Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Tulisan saya sebelumnya, memang menggantung, karena tidak ada motif. Benar demikian, karena polisi memang belum merilis motifnya. Nah, sekarang pertanyaan netizen, “Apa sih motif Dwi Hartono menjadi otak pembunuhan Ilham?” Simak narasinya sampai tuntas agar tahu jawabannya. Siapkan lagi kopi tanpa gulanya, wak!
Motif akhirnya terkuak, atau setidaknya mulai dibuka sedikit demi sedikit oleh kepolisian. Mengapa seorang pengusaha flamboyan bernama Dwi Hartono, pendiri yayasan beasiswa, motivator bisnis, sekaligus bintang tamu artis kampung, tega menjadi dalang pembunuhan Kepala Cabang Pembantu BRI Cempaka Putih, Muhammad Ilham Pradipta? Jawabannya, sakit hati akibat permohonan pinjaman fiktif senilai Rp13 miliar ditolak. Betapa tragis, betapa ngenes, betapa manusia kadang lebih rapuh dari gelas plastik.
Menurut laporan terbaru, Ilham menolak permohonan itu bukan karena benci pribadi, melainkan karena ya memang itu fiktif. Bank BUMN tidak didirikan untuk menyalurkan kredit bohongan. Apalagi ke pengusaha yang portofolionya penuh seminar motivasi tapi kosong jaminan aset. Namun bagi Dwi, penolakan itu bagai tamparan di tengah keramaian. Bayangkan, seorang crazy rich Rimbo Bujang, yang biasa tampil dengan dasi mahal dan memotivasi ribuan orang lewat YouTube, tiba-tiba ditolak mentah-mentah. Harga dirinya jatuh bebas, egonya remuk, dan psikologinya terjun bebas ke jurang narsistik paling dalam.
Dwi tampaknya mengidap apa yang bisa disebut “narsistik terluka” kondisi di mana orang yang terbiasa dielu-elukan merasa hancur total ketika citra besarnya tidak diakui. Ia terbiasa menjadi sang pemberi, pemberi beasiswa, pemberi bingkisan, pemberi ceramah motivasi. Tapi begitu dirinya meminta sesuatu dan ditolak, terutama Rp13 miliar yang ia anggap tiket emas ke panggung bisnis berikutnya, luka batin itu berubah menjadi dendam. Dalam pikirannya, penolakan itu bukan sekadar soal uang, melainkan penghinaan eksistensial. Seolah-olah Ilham berkata, “Hartono, engkau bukan siapa-siapa.” Bagi seorang narsis, kata-kata tak terucap itu lebih menyakitkan dari penjara itu sendiri.
Dari titik itu, narasi hidupnya melompat ke arah gelap. Dwi, sang dermawan, tidak mencari konselor psikologi, melainkan mencari debt collector. Bayangkan, wak! Seseorang yang pandai mengajarkan “kecerdasan emosional” justru menyewa preman jalanan untuk mengeksekusi emosi pribadinya. Ia membayar orang-orang itu agar menculik Ilham, menjadikan kepala cabang bank itu simbol korban dari harga diri yang terluka. Sebuah video viral bahkan memperlihatkan bagaimana Ilham diseret di parkiran supermarket, sebuah tontonan horor yang lebih nyata daripada film thriller.
Kematian Ilham di Bekasi menandai puncak dari drama psikologis yang gagal diolah. Seorang motivator bisnis, yang konon selalu berkata “jangan menyerah meski gagal”, justru menyerah pada amarah pribadi dan melampiaskannya dengan darah. Di sinilah absurditas terasa begitu telanjang, sebuah kredit fiktif Rp13 miliar, yang mestinya hanya menjadi dokumen ditolak lalu dilupakan, justru berubah menjadi tragedi kemanusiaan.
Polisi memang menekankan bahwa motif ini masih dalam pendalaman. Bisa jadi ada jaringan lain, bisa jadi ada skema lebih busuk. Tetapi publik keburu yakin bahwa penolakan itulah detonator utama. Psikologi sosial mengajarkan, seseorang yang terbiasa dipuja akan lebih sulit menerima kritik atau penolakan. Dwi Hartono, yang hidupnya dibangun di atas panggung citra glamor, akhirnya tak kuasa menelan kenyataan bahwa ada satu orang yang berani mengatakan “tidak” padanya.
Inilah hasilnya, seorang malaikat beasiswa kini menjelma jadi tersangka pembunuhan, hanya karena Rp13 miliar tak cair. Dari perspektif psikologi, ini tragedi narsisme yang gagal diatur. Dari perspektif publik, ini lelucon pahi,: seorang motivator ternyata butuh motivasi agar tidak berubah jadi algojo. (*)
#camanewak