Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepian Way Rarem, hiduplah seorang pemuda bernama Ruwai. Ia dikenal memiliki ikatan batin yang sangat kuat dengan alam. Suatu ketika, sebuah wabah misterius melanda kampungnya. Tanaman padi menguning lalu mati, ikan di sungai menghilang, dan hewan buruan lenyap dari hutan. Para tetua adat telah mencoba segala ritual, namun wabah itu tak kunjung pergi.
Ruwai pun memutuskan untuk bertapa di sebuah bukit keramat, di bawah rindangnya pohon ‘hajim atau’ (kayu besi) yang sudah berusia ratusan tahun. Pada malam ketiga, ia mendapatkan wawasan. Dalam mimpinya, ia didatangi oleh roh penjaga sungai yang berwujud seorang nenek tua. Sang nenek berkata, “Punyimu ngegantung di umpu, tapi nyappu mu ngegantung di tiyuh” (Hartamu bergantung pada leluhur, tetapi napasmu bergantung pada kampung halaman).
Sang nenek menjelaskan bahwa wabah ini terjadi karena keserakahan orang-orang yang menebang kayu di hutan larangan secara berlebihan dan mencemari sungai dengan sisa-sisa tambang. Ruwai terbangun dengan kesadaran penuh. Ia segera turun ke kampung dan menyampaikan pesan tersebut kepada Pepadun, sang pemimpin adat. Atas petunjuk Ruwai, Pepadun kemudian menetapkan “hutan larangan” atau “rimba tutupan” yang tidak boleh diganggu ekosistemnya, mengatur cara menangkap ikan dengan jaring yang longgar (semat), dan melarang pencemaran sungai.
Sejak aturan adat itu diterapkan, perlahan-lahan alam pun pulih. Sebagai penghormatan, Ruwai kemudian diberi gelar Sang Bumi Ruwai, yang artinya “Yang Merawat Bumi”. Kisahnya menjadi fondasi dari filosofi lingkungan masyarakat adat Lampung Saibatin, yang mewariskan kearifan bahwa manusia bukanlah tuan atas alam, melainkan bagian yang tak terpisahkan darinya.
Masyarakat adat Lampung Saibatin, yang bermukim di pesisir dan pedalaman Lampung, memiliki filosofi hidup utama yang disebut Piil Pesenggiri. Sering kali diterjemahkan secara sempit sebagai “harga diri”, makna Piil Pesenggiri sejatinya jauh lebih dalam. Ia adalah sebuah konsep holistik tentang martabat yang diperoleh melalui hubungan harmonis dengan Sang Pencipta, sesama manusia, dan alam semesta.
Salah satu pilar Piil Pesenggiri adalah Nemui Nyimah, yang berarti keramah-tamahan dan sikap saling memberi. Nilai ini tidak hanya berlaku untuk interaksi antarmanusia tetapi juga extends (meluas) kepada alam. Alam telah “Nemui Nyimah”, murah hati dan memberikan segala keperluan hidup. Sebagai balasannya, manusia memiliki kewajiban moral untuk bersikap “Nyimah” kembali kepada alam, yaitu dengan merawat, menjaga, dan tidak mengambil secara berlebihan.
Kearifan ini tertuang dalam kitab adat Kuntara Raja Niti, sebuah naskah kuno yang menjadi rujukan hukum dan tata kehidupan. Salah satu petuah di dalamnya berbunyi: “Bejuluk Adok, Bepangkat Semeti, Beahta Tepian, Bekerma Diawan” (Berjuluk hendaklah beradat, Berpangkat hendaklah bermartabat, Bertahta di tepian, Berkarya di awan)
Kutipan “Bertahta di tepian” sering dimaknai sebagai metafora untuk memimpin. Namun, dalam analisis ekologis, “tepian” merujuk pada tepi air (sungai, danau, laut), sumber kehidupan. Seorang pemimpin, dan pada hakikatnya setiap individu, diharuskan untuk “bertahta” atau memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga sumber-sumber kehidupan ini. “Berkarya di awan” menandakan bahwa karya dan perbuatan baik itu harus setinggi langit, terdengar dan terlihat oleh semua, menjadi teladan dalam menjaga lingkungan.
Kearifan filosofis ini kemudian diimplementasikan dalam aturan adat yang sangat ketat (hukum adat). Aturan-aturan ini bukanlah larangan yang kaku, tetapi sebuah sistem manajemen sumber daya alam yang sangat maju pada masanya.
