Oleh: Rusdin Tompo
Koordinator Satupena Sulawesi Selatan
HATIPENA.COM – Penasaran. Kata inilah yang membuat saya memacu kendaraan ke arah Parang Tambung, di Jumat, 26 September 2025.
Saya bergerak dari Perpustakaan Provinsi di Jalan Sultan Alauddin, berbelok ke arah barat daya untuk memenuhi undangan Tudang Sipulung Balla’ Mangkasara’ yang akan menggelar Workshop dan Dialog Tari Nusantara di Baruga Kaluarrang.
Sore itu menjadi hari istimewa, bukan saja lantaran ada tamu dari SMA Katolik Giovanni, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan tampil menari di sana. Namun, karena terjawab sudah rasa penasaran saya selama bertahun-tahun.
Saya lama memendam penasaran pada papan nama Lorong Wisata, yang biasa saya lihat setiap kali melewati masjid yang berada di pinggir Jalan Daeng Tata III itu. Rasa penasaran saya terkait dengan pertanyaan, Lorong Wisata apakah yang ada di dalam sana?
Sehingga, begitu ada flyer kegiatan yang dijapri Goenawan Monoharto, seketika terpikirkan oleh saya, jangan-jangan Lorong Wisata itu tempatnya Kampung Seni Baruga Kaluarrang–home base-nya Lembaga Seni Budaya Batara Gowa.
Benar saja. Begitu memasuki lorong dengan lukisan mural penari berukuran besar di salah satu dinding rumah warga, saya melihat gerbang yang di sisinya terpasang spanduk kegiatan.
Saya langsung masuk, dan memarkir kendaraan. Sudah ada anak-anak mahasiswa yang duduk menghadap ke area baruga. Tempat duduknya memanjang terbuat dari beton, diteduhi rimbun rumpun bambu yang tumbuh dari balik pagar temboknya.
Begitu tiba, segera saya menyalami tuan rumah, Basri B Sila, yang akrab disapa Daeng Bas. Kepada beliau, saya sampaikan, baru kali ini ke tempatnya.
Sambil ngobrol, mata sata menyapu bangunan yang terdapat ukiran kayu di atasnya. Di bangunan itu tertulis jelas “Batara Gowa” dalam huruf Latin dan aksara Lontarak. Tulisan warna merah kecokelatan itu dibuat sederhana, tampaknya hanya diletter menggunakan kuas.
Saya juga menyalami Goenawan Monoharto, penyair, pemain teater, fotografer, dan penerbit buku, Yudhistira Sukatanya, sastrawan dan sutradara teater, Luna Vidia, seniman monolog yang juga aktivis, Dr Nurlina Syahrir, M.Hum, dosen Fakultas Seni dan Desain (FSD) Universitas Negeri Makassar (UNM), Bahar Merdhu, Sukma Sillanan, Dewi Ritayana, serta beberapa tamu lain yang sudah lebih dahulu datang.
Nurlina Syahrir, maestro tari Pakarena, dalam tudang sipulung dan workshop ini bertindak sebagai produser. Sementara Luna Vidia sebagai pemantik diskusi, yang akan membahas seputar Tari Gong asal Pulau Rote, NTT.
Tari ini merupakan tari kreasi baru, yang menggambarkan para perempuan menunggu lelaki mereka pulang dari medan perang. Gong bagi masyarakat Rote disebut “meko”, yang digunakan sebagai alat musik ritmis dan simbol budaya yang penting dalam upacara adat.
Luna Vidia menyebut pentingnya tarian sebagai identitas dan ekspresi budaya, yang bukan hanya tampak dalam wastra yang dikenakan berikut aksesorinya, tetapi juga dalam geraknya. Luna juga menekankan perlunya para penari menjiwai tariannya, bukan sekadar menghafal ketukan dan gerakan.
“Kita itu orang dari Timur, punya istilah isi bagara. Begitu dengar bunyi musik, langsung badang bagoyang iko irama,” kata perempuan asal Maluku yang tumbuh besar di Papua itu.
Saya yang awam soal tari, tergelitik begitu disebut nama Maluku dan Papua–dua daerah yang cukup familiar dalam hidup saya. Kebetulan saya pernah pula ke Kupang, nginap di Hotel Sasando.
Saya menyahuti tentang alat musik yang digunakan. Sayangnya, kata saya, hanya berupa playback, tidak dihadirkan langsung pemusik dan alat musiknya.
Ini penting agar kita sebagai penonton bisa mengenali alat musik yang digunakan, bisa membedakan tifa dari Rote (NTT) dengan tifa asal Maluku atau Papua. Dan apakah bunyi-bunyian dari gong itu satu set layaknya totobuang dari Maluku. (*)