Muslimin Lamongan
HATIPENA.COM – Setiap purnama lelaki itu melihat bayangan tubuhnya adalah mayat. Tersaruk berjalan, mulutnya berucap maaf tetapi tak pernah tersampaikan. Berkafan hitam, dua kakinya lebam hitam. Oleh sejenis penyakit yang sulit disembuhkan; ketamakan. Dia sering mendiamput Tuhan, rerasan di warung kopi tertawa jumpalitan. Dia merasa tak seharusnya mengalami kemalangan. Dia rajin membaca kitab suci, sering berkhutbah, dan menyuarakan kebenaran.
Lelaki berkafan itu terus berjalan, mencari makam yang tepat untuk dirinya. Luas, nyaman, bisa menulis kepalsuan dunia. Namun selalu berujung penolakan. Tak ada lahan kubur yang mau menerimanya. Alasannya sederhana: ia belum minta maaf pada istrinya. Yang selalu dianggap pengusik narsisinya. Yang selalu dituduh perusuh imajinasinya.
Hingga suatu malam, dia melihat istrinya menulis puisi tentang dirinya. Dikirim ke langit pujian. Tak ada dendam, hanya sepenuh kasih sayang. Dia pun luruh, memeluk istrinya dalam rengkuh tak terpisahkan.
Ini malam, purnama menjelas bayangan tubuhnya. Lelaki senja yang rindu kebajikan. Lelaki sederhana yang damba kedamaian. (*)
Lamongan, 13 Agustus 2025