektif.

Kebajikan inilah yang terbukti lebih menentukan daripada sekadar angka pendapatan.

-000-

Saat lonceng pura berdentang, saya merenung. Filosofi utama dari semua ini ialah: flourishing bukan tentang seberapa jauh kita melangkah sendiri, tetapi seberapa erat kita berjalan bersama.

Pura Besakih—yang disebut Mother Temple of Bali—bukan hanya pusat spiritual Hindu, melainkan simbol pertemuan ribuan tahun tradisi.

Di sini, manusia sadar bahwa mereka bagian dari jaringan kosmis yang saling terkait: manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan Yang Ilahi.

Begitu pula Indonesia. Kita nomor satu bukan karena kilang minyak terbesar atau gedung pencakar langit tertinggi.

Melainkan karena jaringan sosial yang hangat: simpul-simpul kecil di rumah ibadah, pasar, RT, hingga warung kecil di pojok jalan.

Namun sejarah mengajarkan: semua nilai budaya bisa layu bila tidak dirawat.

Modernisasi cepat, urbanisasi padat, dan arus individualisme global dapat menggerus keakraban sosial ini.

Banyak negara maju kini terperangkap dalam kesepian massal—meski rakyatnya makmur.

Indonesia harus belajar dari mereka: jangan biarkan pertumbuhan ekonomi merampas kehangatan sosial.

-000-

Yayasan Bakri keberagaman Indonesia: Simpul Kecil, Arti Besar

Di sinilah peran Yayasan Bakti Keberagaman Indonesia, yang dipimpin Mulia Jayaputri, menjadi penting. Setiap tahun, Proklamasi diperingati bukan di lapangan upacara, melainkan di rumah ibadah.

Di Masjid Istiqlal (2023), Gereja Katedral (2024), dan kini Pura Besakih (2025). Tahun depan, di vihara atau kelenteng di Semarang (2026), lalu Candi Borobudur (2027).

Di ruangan acara Bhakti Indonesia saat ini, saya melihat banner ucapan selamat yang unik dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Nazaruddin Umar.

Juga banner dari Ketua Dewan Ekonomi dan Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, hingga Menteri Sosial Saifullah Yusuf, dan Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana.

Banyak banner tokoh lain, termasuk diri saya sendiri yang ditulis Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi.

Terpasang pula kutipan dari Presiden Prabowo soal makna kemerdekaan sejati. Bahwa tidak cukup kita merayakan kemerdekaan dengan upacara bendera, dan parade, jika di sudut-sudut negeri masih ada anak yang kelaparan.

Atau guru yang tidak dihargai, petani yang merugi, dan keluarga yang takut jatuh sakit karena biaya berobat

Namun yang paling mengesankan bukanlah daftar tempat atau ucapan pejabat, melainkan wajah-wajah warga biasa yang saling tersenyum, saling merangkul lintas iman. Dari pelukan mereka, kita melihat wajah asli Indonesia.

-000-

Di tengah gempuran modernitas, Indonesia perlu merajut kebijakan berbasis kearifan
lokal. Misalnya, mengalokasikan dana desa untuk revitalisasi banjar.

Juga memasukkan kurikulum toleransi berbasis tri hita karana, dan mengikat pembangunan infrastruktur dengan prinsip gotong royong.

Tri Hita Karana itu falsafah hidup Bali yang menekankan tiga harmoni: hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesama (pawongan), dan dengan alam (palemahan) demi keseimbangan hidup.

Dengan demikian, jiwa kolektif tak hanya lestari, tetapi menjadi sistem yang mengakar.

Seperti akar pohon beringin yang menjalar luas, kekuatan bangsa ini tidak berasal dari puncak elitenya, melainkan dari simpul-simpul kecil yang saling bertaut di bawah.

Global Flourishing Index 2025 hanyalah cermin. Cermin itu memperlihatkan wajah Indonesia: bukan negara kaya raya, tetapi bangsa dengan jiwa kolektif yang hangat, berlandaskan kasih, dan merayakan keberagaman.

Namun cermin itu juga mengingatkan: jangan sampai retak. Krisis iklim, polarisasi politik, hingga ketimpangan ekonomi bisa memecahkannya jika kehangatan sosial tidak dijaga.

-000-

Namun, kita juga tak boleh lupa pada wajah kelam bangsa: intoleransi yang sesekali membakar rumah ibadah, korupsi yang merampas hak rakyat kecil, serta jurang kaya–miskin yang makin terbuka.

Tanpa keberanian mengatasi ini, persaudaraan bisa rapuh hanya jadi nostalgia.

Di halaman Pura Besakih, saya kembali teringat kata ibu paruh baya tadi: “Kami tidak kaya, Pak. Tapi kami punya persaudaraan.”

Persaudaraan itulah harta karun terbesar Indonesia. Selama ia dirawat, Indonesia bukan hanya nomor satu di Global Flourishing Index, tetapi juga bisa menjadi guru dunia.

Ia mengajarkan bahwa kesejahteraan sejati lahir bukan dari megahnya menara beton, melainkan dari eratnya tangan-tangan manusia yang bergandengan. (*)

Bali, 23 Agustus 2025

Referensi

•   VanderWeele, Tyler J. Flourishing: How to Achieve Well-Being and Live a Meaningful Life. Harvard University Press, 2020.

•   Putnam, Robert D. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster, 2000.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/1CdA9WqGMU/?mibextid=wwXIfr

Berita Terkait