HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Evakuasi Selesai, Tercatat 67 Korban Meninggal

October 7, 2025 13:57
IMG-20251007-WA0050

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Hanya bisa mengucapkan “Innalillahi wainna ilaihi rojiun.” Sebanyak 67 korban meninggal dunia. Pastinya, menimbulkan duka sangat mendalam terutama bagi orang tua korban. Evakuasi selesai, dan tulisan ini juga terakhir soal tragedi di Ponpes Al Khoziny. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!

Evakuasi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, resmi berakhir. Tapi siapa bisa bilang duka juga ikut selesai? Tanah yang kini rata dengan bumi bukan sekadar puing-puing beton, tapi makam bagi 67 jiwa yang pernah hidup dalam doa, dalam ayat, dalam sujud. Sembilan hari tim SAR menggali reruntuhan, dan pada hari kesembilan, Selasa, 7 Oktober 2025, pukul 10.00 WIB, Basarnas menutup operasi. Tapi di hati para ibu, pencarian takkan pernah selesai.

“Hari ini operasi pencarian dan pertolongan resmi kami akhiri,” kata Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii. Suaranya tegas, tapi lelah. Di belakangnya, dua eskavator berdiri kaku di tengah puing, seperti dua penjaga kuburan yang menatap langit kelabu. Mushala tiga lantai itu kini hanya serpihan. Bangunan yang dulu bergema oleh ayat suci telah jadi debu.

Sebanyak 171 orang dievakuasi: 104 selamat, 67 meninggal dunia. Delapan di antaranya bukan lagi tubuh, hanya bagian, potongan kehidupan yang dipisahkan dari dirinya sendiri. Sembilan hari lamanya, mereka menggali doa yang terkubur bersama bata dan semen. Tragedi itu terjadi di jam paling suci, Ashar, Senin sore, 29 September 2025. Saat kepala-kepala kecil menunduk di atas sajadah, langit-langit beton runtuh menimpa mereka. Dunia bergetar, bukan karena gempa, tapi karena Tuhan sedang menjemput anak-anak yang sedang memanggil nama-Nya.

Kata para ahli, ini kegagalan konstruksi. Tapi bagi para ayah dan ibu, ini bukan soal teknik bangunan. Ini tentang harapan yang dipulangkan terlalu cepat. Tentang doa yang terpotong di tengah kalimat. Tentang sandal-sandal kecil yang tak lagi punya pemilik.

Dari Bangkalan, lima jasad dibawa pulang: Maulana Alvan Ibrahimavic (14), Nuruddin (13), Ahmad Rijalul Haq (16), Moh Royhan Mustofa (17), dan Sulaiman Hadi (15). Mereka semua santri muda, hafal ayat-ayat pendek, bermimpi jadi ustaz, ingin membanggakan orang tua. Kini mereka tidur dalam tanah yang sama, di desa tempat mereka dulu belajar mengaji. Sekretaris BPBD Bangkalan, Catur Fajar Supriyanto, menegaskan, satu dimakamkan di Kamal, satu di Modung. Jenazah dikenali dari tanda lahir, luka kecil, benjolan daging di tubuh, tanda-tanda sederhana yang kini jadi tiket menuju surga.

Muhammad Syukur, ayah Royhan, menatap langit saat jenazah anaknya ditemukan pada Sabtu (4/10), pukul 14.00 WIB. “Insha Allah saya ikhlas. Ini musibah dari Allah. Insha Allah anak saya syahid,” katanya lirih. Bibirnya bergetar, tapi air matanya sudah kering. Lima hari ia menunggu anaknya ditemukan, hingga akhirnya yang kembali hanya tubuh dingin yang pernah ia gendong dengan tawa.

Di Surabaya, rumah keluarga Rafi Catur Okta Mulya (17) hening. Di meja masih ada kalender dengan lingkaran merah di 8 Oktober, hari ulang tahunnya yang ke-18. Kakaknya, Novita Tri Endah (26), sudah menabung ingin memberi kejutan. “Aku pengen beliin kue tart, pengen jenguk ke pondok,” katanya terbata. Tapi yang datang lebih dulu bukan kabar bahagia, melainkan berita duka. Rafi baru dua bulan di pesantren, ingin memperdalam agama. Tuhan memilih hari ulang tahunnya untuk memanggilnya pulang.

Kini, operasi evakuasi memang selesai. Tapi tidak dengan air mata, tidak dengan kehilangan. Di antara debu dan puing, masih terdengar gema Ashar terakhir yang tak sempat selesai. Mereka sujud, lalu langit ikut runtuh. Mungkin di tempat lain, anak-anak itu sedang melanjutkan doa yang terhenti di bumi ini. (*)

#camanewak

Foto AI hanya ilustrasi