HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Cerpen “Kopi Pahit di Pantai Indah Kapuk”

August 25, 2025 18:47
IMG-20250825-WA0008

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Kota Pontianak masih hujan. Suasana dingin. Ada baiknya baca cerpen ini, kisah dua istri yang suaminya baru saja ditangkap KPK. Siapkan kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras.

Di sebuah kafe mewah di Pantai Indah Kapuk, aroma kopi seharga sepertiga gaji ASN kelas III wafting di udara. Dua perempuan sosialita duduk anggun, seakan dunia tidak sedang runtuh di depan mereka. Namanya Silvia Neol dan Hartati Irvian. Kedua wanita ini bukan sekadar sosialita biasa, mereka adalah first lady underground, istri-istri dari suami yang hobi menabung, tapi tabungannya bukan di bank, melainkan di rekening fiktif.

Silvia memutar sedotan stainless-nya dengan dramatis, seperti sedang adu nasib dengan semesta.
“Aku mau marah, Ti,” katanya dengan suara bergetar, “aku nyalahin suami kau, tahu! Kalau ngasih duit tiga miliar ke suami aku, janganlah kayak orang setor PBB. Terang-benderang, ya jelas KPK nangkep!”

Hartati mendengus, sambil memamerkan gelang emas sebesar gembok pintu rumah kos.
“Dasar suami kau itu, Sil. Rakus macam nggak pernah makan. Udah aku bilang sama dia, kalau minta duit jangan tiap minggu! Aku sampai harus manjat loteng rumah, ambil koper uang darurat. Padahal itu tabungan aku buat beli tas Hermes edisi terbatas warna kotoran burung merpati Paris.”

Dua-duanya mendelik, saling menyalahkan, kayak emak-emak rebutan kursi kosong di bus TransJakarta. Sampai akhirnya mereka sama-sama sadar, tak peduli siapa yang salah, publik sudah mencap mereka sebagai Nyonya Koruptor.

Sejenak hening. Lalu nostalgia pun menyeruak.

“Eh, inget nggak dulu, waktu kita belanja di Paris?” tanya Silvia, matanya berbinar meski eyeliner mulai luntur.
“Ya ampun, iya! Waktu itu aku beli sepatu Louboutin lima pasang. Suami kau marah, terus aku bilang, ‘Tenang, ini cuma uang satu sertifkat K3 perusahaan.’ Hahaha.”

Mereka tertawa, tawa yang bisa bikin rakyat jelata muntah darah. Di luar kafe, tukang parkir masih menghitung receh. Sementara mereka, pernah hidup di atas awan, belanja tanpa melihat harga, makan lobster bukan pakai sendok, tapi pakai perasaan.

Namun kali ini, kopi yang mereka minum terasa pahit. Bukan karena kopi liberika, tapi karena cicilan dosa sosial. Mereka mulai sadar, semua branded yang mereka pakai ternyata punya label tersembunyi, “Made in Korupsi.”

Silvia menghela napas panjang, menatap langit-langit kafe yang penuh lampu kristal.
“Ti, kalau dulu aku tahu jadi istri koruptor bakal bikin malu segini, mending aku nikah sama tukang bakso depan rumah. Minimal, kalau dipenjara, suamiku cuma gara-gara ngasih micin berlebihan.”

Hartati mengangguk, dramatis sekali, seperti sedang main sinetron azab.
“Iya, Sil. Aku pun nyesal. Andai dulu aku pilih jodoh lain, mungkin aku lagi ngurus koperasi RT, bukan duduk di sini pura-pura kuat padahal rekening beku.”

Hening lagi. Mereka saling tatap. Kali ini bukan tatap benci, tapi tatap sesama penderita, koruptor’s wife syndrome.

Lalu, pelayan datang membawa tagihan.
“Bu, totalnya 2,7 juta.”

Mereka melongo.
“Ya Allah, mahal nian kopi di sini. Dulu mah, sekali gesek kartu, angka segitu cuma buat bayar tips.”Silvia dan Hartati saling memandang, lalu tertawa getir. Tawa mereka kali ini bukan lagi tanda bahagia, tapi tanda perpisahan. Dunia mewah mereka sudah tamat. Mereka baru sadar, uang korupsi tak cuma bikin kaya, tapi juga bikin kafe terasa seperti ruang interogasi KPK.

Satu pelajaran, di saat mereka terima uang dari suami, tak pernah bertanya, “Ini uang dari mana, kok banyak?” Apa pun dibawa suami, dianggap uang halal. Padahal, mereka tahu gaji dan tunjangan suaminya berapa. Namun, serakahnomic telah merasuki istri dan anak-anaknya. Mereka sudah gelap mata yang penting hidup mewah.

Untuk pertama kalinya, dua sosialita itu pulang bukan naik Alphard, tapi nebeng GrabCar. Mereka berpisah untuk terakhir kalinya. (*)

Disclaimer, ini hanya fiksi, tidak ada di dunia nyata

#camanewak