Oleh: Wijaya Kusumah/ Omjay
HATIPENA.COM – Di negeri ini, guru selalu menjadi sorotan. Mereka dipuja dalam kata-kata, diagungkan dalam pidato, namun diabaikan dalam tindakan nyata. Sering kita mendengar pejabat negeri ini berbicara lantang tentang cita-cita “memajukan pendidikan”, tetapi langkah-langkah yang ditempuh justru tidak sejalan dengan harapan itu. Guru tetap saja menjadi bulan-bulanan kebijakan yang sering berubah, tanpa memperhitungkan beban psikologis maupun ekonominya.
Profesi guru memang sering disebut sebagai pekerjaan mulia. Bahkan tidak sedikit pejabat yang menyanjung guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun, di balik sanjungan itu, banyak guru justru merasakan bahwa profesinya terus direndahkan. Mereka diperlakukan seakan-akan nasib guru sudah “ditakdirkan” untuk menderita, lalu dihibur dengan iming-iming pahala yang akan mereka terima di akhirat kelak.
Padahal, urusan pahala dan dosa adalah ranah pribadi antara seorang guru dengan Tuhannya. Itu bukan alasan bagi negara untuk lepas tangan dalam memenuhi kewajibannya. Negara memiliki mandat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak mungkin terwujud tanpa kesejahteraan guru yang memadai.
Antara Harapan dan Kenyataan
Mari kita tengok realitas di lapangan. Guru honorer, yang jumlahnya masih banyak di Indonesia, hidup dengan gaji yang bahkan tidak mencukupi kebutuhan pokok. Ada yang digaji Rp300 ribu sebulan, ada yang hanya menerima honor per jam mengajar yang nilainya tak seberapa. Mereka tetap masuk kelas, tetap menyusun RPP, tetap menghadapi anak-anak dengan penuh dedikasi, meski dapur mereka sendiri kerap tak mengepul.
Di sisi lain, regulasi yang dibuat pemerintah sering kali hanya menambah beban administrasi. Guru disibukkan dengan laporan-laporan, asesmen, dan pengisian data yang rumit, sementara ruang untuk mengajar dengan hati justru semakin sempit. Tidak jarang, guru merasa seperti birokrat kecil yang harus menuruti prosedur, bukan lagi seorang pendidik yang fokus pada perkembangan muridnya.
Ironisnya, ketika guru menuntut haknya, suara mereka dianggap sebagai keluhan yang tidak bersyukur. Guru diminta ikhlas, diminta sabar, diminta percaya bahwa setiap jerih payahnya akan dibalas dengan pahala. Padahal, apa salahnya seorang guru menuntut gaji yang layak? Apa salahnya mereka meminta perhatian negara? Mereka bukan sedang memperkaya diri, mereka hanya ingin bisa hidup layak sebagaimana profesi lain yang dihargai sesuai jerih payahnya.
Tanggung Jawab Negara, Bukan Sekadar Retorika
Kesejahteraan guru bukanlah pilihan, melainkan kewajiban negara. Hal ini sudah tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, bahkan juga sejalan dengan amanat konstitusi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan jurang yang lebar antara teks undang-undang dan realitas keseharian guru.
Negara seharusnya menyadari bahwa kesejahteraan guru bukan hanya soal gaji. Ia menyangkut martabat profesi. Guru yang sejahtera akan lebih fokus mengajar, lebih tenang menghadapi murid, dan lebih bersemangat dalam meningkatkan kompetensi dirinya. Sebaliknya, guru yang hidup dalam tekanan ekonomi cenderung kelelahan, kehilangan motivasi, bahkan terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk bertahan hidup.
Apakah kita rela kualitas pendidikan bangsa ini digadaikan hanya karena guru tidak mendapatkan haknya? Apakah kita akan terus menutup mata terhadap kenyataan bahwa masa depan anak-anak Indonesia bergantung pada kesejahteraan para gurunya?
Komentar Omjay: Guru Butuh Perhatian Nyata
Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd, yang akrab disapa Omjay, sering kali menyuarakan keresahan guru di berbagai forum. Sebagai seorang guru blogger yang aktif menulis, Omjay menegaskan bahwa guru tidak butuh terlalu banyak janji manis.
“Guru butuh perhatian nyata, bukan sekadar kata-kata. Jangan selalu menjadikan guru sebagai obyek retorika. Kalau memang negara ingin pendidikan maju, sejahterakan dulu gurunya. Jangan biarkan mereka terus hidup dalam penderitaan lalu dihibur dengan kata pahala. Urusan pahala itu biarlah antara guru dengan Allah, tapi urusan kesejahteraan adalah tanggung jawab negara,” tegas Omjay.
Komentar ini mewakili perasaan banyak guru di seluruh Indonesia. Mereka lelah dengan janji-janji, mereka ingin bukti nyata. Guru ingin dihargai secara profesional, sebagaimana profesi lain yang diakui dan sejahtera.
Jangan Lagi Rendahkan Profesi Guru
Sudah saatnya bangsa ini berhenti merendahkan profesi guru dengan dalih pengabdian. Mengajar adalah bentuk pengabdian, ya, tetapi itu tidak berarti negara boleh abai terhadap hak-hak guru.
Guru bukan malaikat yang tidak butuh makan, bukan pula robot yang bisa bekerja tanpa henti. Mereka manusia biasa yang punya keluarga, punya kebutuhan, dan punya mimpi untuk hidup layak. Menutup mata terhadap realitas itu sama saja dengan menjerumuskan dunia pendidikan ke dalam jurang kehancuran.
Jika benar kita ingin memajukan pendidikan Indonesia, langkah pertama adalah memuliakan gurunya. Bukan hanya dengan ucapan manis di podium, tapi dengan kebijakan nyata yang mensejahterakan. Karena pendidikan yang baik hanya akan lahir dari guru yang tenang lahir dan batin.
Penutup
Guru adalah tiang peradaban. Mereka mendidik generasi bangsa dengan sabar dan tulus. Namun, kesabaran itu jangan terus diuji dengan perlakuan tidak adil. Guru tidak minta dimanjakan, mereka hanya minta dihargai sesuai dengan jerih payahnya.
Biarlah pahala menjadi urusan pribadi guru dengan Tuhannya. Tetapi kewajiban negara adalah memastikan guru hidup layak, bermartabat, dan sejahtera. Hanya dengan itu cita-cita memajukan pendidikan Indonesia bisa benar-benar terwujud, bukan sekadar retorika kosong. (*)
Wijaya Kusumah – omjay
Guru blogger indonesia
Blog https://wijayalabs.com