HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Biografi Setan dalam Kultur Politik Kontemporer

October 3, 2025 20:29
IMG-20251003-WA0052

Oleh ReO Fiksiwan

Iblis tidak datang dari luar. Mereka hidup di dalam diri kita. Mereka adalah keraguan kita, kelemahan kita, keegoisan kita.” Salman Rusdhie (78), Satanic Verses (1989).

HATIPENA.COM – Dalam lanskap politik Indonesia kontemporer, naratologi tentang kekuasaan tak jarang bersinggungan dengan metafora metafisik: setan, iblis, dan kegelapan.

Tentu, bukan sebagai entitas gaib semata, melainkan sebagai simbol dari kekuatan destruktif yang merasuk dalam tubuh institusi, keputusan, dan relasi kuasa.

Diawali pula dengan mengupas sedikit bagaimana figur setan menjadi representasi dari modus operandi kekuasaan yang menyimpang dengan potensi dan personifikasi peran setan yang lebih suka diabaikan hampir seluruh manusia.

Wisnu Tanggap Prabowo, peneliti yang aktif dalam kajian sejarah intertekstualitas agama dalam forum ilmiah seperti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations, mengatakan di buku Sejarah Setan: Dalam Literatur Kitab Suci dan Demonologi Kuno (2025):

„Setan tidak datang dengan wajah kebencian, melainkan dengan bisikan (waswās; وَسْوَاس) yang menyerupai harapan; ia menyusup ke dalam niat baik dan mengubahnya menjadi jalan kesesatan.”

Selain itu, perspektif teologi agama-agama menyatakan hal sama bagaimana potensi dan kuasa personifikas setan dikukuhkan berikut:

/1/ Islam: QS. Fatir: 6: Inna ash-shayṭāna lakum ʿaduwwun fa-ittakhidhūhu ʿaduwwā (Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu).

/2/ Kristen: Iblis berjalan keliling seperti singa yang mengaum, mencari siapa yang dapat ditelannya.” (1 Petrus 5:8).

/3/ Yahudi (Tanakh dan Midrash):
“Dan Tuhan berfirman kepada Setan: Dari mana engkau datang?” (Ayub 1:7)⁠

/4/ Buddha (Tripitaka dan Tafsir Theravāda): Māra datang menyamar sebagai pikiranmu sendiri.” (Dhammapada, ayat 276).

/5/ Hindu, berdasarkan tafsir dari kitab suci dan ajaran klasik: „Kāma, Khroda, Moha pintu menuju kehancuran, ia membakar dharma dan mengikat jiwa dalam lingkaran samsara.” (Tafsir atas Bhagavad Gītā 3:37)⁠.

Jika lewat perspektif pendekatan hermeneutik dari Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricœur, serta ditopang oleh pembacaan sedikit kritis atas teks-teks, misal dalam Bambang Tri Mulyono (54), Jokowi Undercover (2014); Rismon S, Roy Suryo, dr. Tifa (RRT), Jokowi’s White Paper(2025), dan Ben Bland (40), Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020), bisa dikuak modus dan motif setan.

Andai dirujuk, betapapun sarat kontroversi Jokowi,s White Paper bisa ditelisik bagaimana keraguan (syakkun; شَكٌّ) terhadap keabsahan dokumen akademik Presiden Jokowi (2014-2024) menjadi pintu masuk bagi kritik terhadap legitimasi kekuasaan.

Dengan kata lain, teks-teks buku ini bukan sekadar gugatan administratif, melainkan refleksi atas bagaimana kebenaran bisa dikaburkan oleh narasi resmi, dan bagaimana elite politik bisa membentuk realitas melalui manipulasi simbolik.

Di sinilah hermeneutika Gadamer berperan: kebenaran (Wahrheit) bukanlah fakta objektif, melainkan hasil dari dialog antara teks dan pembaca, antara sejarah dan kesadaran kini.

Maka, ketika publik membaca dokumen kekuasaan, mereka tidak hanya menafsirkan isi, tetapi juga mengungkap horizon ideologis yang menyelubunginya.

Paul Ricœur dalam Hermeneutika Ilmu Sosial(Hermeneutics and Human Sciences: Essays on Language, Action, and Interpretation, 1981;2000) menekankan pentingnya memahami tindakan sosial sebagai teks yang bisa ditafsirkan.

