TEKA TEKI IJAZAH JOKOWI (3)
Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Membaca buku “Jokowi’s White Paper” yang penuh dengan analisis forensik digital tentang ijazah Mulyono, rasanya seperti nonton “Jejak Kriminal” di Indosiar. Cuma bedanya, kalau di tivi mereka sibuk ngelacak jejak sandal jepit dan bercak noda yang tertinggal di TKP, tapi di laboratorium forensik digital, para ahli itu justru repot ngulik stempel dan bercak tinta.
Orang lain boleh bangga bisa jadi ahli IT forensik. Tapi di negeri kita ada yang lebih keren lagi, yaitu ahli ELA dan CLAHE. Kedengarannya kok mirip merek shampoo dan bumbu masak ya? Ternyata itu adalah nama alat untuk membongkar ijazah aspal – asli tapi palsu.
Menurut keterangan para ahli, setelah dianalisis pakai alat CLAHE, ijazah Jokowi punya kontras yang aneh-aneh. Pada bagian tertentu ada yang warnanya merah merona seperti pipi anak abege kena blush on KW, dan ada juga yang flat seperti kertas foto copy di Pasar Pramuka. Intinya, ijazah Jokowi itu mirip foto editan di aplikasi kamera zaman now, yang jika di-zoom akan kelihatan ketajaman bohongan atau yang dikenal dengan “edge enhancement”.
Nah, masalahnya sekarang, pada bagian yang paling vital, yaitu logo UGM, foto, tanda tangan, sampai cap dan meterai, malah kelihatan seperti ditempel menggunakan lem glukol. Pokoknya sangat rapi, nggak ada sisa tangan gemeter di tanda tangannya. Dan nggak ada meleber tinta. Padahal, menurut para pakar, dokumen asli itu harusnya ada cacat sedikit, entah itu stempel miring, tinta yang meleber, atau mungkin tanda tangan goyang karena kedinginan.
Jadi lucunya, dokumen yang dibuat terlalu rapi justru membuat curiga. Sama persis lihat KTP palsu buatan tukang foto copy: warnanya tajam banget, fotonya jelas banget, ganteng lagi. Padahal, kartu yang asli biasanya burem, fotonya jelek seperti foto SIM yang dijepret buru-buru karena antre.
Lalu, ada yang disebut analisis LBP atau Local Binary Pattern. Nah, kalau mendengar singkatan ini, pikiran saya langsung ke sosok mantan menteri segala urusan Luhut Binsar Panjaitan. Padahal ini serius, ini adalah teknik forensik beneran, bukan nama grup paduan suara rohani. Metode ini digunakan untuk membandingkan ijazah Frono Jiwo yang memang asli dengan ijazah milik Joko Widodo.
Ternyata hasilnya bikin ngakak. Pada ijazah milik Frono Jiwo, huruf-huruf semacam A,O,I,D, dan E “berantem” dengan logo kampus, sampai tumpang tindih hingga 40 persen. Seperti anak kosan yang rebutan colokan listrik. Tapi malah itulah tanda keasliannya. Kadang dokumen resmi itu memang sering mencetak logo sampai menindih tulisan.
Sementara di ijazah milik Jokowi? Wah, rapinya luar biasa. Aksaranya sengaja menghindari logo. Sama sekali tidak ada yang overlap. Seperti petani singkong yang nggak pernah pegang tanah – bersih banget, sampai bikin curiga, “Ini petani apa tengkulak singkong?”
Kalau mau dibandingkan, ijazah Frono Jiwo itu seperti jalan aspal yang ada lubang, tambalan, dan cat marka jalan yang meleber. Ijazah Jokowi justru seperti jalan tol yang baru diresmikan. Lempeng, tanpa cacat. Asik buat balapan, tapi membuat orang mikir, “Itu kan ijazah sudah lama, tapi kok mulus seperti baru keluar dari pabrik kertas, ya?”
Selain itu, analisis ini juga menemukan edge yang tajam sekali, terutama di segel dan logo. Sungguh presisi, seperti hasil crop di Photoshop. Padahal sebenarnya, segel asli itu biasanya nyerempet sedikit ke huruf, ada bekas noda tinta nempel di jari, atau miring ke kiri.
Dan ironisnya, keindahan itu malah jadi bumerang. Sama seperti kalau ada pejabat negara yang terlalu sering semringah di depan kamera, publik pasti curiga, “Ini orang beneran baik atau sedang nutupin masalah?” Nah, begitu juga dengan ijazah yang “kinclongnya” kebangetan malah bikin orang penasaran.
Para pakar forensik kini sedang sibuk menjelaskan histogram, grafik, hingga kanal warna merah yang mendekati nol. Tetapi bagi orang yang masih awam, sepertinya ini terdengar ribet. Untuk lebih gampangnya begini: jika merahnya nol, artinya tinta stempel ungu tua atau biru. Tapi kalau warnanya flat banget, berarti ini bukan stempel manual, tetapi stempel digital.
Jadi, ijazah Mulyono ini kurang lebih seperti foto pre-wedding yang sudah diedit menggunakan filter berlapis-lapis. Memang cantik sih, tapi terlalu sempurna untuk ijazah tahun 1985.
Persoalannya adalah, kalau benar ijazah ini merupakan hasil rekayasa digital, lalu siapa editor grafisnya? Mungkinkah pelakunya alumni Photoshop 2007, atau jangan-jangan lulusan kursus Canva online? Atau boleh jadi ada unit baru di Mabes Polri, seperti Direktorat Desain Grafis dan Perpalsuan Dokumen?
Yang lebih lucunya lagi, publik seakan ikut-ikutan jadi “detektif dadakan”. Ada yang nge-zoom tanda tangan ijazah, ada yang membandingkan resolusi fotonya, ada juga yang menghitung pixel seperti ngitung biji wijen. Fenomena ini membuat republik ini seperti membuka kelas desain grafis gratisan.
Dan pada akhirnya, kitab “Jokowi’s White Paper” ini membuat kita makin sadar dengan satu hal. Bahwa di negeri ini, ijazah ternyata bukan sekadar masalah pendidikan, tetapi bisa jadi bahan meme, bisa jadi thriller politik, bahkan bisa juga jadi kuliah digital forensik tanpa berbayar. Kalau ceritanya seperti ini terus, tak lama lagi kampus-kampus akan membuka program studi baru, yaitu, S-1 Surat Keterangan Kerja dan Ilmu Forensik Ijazah. Maka bersiap-siaplah akan ada sertifikat palsu, akte kelahiran palsu, buku nikah palsu, dan paspor palsu yang akan dianalisis dengan ELA dan CLAHE. (bersambung)
Bandar Lampung, 23 September 2025
#MakDacokPedom