HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Demokratisasi Ekonomi: Pelajaran dari Nepal dan Peringatan untuk Elit Indonesia

September 11, 2025 08:57
IMG_20250911_085209

Oleh : Kuldip Singh

HATIPENA.COM – Nepal sedang terbakar. Dalam beberapa minggu terakhir, negara kecil di pegunungan Himalaya itu diguncang protes besar-besaran yang dipicu oleh blokir media sosial. Tapi, itu hanya pemantik. Akar masalahnya jauh lebih dalam: korupsi yang merajalela, nepotisme yang menyesakkan, dan institusi negara yang gagal mewakili kepentingan rakyat.

Akibatnya fatal: puluhan nyawa melayang, parlemen diserbu, bandara lumpuh, dan akhirnya Perdana Menteri bersama kabinetnya tumbang. Namun, meski pemimpin berganti, protes tidak serta-merta berhenti. Mengapa? Karena rakyat sudah kehilangan kepercayaan pada seluruh sistem politik. Bagi mereka, negara bukan lagi rumah, melainkan alat segelintir elit.

Cermin Buruk untuk Indonesia

Apa yang terjadi di Nepal seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia. Kita juga hidup dalam sistem yang rawan terjebak pada logika serupa: akumulasi kekuasaan dan kapital oleh segelintir orang, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton. Demokrasi elektoral ada, tetapi demokrasi ekonomi sering kali absen.

Padahal, tanpa demokratisasi ekonomi, pembangunan hanya menumpuk angka pertumbuhan di atas kerapuhan. Valuasi bangsa akan tampak tinggi di atas kertas, tetapi rapuh di akar karena tidak ditopang legitimasi rakyat. Begitu kepercayaan publik runtuh, sekuat apa pun benteng kekuasaan akhirnya akan roboh. Nepal sudah membuktikannya.

Elit, Dengarkan Rakyat

Pesan untuk para elit Indonesia jelas: jangan sekali-kali mengabaikan rakyat. Jangan terjebak pada logika akumulasi kapital yang hanya menguntungkan konglomerat dan kroni politik. Demokratisasi ekonomi bukan pilihan ideologis belaka, melainkan syarat bertahan hidup bangsa.

Distribusi manfaat pembangunan harus nyata: dari proyek infrastruktur, dari pengelolaan SDA, dari pertumbuhan industri hijau. Transparansi harus dijadikan norma, bukan jargon. Partisipasi publik harus dibuka lebar, bukan dimanipulasi.

Momentum Emas

Indonesia berada pada momentum emas. Perubahan arsitektur kapitalisme global — di mana negara kembali menjadi aktor aktif dalam mengarahkan pasar dan memaksa korporasi tunduk pada regulasi — memberi kita ruang untuk membangun model pembangunan yang bukan hanya tumbuh, tetapi juga bermartabat.

Namun, momentum ini hanya akan menjadi kenyataan bila Presiden dan DPR berani memimpin dengan visi demokratisasi ekonomi. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa kita mengulangi kesalahan Nepal — menukar masa depan bangsa dengan kenyamanan sesaat segelintir elit.

Penutup

Nepal adalah peringatan keras: tanpa legitimasi, tanpa sistem inklusif, pembangunan runtuh seketika. Elit Indonesia masih punya waktu untuk belajar, sebelum rakyat sendiri yang mengajarkan dengan cara yang lebih keras. (*)