Kuldip Singh
HATIPENA.COM – Beberapa hari terakhir, publik digiring pada euforia baru: kabar akan segera lahirnya UU Perampasan Aset. Aura optimisme dipoles sedemikian rupa, seolah-olah inilah momentum emas untuk “memiskinkan oligarki” yang selama ini berkuasa. Tapi rakyat telah sadar dan tidak akan lupa—sejarah janji politik di negeri ini dipenuhi kata “akan” dan “segera”, yang ujungnya kerap menjadi fatamorgana.
Jangankan menyita harta kekayaan hasil kejahatan, sekadar meminta dosanya saja tak akan mereka berikan. Wajar bila publik bersikap skeptis, sebab mempercayai janji-janji elite ibarat menitipkan ayam pada musang.
Di saat bersamaan, muncul pula 17+8 Tuntutan Rakyat pascademo. Namun jika ditelaah, substansinya tidak menyentuh jantung persoalan: keadilan. Tak ada desakan serius untuk menjerat pejabat tinggi yang diduga bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi beberapa hari terakhir. Roman-romannya, tuntutan itu lebih menyerupai naskah pesanan, buatan tangan kelompok tertentu yang piawai mengelola narasi, sekadar untuk mengalihkan kemarahan rakyat.
Ironisnya, spanduk-spanduk bertuliskan “Jaga Perdamaian” justru bertebaran di sudut-sudut kota Jakarta. Narasi moral semacam ini indah didengar, tetapi hampa makna. Perdamaian sejati tidak lahir dari spanduk atau slogan, melainkan dari kesungguhan negara menjaga etika jabatan, efektifkan tugas-tugas menindak penjahat uang rakyat.
Inilah paradoks negeri ini: rakyat selalu dijejali simbol, sementara substansi terus diabaikan. Negara sibuk menciptakan citra damai, padahal damai tidak akan pernah tercapai tanpa keadilan. Rakyat sudah jenuh pada yang semu, yang palsu, yang tipu-tipu.
Apa yang sebenarnya dibutuhkan? Bukan lagi sekadar janji UU, bukan pula tuntutan yang kosong, atau spanduk yang meninabobokan. Yang mendesak adalah tindakan nyata: menjerat pejabat tinggi yang diduga bertanggung jawab pada aksi kekerasan dan menjerat penjahat uang rakyat.
Hanya dengan itu rakyat akan merasa dilayani, dihormati, dan dilindungi oleh negara. Selebihnya, semua spanduk, semua janji, hanyalah kosmetik kekuasaan. (*)