HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Kemampuan Keuangan Daerah, Tantangan atau Degradasi Otda

August 26, 2025 10:33
IMG_20250826_103151

Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem )

HATIPENA.COM – Konferensi pers oleh Menteri Keuangan pasca penyampaian pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Nota Pengantar Rancangan UU APBN 2026 dihadapan Parlemen (MPR, DPR, DPD) RI (15/8) yang menjelaskan anggaran transfer pusat kedaerah (TKD) mengalami penurunan pada RAPBN 2026 ditetapkan sebesar 650 Triliun Rupiah. Angka ini terkoreksi sebesar 24,8 persen dari proyeksi TKD 2025 sebesar 864,1 Triliun Rupiah.

Pengurangan yang Mencerahkan

Pengurangan TKD ini tentu menjadi perhatian daerah dalam rencana penyelenggaraan pemerintahan daerahnya yang akan tersaji pada RAPBD 2026 Provinsi, Kabupaten, dan Kota secara nasional, mengingat masih terdapat 493 daerah dari 546 daerah seluruh Indonesia berdasarkan data Depdagri per bulan April 2025 (CNBCIndonesia, 29/4/25) masih dalam katagori memiliki keuangan daerah atau dalam literasi ekonomi dan keuangan disebut sebagai fiskal daerah yang lemah dengan masih sangat mengandalkan transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Daerah. Sementara, hanya 26 daerah termasuk di dalamnya 11 Provinsi yang masuk katagori fiskal daerahnya kuat (mandiri), dan 27 daerah dengan 12 Provinsi masuk katagori fiskal sedang.

Dengan postur katagori fiskal daerah yang demikian, utamanya bagi mayoritas daerah yang masih sangat tergantung penyelenggaraan pemerintahan daerahnya mengandalkan transfer keuangan dari pusat ke daerah menjadi tantangan, pil pahit, atau sekaligus sebagai ‘ancaman’ bagi terdegradasinya belanja publik dan pelayanan publik di daerah.

Ini merupakan antiklimak dari semangat otonomi daerah untuk lebih meningkatkan pelayanan publik minimal pada infrastruktur dasar. Tentu hal ini memerlukan langkah dan strategi untuk mengantisipasi fenomena kearah tersebut.

Pemerintahan daerah dalam struktur penyelanggaraan kekuasaan eksekutif merupakan ‘down line’ dari penyelengaraan kekuasaan eksekutif Pemerintah Pusat, yang kemudian diberikan desentralisasi mengelola sebagian kekuasaan menjalankan otonomi daerah dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Struktur dan konsekuensi penyelenggaraan pemerintahan demikian tidak terdapat ruang untuk tidak ‘inline’ dengan kebijakan pemerintah pusat, termasuk dalam hal kebijakan transfer keuangan daerah. Rencana pengurangan TKD kepada daerah tahun anggaran 2026 harus diterima sebagai ‘Pil Pahit’ oleh daerah otonom dalam menghadapi penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan mengambil langkah-langkah keluar maupun kedalam yang dapat mengoptimalkan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sehingga, meskipun pengurangan TKD dirasakan pahit bagi daerah, namun dapat berlaku sebagai obat bagi upaya mendorong makin terbangunnya daerah dengan kapasitas fiskal daerah yang beranjak dari katagori lemah menjadi katagori sedang bahkan katagori kuat dan mandiri.

Pilihan Kebijakan

Tantangan dalam bentuk kebijakan rencana pengurangan TKD pada tahun anggaran 2026 mendorong penyelanggara pemerintah daerah (Kepala Daerah dan DPRD) untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan belanja minimal pada sektor infrastruktur dasar dan pelayanan publik setidaknya dalam dua langkah.

Pertama, pemerintah daerah melakukan langkah-langkah kreativitas untuk menggali sumber-sumber penerimaan baru maupun mengintensifkan sumber-sumber yang tersedia, dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja, sehingga kebijakan tersebut tidak membebani masyarakat berupa kenaikan pajak misalnya.

Meskipun target penerimaan pajak pada RAPBN 2026 tumbuh 13,5 persen dibanding APBN 2025, kita patut belajar dari peristiwa Kabupaten Pati Jawa Tengah yang telah menetapkan kenaikan PBB P2 sebesar 250 persen hingga menyebabkan protes dan unjuk rasa besar dari masyarakatnya, dan buntut peristiwa ini menyebabkan rencana kebijakan kenaikan itu dibatalkan.