- Rimba Tutupan (Hutan Larangan): Kawasan hutan tertentu ditetapkan sebagai zona yang tidak boleh diganggu. Biasanya, hutan ini berada di hulu sungai atau sekitar mata air. Penebangan pohon, berburu, bahkan masuk secara sembarangan ke kawasan ini dilarang keras. Fungsinya jelas: sebagai penjaga keseimbangan tata air dan penyangga ekosistem. Pelanggar akan dikenakan sanksi adat berat.
- Semat dan Pukat: Aturan Penangkapan Ikan: Menangkap ikan tidak boleh menggunakan racun, bahan peledak, atau bahkan jaring yang terlalu rapat. Alat tradisional seperti semat (jaring berukuran besar) dan pukat yang memiliki mata jaring longgar diperbolehkan. Tujuannya agar ikan-ikan yang masih kecil tidak tertangkap, memberikan kesempatan untuk berkembang biak. Prinsip “mangan bukan berarti membinasakan” sangat kuat.
- Bebandung: Sistem Pertanian Rotasi: Dalam bidang pertanian, masyarakat Lampung Saibatin mengenal sistem bebandung atau ladang berpindah dengan waktu bera (istirahat) yang panjang. Setelah beberapa kali musim tanam, sebidang ladang akan dibiarkan selama bertahun-tahun untuk memulihkan kesuburan alaminya. Ini adalah bentuk primitif dari ilmu permakultur modern yang memahami bahwa tanah juga butuh istirahat.
Nilai spiritual dari semua aturan ini terletak pada konsep “Umpu” atau Leluhur. Alam dan leluhur dianggap memiliki hubungan yang erat. Merusak alam berarti tidak menghormati warisan dan titipan leluhur. Dalam setiap ritual adat, seperti “Cangget” atau “Pepadun”, unsur-unsur alam seperti air jernih, daun-daunan tertentu, dan hasil bumi selalu menjadi bagian integral. Ini adalah pengakuan bahwa segala pencapaian manusia tidak lepas dari dukungan alam.
Dalam analisis kontemporer, kearifan adat Saibatin ini ternyata selaras dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan konservasi biodiversitas. Yang membedakan adalah pendorong utamanya: sains modern didorong oleh data dan proyeksi risiko, sementara kearifan adat didorong oleh nilai-nilai spiritual, rasa hormat, dan tanggung jawab turun-temurun.
Sayangnya, gelombang modernisasi dan tekanan ekonomi seringkali menggerus praktik-praktik ini. Hutan larangan berkurang, aturan penangkapan ikan dilanggar, dan ladang bera dipersingkat. Di sinilah pentingnya reaktualisasi nilai-nilai adat. Kisah Sang Bumi Ruwai dan petuah dalam Kuntara Raja Niti perlu dibaca ulang bukan sebagai dongeng usang, tetapi sebagai manual kehidupan yang relevan untuk menyelamatkan bumi dari krisis ekologis.
Kearifan lingkungan dalam adat Saibatin Lampung adalah sebuah sistem yang utuh. Ia dimulai dari legenda yang menyadarkan, dikokohkan oleh filosofi Piil Pesenggiri yang dalam, dioperasionalkan melalui hukum adat yang tegas, dan dihidupkan oleh nilai spiritual yang menghubungkan manusia dengan leluhur dan penciptanya.
Dalam setiap larangan adat untuk menebang pohon sembarangan atau menangkap ikan dengan racun, terkandung pesan abadi: “Alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu kita.” Merawatnya adalah wujud dari Piil Pesenggiri yang paling utama, martabat sejati sebagai manusia yang beradab. (*)
Sumber Referensi (Terverifikasi):
- Hadikusuma, Hilman. (1989). Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Mandar Maju: Bandung. (Buku Fisik).
- Kartodirdjo, Sartono. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. (Buku Fisik/Digital).
- Kuntara Raja Niti (Naskah Kuno). Salinan dan terjemahannya dapat diakses dalam koleksi naskah kuno Museum Lampung. (Dokumen Fisik/Digital Terverifikasi oleh Institusi).
- Alamsyah, M. (2015). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Lampung Saibatin dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Jurnal Sosioteknologi, Volume 14, Nomor 3. (Jurnal Digital Terindeks).