Edisi Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H
Oleh: Drs. Makmur, M.Ag
Kepala Kemenag Kota Bandar Lampung
Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad
HATIPENA.COM – Setiap kali bulan Rabi‘ul Awwal tiba, hati kaum muslimin kembali dipenuhi kerinduan. Rindu kepada sosok agung, manusia terbaik, yang kelahirannya telah membawa cahaya ke seluruh penjuru alam. Peringatan Maulid Nabi bukan sekadar perayaan atau pengulangan kisah sejarah, melainkan ungkapan cinta dan kerinduan kita kepada beliau. Kita berkumpul, bershalawat, dan meneladani akhlaknya, agar cinta itu tidak berhenti di bibir, tetapi hidup dalam amal keseharian.
Namun, sebesar apapun rindu kita kepada Nabi, jauh lebih besar rindu Nabi Muhammad kepada umatnya. Sebagaimana sabdanya: “Sungguh, aku rindu kepada saudara-saudaraku.” Para sahabat bertanya, “Bukankah kami saudara-saudaramu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah orang-orang yang datang setelahku, beriman kepadaku, padahal mereka belum pernah melihatku.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban)
Betapa lembutnya cinta beliau. Beliau merindukan kita, umat yang datang berabad-abad setelah beliau wafat, yang belum pernah melihat wajahnya, namun tetap beriman dan bershalawat kepadanya.
Dan untuk mengetahui betapa besarnya cinta beliau kepada kita sebagai umatnya bisa kita lihat dalam riwayat yang masyhur berikut :
Pada suatu malam yang sunyi, Rasulullah saw duduk dalam perenungan. Beliau membaca firman Allah tentang doa Nabi Isa as dalam surah Al-Māidah ayat 118, yang artinya : “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Doa Nabi Isa as itu menggambarkan kepasrahannya. Ia menyerahkan urusan umatnya sepenuhnya kepada keadilan Allah, tanpa membela dan tanpa menanggung dosa mereka.
Namun Rasulullah berbeda. Saat ayat itu dibacakan, air matanya jatuh bercucuran. Suaranya bergetar menahan haru, lalu beliau berbisik lirih, “Ya Allah… umatku, umatku…”
Bukan dirinya yang beliau khawatirkan. Bukan pula keluarga dan sahabat terdekatnya. Yang membuat beliau menangis hanyalah kita, umatnya yang datang jauh setelah beliau, yang belum pernah menatap wajahnya, tetapi senantiasa menjadi isi doanya.
Tangisan itu mengguncang langit. Allah pun memanggil malaikat Jibril seraya berfirman: “Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad. Tanyakan kepadanya apa yang membuatnya menangis.”
Jibril pun turun, mendapati Rasulullah sedang bersujud dengan wajah basah oleh air mata. “Wahai Rasulullah,” tanya Jibril dengan lembut, “Allah bertanya kepadamu: Apa yang membuatmu menangis?”
Beliau mengangkat wajahnya penuh cinta dan berkata, “Aku menangis karena aku memikirkan umatku. Aku takut mereka tersesat, aku takut mereka celaka, aku takut mereka binasa.”
Jibril kembali menyampaikan jawaban itu kepada Allah. Lalu Allah Yang Maha Pengasih berfirman: “Wahai Jibril, sampaikan kepada Muhammad: Sesungguhnya Kami akan membuatnya ridha terhadap umatnya, dan Kami tidak akan menyusahkannya.” (HR. Muslim)
Subhanallah… betapa besar cinta Allah kepada Rasul-Nya, dan betapa dalam kasih Rasulullah kepada kita. Malam-malam panjangnya dipenuhi air mata bukan untuk dirinya, tetapi demi keselamatan umatnya.
Inilah yang membedakan Rasulullah dengan para nabi lainnya. Nabi Isa menyerahkan urusan umatnya kepada Allah, sementara Nabi Muhammad menanggung keresahan itu dalam doa, memohonkan ampunan, bahkan menyimpan satu doa mustajab hanya untuk syafa’at umatnya. Beliau bersabda: “Setiap nabi memiliki doa yang pasti dikabulkan. Aku menyimpan doaku sebagai syafa’at untuk umatku di hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Maka, tidakkah hati kita tergetar mendengar tangisan itu? Tidakkah jiwa kita luluh membayangkan bibir suci beliau berucap, “Ummatii… ummatii…” hanya untuk kita?
Jika beliau telah mengorbankan air matanya demi keselamatan kita, pantaskah kita abai terhadap sunnah-sunnahnya? Jika beliau begitu merindukan kita, tidakkah kita balas rindu itu dengan memperbanyak shalawat, menjaga shalat, menebarkan kasih sayang, dan meneladani akhlaknya? Bahkan menjelang wafatnya, kalimat terakhir yang terucap dari lisannya tetaplah tentang kita: “Ummatii… ummatii…”
Cinta Rasulullah kepada umatnya bukanlah sekadar kata, melainkan tangisan, doa, dan pengorbanan. Maka balasan yang paling pantas dari kita adalah ketaatan, cinta yang tulus, dan kesungguhan menghidupkan sunnahnya.
Maka memperingati Maulid Nabi bukanlah tradisi kosong, melainkan ungkapan rindu dan cinta. Kita bershalawat agar hati semakin dekat dengan beliau, kita meneladani ajarannya agar hidup semakin diridhai Allah. Dan semoga, kelak di yaumil qiyamah, kita termasuk golongan yang mendapat syafa’at beliau, saat wajahnya yang bercahaya menyapa kita dengan penuh kasih: “Ummatii… ummatii…”
Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad wa ‘ala ali sayyidina Muhammad. (*)
Wallahu a‘lam.