Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Saya agak hati-hati menulis soal runtuhnya musala di Ponpes Khoziny. Karena, banyak mengkaitannya dengan aqidah atau agama. Ada juga merasa gerah bila pondok pesantren selalu disudutkan. Belum lagi berbicara dari sudut orang tua korban. Banyak sekali pertimbangan, bisa-bisa tak ada yang mau menuliskannya. Namun, saya coba memberikan sudut pandang berbeda, walau mungkin ada yang merasa gerah. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula agar otak selalu encer dan waras, wak!
Sebelum bahas lebih dalam, saya ucapkan “Innalillahi wainna ilaihi rojiun” untuk seluruh korban. Kepada orang tua korban harap selalu bersabar, karena ini semua ujian dari Allah Swt.
Langit Sidoarjo masih diam pada pagi itu, 29 September 2025. Tapi bumi yang tenang berubah jadi liang besar yang menelan 16 nyawa santri Pondok Pesantren Al Khoziny. Enam belas anak muda yang tak sempat menua, terkubur di bawah musala empat lantai yang ambruk seperti doa yang tak sampai. Ada 167 nama tercatat: 104 selamat, 49 masih dalam pencarian, dan 16 berpulang. Beberapa masih berpelukan di bawah tumpukan besi, mungkin masih berzikir sebelum napas terakhirnya terhenti oleh beratnya kelalaian manusia.
Kita semua berduka. Tapi di tengah tangis dan reruntuhan, muncul mereka, orang-orang pintar dengan rompi berlogo dan wajah yang sudah hafal kamera. Ada yang datang dengan tangisan yang terlatih, ada yang berpidato dengan nada penghakiman, ada yang mengulurkan janji seperti sutradara bencana. Mereka membawa kamera sendiri, menyiapkan sorot duka, lalu memungut simpati dari abu dan semen. Kata-kata mereka menyulut api baru, penghakiman publik, bukan belasungkawa. Dalam hitungan jam, duka berubah jadi sidang terbuka. Bukan hanya bangunan yang runtuh, tapi empati juga ikut roboh.
“Pokoknya pesantren yang salah,” kata sebagian suara. Padahal siapa di negeri ini yang paling berutang pada pesantren kalau bukan negara? Sebelum republik ini punya bendera, pesantren sudah punya panji. Sebelum negeri ini punya tentara, para santri sudah mengangkat bambu runcing.
Tapi setelah merdeka, republik malah menutup mata. Anggaran pendidikan mengalir deras ke gedung-gedung megah, tapi pesantren hanya dapat remah. Para ustaz digaji tiga ratus ribu sebulan, iuran santri di bawah seratus ribu, tapi mereka tetap mengajar, karena iman, bukan karena gaji. Mereka tak punya laboratorium, tapi mereka membentuk moral bangsa. Mereka berkembang tanpa bantuan pemerintah, tapi mereka menanamkan nurani yang membuat negeri ini tetap waras.
Kini, ketika tembok mereka roboh, semua menuding mereka yang salah. Padahal, siapa yang membiarkan pesantren membangun sendiri tanpa bantuan insinyur, tanpa subsidi keselamatan, tanpa sistem pengawasan layak? Negara seolah berkata, “Bangunlah iman, tapi bayar sendiri biayanya.” Lalu ketika beton itu runtuh karena iman yang dipaksa menggantikan izin, negara datang dengan kamera dan kata “evaluasi”.
Di depan reruntuhan itu, pengasuh pondok hanya bisa berkata lirih, “Ini takdir dari Allah.” Mungkin karena ia tak punya kata lain untuk menjelaskan rasa bersalah yang menghimpit. Tapi takdir yang sejati tidak datang dari kelalaian yang diabaikan. Takdir bukan alasan untuk menutup mata dari hukum fisika dan logika tanggung jawab. Takdir hanyalah cermin, memperlihatkan betapa rapuhnya moral kolektif yang lebih cepat mengadili daripada menolong.
Muji Himawan dari ITS menyebut ini kegagalan struktur total. Tapi sesungguhnya, yang gagal bukan hanya struktur bangunan, yang runtuh adalah struktur kepedulian. Negara gagal hadir sebelum bencana, hanya pandai datang sesudahnya. Negara absen di pondasi, tapi ingin hadir di upacara belasungkawa.
Mereka yang tewas tidak salah. Mereka hanya terlalu percaya pada iman, di tengah dunia yang menuntut izin. Enam belas santri kini diam di liang yang mereka bangun sendiri, sementara bangsa ini masih sibuk mencari siapa yang bisa disalahkan tanpa melihat ke cermin.
Mungkin suatu hari, ketika debu ini reda, prasasti di musala baru itu akan berbunyi begini, “Kami tidak butuh belasungkawa, kami butuh negara yang benar-benar hadir.” Di bawahnya, nama-nama enam belas santri itu akan terukir, bukan sebagai korban bangunan, tapi sebagai saksi betapa negeri ini pandai berdoa tapi gagal bertanggung jawab. (*)
#camanewak
Foto AI, hanya ilustrasi