Dalam hal ini, keputusan politik yang tampak rasional bisa menyimpan lapisan-lapisan makna yang bersifat destruktif maupun menyelundupkan bisikan-bisakan menggoda dan tentu menyesatkan.

Ketika seorang pemimpin memutuskan untuk membungkam oposisi, mengaburkan jejak akademik, atau membangun kultus personalitas, tindakan itu bukan hanya strategi politik.

Akan tetapi, juga manifestasi dari kehendak iblis: kehendak untuk menguasai, menipu, dan mengaburkan terang. Ricœur menyebut ini sebagai “ideologi yang menyamar sebagai rasionalitas”.

Peter J. Awn (73) dalam : Satan’s Tragedy and Redemption: Iblis in Sufi Psychology (Tragedi Setan: Iblis dalam Psikologi Sufi,200), menunjukkan bahwa dalam tradisi mistik Islam, iblis bukanlah makhluk jahat semata, melainkan simbol dari ego yang menolak tunduk pada kebenaran ilahi.

Menyelundup dalam politik, iblis menjelma sebagai hasrat kekuasaan yang menolak transparansi, menolak akuntabilitas, dan menolak pengabdian kepada rakyat.

Dalam konsep lain, Dr. Ahmad H. Sakr (1933-2015), pendiri Islamic Center of Southern California, Biografi Setan: (Pendekatan dan Pemahaman Ilmiah, 2002), setan digambarkan bukan hanya sebagai makhluk gaib yang menggoda individu secara spiritual, tetapi juga sebagai pengaruh sistemik yang menyusup ke dalam struktur sosial dan politik.

Ketika dikaitkan dengan kultur politik kontemporer, konsep setan dalam buku ini dapat ditafsirkan sebagai simbol, antara lain al-kadhdhab (pendusta) dalam praktik disinformasi, propaganda, pencitraan palsu, politik uang, korupsi, perebutan kekuasaan, polarisasi masyarakat, politik identitas, dan fitnah antar kelompok.

Ia merasuk dalam tubuh birokrasi, dalam retorika populis, dan dalam keputusan-keputusan yang tampak demi rakyat tetapi sejatinya demi pelanggengan kuasa.

Salman Rushdie dalam Ayat-Ayat Setan menggambarkan bagaimana wahyu (gharaniq) bisa disusupi oleh suara iblis, bagaimana kebenaran bisa dikaburkan oleh narasi yang tampak suci.

Dalam politik Indonesia, kita menyaksikan bagaimana janji reformasi bisa berubah menjadi praktik oligarki, bagaimana jargon demokrasi bisa menjadi alat represi.

Setan dalam politik bukanlah sosok bertanduk, melainkan keputusan-keputusan yang mengkhianati harapan rakyat, yang mengaburkan batas antara kebenaran dan kebohongan.

Melalui pendekatan hermeneutik, kita memahami bahwa politik bukan hanya soal kebijakan, tetapi soal narasi, interpretasi, dan simbol.

Setan dalam politik adalah metafora dari kehendak untuk menundukkan makna, untuk menguasai tafsir, dan untuk membentuk realitas sesuai dengan kepentingan elite.

Ia hidup dalam simbiosis mutualistik dengan aktor politik: elite memberi ruang bagi iblis untuk bekerja, dan iblis memberi elite kekuatan untuk bertahan.

Biografi setan dalam politik Indonesia adalah kisah tentang bagaimana kekuasaan bisa menjadi medan spiritual, tempat pertarungan antara terang dan gelap, antara kebenaran dan manipulasi.

Ia bukan sekadar metafora, tetapi metode analisis: untuk memahami politik, kita harus memahami bagaimana iblis bekerja dalam teks, dalam tindakan, dan dalam struktur.

Dan hanya dengan hermeneutika yang jujur, kita bisa menguak tabirnya. (*)

#coverlagu: Lagu “Maret 1989” adalah karya grup musik cadas legendaris Indonesia, God Bless, yang dirilis dalam album keempat mereka: “Raksasa”1989).

Lagu ini terinspirasi dari peristiwa kontroversial yang terjadi pada Maret 1989, yaitu saat novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie memicu kemarahan umat Islam di seluruh dunia karena dianggap menghina Nabi Muhammad SAW.

Lirik lagu ini menyinggung “ayat setan” yang disebut telah membakar perasaan manusia dan memicu konflik global.