Meskipun rencana menaikkan penerimaan dari sektor pajak 2026 ini ditegaskan oleh Menteri Keuangan tidak ada tarif ataupun pajak baru, tetapi yang patut dipertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja, maka pilihan kreativitas mencari sumber penerimaan baru bagi Pemda dengan menaikkan pajak dan retribusi saat kondisi seperti ini bukan pilihan yang bijak dan tepat.

Kedua, langkah kedalam dilakukan untuk merencanakan dan menggunakan APBD 2026 dengan mempersiapkan struktur dan postur APBD yang lebih memprioritaskan belanja yang berbasis kebutuhan, dan bukan berbasis keinginan, penyelenggara pemerintahan juga lebih memprioritaskan penggunaan anggaran APBD pada belanja publik, mengurangi pos dan besaran belanja (tambahan) rutin/ pegawai, serta tidak memprioritaskan mewujudkan proyek-proyek ‘ambisius’ yang akan menyedot banyak anggaran sehingga bisa mengabaikan belanja pada sektor infrastruktur dasar dan pelayanan publik, terutama kondisi keuangan (fiskal) khususnya dan ekonomi pada umumnya kontemporer seperti saat ini.

Langkah keluar dan kedalam tersebut merupakan pilihan yang dapat dilakukan sebagai strategi mensikapi fenomena pengurangan TKD bersamaan dengan kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja, serta kebijakan efisiensi pemerintah yang masih akan diberlakukan hingga tahun anggaran 2026 mendatang.

Diskursus Sistemik

Fenomena rencana pengurangan TKD pusat ke daerah dalam diskursus kemampuan fiskal daerah sebagai ‘energi’ utama bagi 80 persen daerah secara nasional dalam menjalankan pemerintahan daerahnya juga dapat berimplikasi pada semangat penguatan penyelenggaraan otonomi daerah (otda). Ini akan terjadi manakala disikapi secara optimisme yang diikuti ‘kemauan’ untuk melakukan langkah-langkah exit way dari keadaan untuk bisa bangkit dari status sebagai daerah dengan fiskal rendah dengan ketergantungan dari sumber TKD.

Mempertimbangkan begitu banyaknya daerah-daerah yang mengandalkan TKD sebagai sumber pembiayaan daerahnya (80 persen) maka patut didorong pola penyelesain dengan pendekatan sistem dan tidak membiarkan daerah secara sendiri-sendiri menyelesaikan problem fiskal daerahnya.

Pola dialektika dan dengan pendekatan sistemik serta kelembagaan antara pusat daerah menjadi tawaran diskursus dalam mengatasi problematika fiskal daerah bukan saja disebabkan oleh kebijakan pengurangan TKD tetapan dalam jangka panjang sebagai kebijakan “pemberdayaan’ daerah dalam menjalankan pemerintahan daerahnya dengan desentralisasi kewenangan yang berikan dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Kebijakan ini, diantaranya, dengan mengurangi ‘sentralisasi’ kewenangan atas pengelolaan potensi pendapatan yang ada di daerah seperti pengelolaan potensi pertambangan, blue economy, dan green economy misalnya.

Merujuk Konsitusi Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi daerah Provinsi, dan Provinsi dibagi lagi menjadi Kabupaten dan Kota dimana masing-masing memiliki pemerintahan daerah …”.

Ini juga menegaskan bahwa daerah-daerah itu merupakan bagian Negara Kesatuan, memberdayakan fiskal daerah maka semangatnya adalah juga memberdayakan fiskal secara nasional, di sisi lain dapat dikatakan tidak dapat dikatakan sebuah pencapaian, manakala tersajikan adanya kenaikan APBN namun disisi lain terdapat penurunan APBD pada sebagian daerah, apalagi kalo bisa mencapai 80 persen jumlah daerah-daerah yang ada secara nasional.

Momentum rencana pengurangan TKD 2026 ini bisa digunakan sebagai cara sistemik untuk memberdayakan fiskal daerah yang tentu berimplikasi pada penguatan penyelenggaraan otonomi daerah sebagai sebuah tantangan inklusif, bukan sebagai momok yang dapat mendegradasi otonomi daerah yang muaranya pada kesejahteraan rakyat, sebagaimana tegak berdirinya tujuan bernegara yang tertuang pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. (*)