HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Bernostalgia dengan Pidato Soekarno di Sidang Umum PBB

September 24, 2025 14:39
IMG-20250924-WA0023

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Pidato Prabowo di Sidang Umum PBB layak diacungi jempol. Bahasa pengopi di warkop, “Tak malu-maluin, malah bangga.” Tiba-tiba ingat dengan pidato Soekarno di momen yang sama. Mari kita bernostalgila, eh salah, nostalgia dengan pidato sang proklamator di panggung dunia sambil seruput kopi sedikit gula aren, wak!

Tahun 1960, gedung megah Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Delegasi dari negara-negara adidaya berdasi sutra, parfum mahal, sepatu kinclong, sudah siap duduk anggun. Lalu tiba-tiba masuklah seorang pria dari negeri tropis bernama Indonesia. Jasnya bukan buatan Paris, melainkan jas safari krem dengan saku empat. Kepalanya bukan bertopi koboi ala Texas, tapi peci hitam legendaris. Inilah Soekarno, bukan sekadar presiden, tapi dalang retorika, filsuf politik, sekaligus stand-up comedian yang serius.

Pidatonya? Jangan ditanya. Judulnya saja sudah bikin PBB kaget, “To Build the World Anew”. Artinya, “Mari kita bongkar rumah tua dunia ini, lalu kita bangun ulang dari fondasinya.” Amerika dan Uni Soviet yang sedang rebutan jadi kontraktor dunia, langsung melongo. Soekarno bukan cuma minta renovasi, dia minta dibongkar total. Kalau ini sinetron, pasti kameranya nge-zoom ke wajah pucat para diplomat Barat.

Soekarno bicara dalam bahasa Inggris, dengan logat Indonesia yang khas. Setiap kata meluncur seperti peluru retorika. Bayangkan, seorang anak bekas jajahan berani menguliahi tuan-tuan kolonialis di panggung dunia. Rasanya sama seperti mahasiswa semester satu menegur profesor tua yang sudah botak, dan ajaibnya profesor itu terdiam, tidak bisa membantah.

Ia mengutip Dasa Sila Bandung, mengibarkan panji Asia-Afrika, dan menempeleng kolonialisme yang katanya sudah mati tapi masih suka gentayangan. “Colonialism is not dead!” kata Bung Karno. Itu sama saja dengan berkata, “Hei dunia, jangan sok polos. Penjajahan itu seperti kecoa, dibasmi satu, muncul seribu.”

Tentu saja, gaya Bung Karno bukan gaya seminar akademis yang membuat orang ngantuk. Ia berapi-api, penuh metafora, seakan sedang memanggil roh para pejuang dari Asia, Afrika, sampai Amerika Latin. Delegasi PBB yang biasanya tidur ketika giliran pidato negara dunia ketiga, kali itu terpaksa melek. Bahkan ada yang berdiri memberi tepuk tangan. Bung Karno berhasil mengubah sidang serius itu menjadi semacam konser rock politik, dengan dirinya sebagai vokalis utama, dan dunia sebagai penonton.

Tapi jangan salah, di balik api pidatonya, terselip filsafat dalam. Ia bicara tentang keadilan, persaudaraan, dan dunia baru yang lebih damai. Kalau bahasa gaul sekarang, Bung Karno lagi melempar konsep reset civilization. Bedanya, bukan dengan gadget, tapi dengan keberanian moral. Ia menawarkan jalan tengah di antara dua blok yang sedang pamer otot nuklir.

Lihatlah betapa jeniusnya simbol penampilannya. Jas safari sederhana, pesan ke dunia, “Saya tidak silau dengan mode kalian.” Peci hitam di kepala, pesan kedua, “Ini bukan topi impor, ini identitas bangsa saya.” Medali di dada, pesan ketiga, “Saya bukan politisi salon, saya pejuang yang pernah bertaruh nyawa.”

Apa yang tersisa setelah pidato itu? Kebanggaan. Bayangkan, di hadapan PBB, seorang presiden muda dari negara baru merdeka berani mengajari adidaya cara membangun dunia. Itu ibarat murid baru datang ke kelas, langsung berdiri di depan, merebut kapur dari guru, lalu menggambar ulang peta peradaban di papan tulis. Semua orang, mau tidak mau, harus memperhatikannya.

Pesan moralnya jelas, jangan pernah minder hanya karena kita berasal dari pinggiran dunia. Kalau punya keberanian, visi, dan retorika, bahkan suara dari “kampung jauh” bisa mengguncang panggung global. Soekarno sudah membuktikan, bahwa yang kecil bisa menampar yang besar, asal tahu kapan harus bicara dan bagaimana memakainya.

#camanewak

Foto AI, hanya ilustrasi.