Narudin Pituin
1). Puisi Maman S. Mahayana
Membaca puisi-puisi seorang kritikus sastra Indonesia “senior”, Maman S. Mahayana, dalam buku Jejak Seoul (2016) menarik karena kita dapat melihat kemampuannya dalam menulis puisi. Seorang teoretikus berkata bahwa puisi ialah karya sastra tersulit karena sangat kompleks. Oleh karena itu, kita dapat melihat kecerdasan seseorang lewat puisi-puisinya.
Kita simak bait-bait puisi berikut, dari puisi berjudul “Gejang dan Kotkyetang: untuk Lee Yeon”:
Bagai yin dan yang
batas bumi dan langit lepas
percik air dan bara api
redup bulan dan hangat matahari
perempuan dan lelaki
bersatu dalam baskom keramik
menjelma masakan
kepiting segar: mentah dan matang.
Bukalah lipatan sejarah Raja Joseon
Kim Jong-jik, sang penyair
catatan tinta emas maestro Siui Jeonseo
atau kitab klasik, Gyuhap Chongseo
kepiting jadi santapan malaikat
penggoda selera tuhan:
“Ini masakan lezat, pencuri nasi.”
Baris-baris puisi di atas menjemukan, terlalu asyik dengan kenikmatan pribadi, lupa bahwa puisi itu harus disampaikan secara puitis kepada pihak pembaca yang juga ingin merasa tertarik dengan pengalaman makan yang nikmat itu.
Yang terjadi Maman S. Mahayana tertarik sendiri dan sibuk sendiri dengan pelbagai “hiasan permukaan” itu dengan mengabaikan “kedalaman puisi-puisinya”. Puisi-puisi di bagian pertama buku ini hampir seluruhnya bersifat deskriptif, menggambarkan pengalaman Maman S. Mahayana saat berada di Korea secara individual, memesona dirinya sendiri—pembaca tak di buat tertarik atau masuk ke dalam puisi itu.
Kita simak juga puisi berikut ini. Puisi ini termasuk puisi gagal karena sudah tak perlu lagi dijelaskan.
SUBWAY
Datang setiap tiga menit
dan orang-orang tetap berlari
tak ada waktu berdiam
tak ada waktu terbuang
Soekgye, 3 September 2010
Mungkin puisi di atas dianggap berhasil oleh Maman S. Mahayana karena pengalamannya yang istimewa itu secara individual. Namun, kelugasan puisi di atas sangat polos, sekadar informasi atau berita biasa.
2) Puisi Hasan Aspahani
Hasan Aspahani harus belajar lagi soal dikotomi Saussure perihal relasi sintagmatis dan paradigmatis. Bagaimana kata-kata itu diseleksi dan disusun secara baik dan benar agar prinsip proyeksi ekuivalensi Jakobson menggembirakan. Simak puisi di bawah.
ITUKAH SAJAK YANG KAU TULIS UNTUKKU?
APAKAH sajak-sajak cinta yang tak menyebut namaku itu?
Aku sering tersesat di sana. Terkejut pada kata yang
tak pernah aku tahu, padaku mereka ingin mengucap apa.
Aku kerap terjerembap di sana. Berjalan berbait-bait
yang rumit, yang aku tak tahu hendak mengantarku ke mana.
Tapi, aku betah di sana. Seakan sembunyi dari banyak bunyi,
yang bertahun-tahun memaksa aku memekakkan telinga sendiri.
Ah, alangkah kamusnya engkau. Sebetapa sempitnya lidahku.
Aku ingin tahu, apakah sajak-sajak itu kau tulis untukku?
Puisi Hasan Aspahani di atas tampak seperti indah dan cerdas secara linguistik. Namun, minimal perhatikan dua hal ini: “Ah, alangkah kamusnya engkau.” Ucapan kekaguman harus diikuti oleh kata sifat bukan kata benda. Jadi, “alangkah + kamusnya…” tidak tepat, seharusnya “alangkah fasihnya…” atau “alangkah berlimpahnya kata-kata…”. Dan teliti pula kata “sebetapa”. Ini tidak tepat. Bentuk terikat “se-“ pada kata “betapa” bermakna “satu betapa” atau “sama betapa”. Dengan demikian, kalimat ini tidak logis. Di satu sisi, sebelumnya engkau banyak kata (kamus); di pihak lain, sama betapa sempitnya lidahku. Jadi, kau banyak kata sama dengan sempit kata. Jika gagal dalam baris ini sebagai klimaks puisi ini, gagallah puisi di atas.
Perhatikan satu lagi puisi yang bergerak secara tematik: kematian.
MENU KHUSUS PADA SEBUAH RESTORAN
HARI yang sudah senja menyusun sembilan meja
bayang-bayang pelengkap di kanan sisi-sisinya.
Taplak antelas hitam sewarna langit. Warna kelam.
Ini restoran kehidupan. Tanpa kursi. Tanpa keranda.
Pada daftar hanya sebuah menu khusus: Kematian.
Kau, mestinya sudah pula dapat tempat. Istimewa.
Kau sudah lama memesan. Datanglah sendirian.
Anak-anak tak berayah jadi pelayan. Piring kosong,
Sendok dan pisau, menata risau. “Tak ada yang
sempat menyantap, apa yang telah disuguhkan.”
Demi perjalanan. Demi sopan-santun perjamuan.
Puisi di atas tampak rapi, tetapi jika diperiksa secara saksama, akan ditemukan sekian ketidakmulusan sintaksis dan semantik, bahkan pragmatis. Perhatikan ini, “Hari yang sudah senja menyusun sembilan meja”. Ini berlebihan. Cukup katakan saja “senja” karena kata “sudah” telah terkandung dalam kata “senja”. Jadi, baris ke-1 bersifat redundan (mubazir). Di situlah bahasa kreatif puisi seharusnya bermain meskipun dalam percakapan sehari-hari kita berucap secara komunikatif “hari telah senja”. Bandingkan dengan struktur baris Aspahani di atas “hari yang sudah senja…”.
Periksa baris ke-2, “hitam sewarna langit” itu tidak sama dengan “warna kelam” sebagai penjelas karena warna “kelam” sama dengan “agak hitam”. Jadi, “hitam” tidak sama dengan “agak hitam”. Bait ke-2 yang satu baris itu tak logis atau cacat secara semantik.
Lebih parah lagi, bait ke-5, “Tak ada yang sempat menyantap (kematian)…”. Nyatanya, semua orang bakal mati. Jadi, kalimat aneh itu seharusnya terbaca “… enggan menyantap (kematian), apa yang telah disuguhkan.” Karena meskipun manusia fana dan bakal mati, tetapi sifat dasar manusia itu cenderung enggan dijemput kematian. Kalimat atau baris “tak ada yang sempat menyantap kematian” atau “tak ada yang mati” itu justru kalimat lucu dan bahkan salah.
Tidak perlu kiranya panjang lebar. Pembaca yang budiman telah dapat menilai sendiri kualitas puisi-puisi Maman S. Mahayana dan puisi-puisi Hasan Aspahani.