Oleh ReO Fiksiwan
“Rezim lama dipandang tidak adil, tidak efisien, dan korup, serta kehilangan kesetiaan dari kaum intelektual dan kelas menengah.” — Crane Brinton (1898-1968), The Anatomy of Revolution (1938; Terjemahan,1962).
HATIPENA.COM – Nepal, terletak di Asia Selatan dengan penduduk 26,6 juta jiwa dan mayoritas Hindu, negeri Himalaya yang selama bertahun-tahun terjebak dalam pusaran oligarki dan patronase politik, akhirnya diguncang oleh gelombang revolusi yang tak terduga: bukan oleh partai oposisi, bukan oleh militer, melainkan oleh generasi yang selama ini dianggap terlalu sibuk dengan TikTok dan filter Instagram—Gen Z.
Dalam hitungan hari, mereka berhasil menggulingkan rezim Perdana Menteri K.P. Sharma Oli (73), memaksa Presiden Ramchandra Paudel (80) mencari jalan keluar konstitusional, dan mendorong nama Sushila Karki (73), mantan Ketua Mahkamah Agung, sebagai calon pemimpin sementara.
Karki, perempuan pertama yang memimpin lembaga peradilan tertinggi Nepal, dikenal karena integritas dan keberaniannya menindak korupsi.
Ia bukan bagian dari partai, bukan bagian dari elite lama, dan justru karena itu, menjadi simbol harapan baru.
Revolusi ini bukan sekadar amarah spontan. Ia adalah akumulasi frustrasi atas larangan media sosial yang diberlakukan pemerintah, yang memicu kemarahan anak muda setelah unggahan tentang gaya hidup mewah anak pejabat viral dan dibungkam.
Gen-Z Nepal, yang selama ini dianggap apolitis, justru menunjukkan bahwa mereka adalah generasi yang paling sadar akan ketidakadilan struktural.
Mereka tidak hanya menuntut akses digital, tetapi juga transparansi, keadilan, dan representasi. Seperti dikutip dari Revolusi Gen-Z di Nepal:
“Kalau sudah bicara tentang bangsa, tidak perlu motivasi. Para politikus hanya menjual negara untuk keserakahan mereka sendiri. Itu seharusnya tidak terjadi,“ ujar Saurav (18), mahasiswa, korban luka tembak dalam demo Gen-Z Nepal.
Dalam semangat yang mirip dengan apa yang ditulis Shelina Janmohammed (51) dalam Generation M: Young Muslims Changing the World (2016; Terjemahan, 2017) adalah generasi yang menggabungkan iman, modernitas, dan aktivisme sosial.
Mereka tidak puas hanya menjadi konsumen budaya, mereka ingin menjadi arsitek perubahan. Dari mereka, Gen-Z atau GM, ini muncul revolusi hijabers dan halalism di jantung kota London.
Crane Brinton, dalam Anatomy of Revolution, menyebut bahwa revolusi lahir dari ketegangan antara rezim lama yang kehilangan legitimasi dan kelas baru yang menuntut ruang.
Nepal mengalami fase klasik revolusi: dari ketidakpuasan ekonomi, pembusukan elite, hingga munculnya pemimpin alternatif.
Gen-Z adalah kelas baru itu—bukan dalam arti ekonomi, tetapi dalam arti budaya dan teknologi.
Mereka tidak tunduk pada hierarki lama, dan justru karena itu, mampu meruntuhkan struktur yang selama ini dianggap kokoh.
Namun, dari sudut pandang marxisme, revolusi Nepal ini menghadapi paradoks.
Ia bukan revolusi kelas pekerja melawan borjuasi, melainkan revolusi digital melawan feodalisme informasi.
Tidak ada partai proletar, tidak ada manifesto ekonomi, hanya algoritma dan kemarahan kolektif.
Marx mungkin akan menyebutnya sebagai revolusi setengah matang—belum menyentuh akar produksi, tetapi sudah mengguncang superstruktur.
Di Indonesia, antara 28 Agustus hingga 1 September 2025, gelombang demonstrasi yang dipicu oleh isu tunjangan DPR dan ketimpangan ekonomi juga menelan korban jiwa.
Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat mengantar pesanan di tengah kerusuhan.
Ia bukan aktivis, bukan provokator, hanya rakyat biasa yang menjadi korban sistem yang tidak peduli.
Sembilan lainnya menyusul, dari pelajar hingga pegawai negeri, menunjukkan bahwa ketika negara gagal mendengar, rakyat membayar dengan nyawa.
Perbandingan antara Nepal dan Indonesia menunjukkan bahwa Gen-Z bukan lagi generasi yang bisa diremehkan.
Mereka adalah generasi yang lahir dalam krisis, tumbuh dalam algoritma, dan bergerak dalam solidaritas digital.
Mereka tidak menunggu revolusi datang dari partai atau tokoh tua. Mereka menciptakannya sendiri—dengan meme, dengan unggahan, dengan keberanian.
Revolusi Gen-Z adalah revolusi yang tidak mengenal batas negara. Ia bisa lahir di Kathmandu, meletus di Jakarta, dan menyebar ke seluruh dunia. Ia bukan revolusi senjata, tetapi revolusi kesadaran.
Dan seperti yang ditulis Janmohammed, mereka terlalu sibuk menjadi keren untuk tunduk pada penindasan.
Mereka tidak lupa bagaimana rasanya tertindas—mereka hanya memilih untuk melawan dengan cara yang belum pernah kita bayangkan. (*)
#coversongs: Lagu “Aur Kya” dari film Bollywood berjudul Phir Bhi Dil Hai Hindustani yang dirilis pada 26 November 1999.
Lagu ini diciptakan oleh Jatin-Lalit, dengan vokal dari Abhijeet Bhattacharya dan Alka Yagnik, serta lirik ditulis oleh Javed Akhtar yang berisi ungkapan cinta yang penuh keindahan dan rasa syukur.