Catatan Satire; Rizal Pandiya
Penggiat Literasi/ Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Nyali anggota dewan Lampung Utara untuk melakukan korupsi ternyata boleh juga. Setidaknya mereka sukses ngakali banyak orang dengan cara membuat perjalanan dinas fiktif. Bukan dua kali, bukan enam kali, tapi 62 kali! Bayangkan, orang yang ikut arisan RT saja paling cuma sekali sebulan, tapi ini bisa “dinas luar” sampai 62 kali tanpa surat secuil pun. Yuk kita bahas sambil nyeruit di pojok belakang dapur. Jangan lupa siapin jengkol mudanya.
Kerugian negara, kali ini memang tergolong kecil. Kalau dibandingkan dengan kasus perjalanan dinas fiktif di daerah lain, angka Rp507 juta lebih itu belum ada apa-apanya. Tapi masalahnya bukan pada jumlah uang yang digangsir, melainkan kecilnya rasa malu yang tersisa.
Coba lihat pembanding ini: di Setwan DPRD Riau anggota dewan melantak uang sebanyak Rp195,9 miliar, di DPRD Kaur Bengkulu wakil rakyat itu menghajar duit negara sebanyak Rp11 miliar, lalu di Maluku Utara anggota dewan merampok uang rakyat Rp7,9 miliar, sedangkan di DPRK Simeulue Aceh anggota legislatifnya menggangsir uang sebanyak Rp2,8 miliar.
Ada lagi di DPRK Aceh Barat Daya, anggota dewannya maling uang rakyat senilai Rp1,3 miliar, dan yang “paling irit dosa” anggota dewannya di Aceh Barat, cuma Rp994 juta doang. Semuanya kasus perjalanan dinas fiktif dan dilakukan secara berjamaah.
Lalu di Lampung Utara hanya Rp 507.718.000. Mungkin ini masuk golongan “korupsi entry level”. Kalau jumlah ini dibagi sebanyak 45 anggota dewan ditambah 10 pegawai sipil di sekretariat dewan yang terlibat, masing-masing cuma dapat Rp9 jutaan. Kategori ini mungkin cocok untuk kerja magang sebelum akhirnya naik ke tingkat nasional. Tapi lumayan buat ngurangi cicilan utang Pileg.
Kalau dipikir-pikir, sepertinya anggota dewan kita ini masih ragu-ragu, antara ingin jujur tapi ada kesempatan. Sayang kalau dilewatkan. Atau mungkin juga mau korupsi tapi takut fotonya dipajang di kejaksaan saat press release. Tapi bisa jadi mereka masih amatiran, karena belum punya mentor dari senior-senior yang korup. Atau jangan-jangan mereka dihantui mimpi mengenakan seragam oranye, dengan tangan diborgol, sambil antre berbaris fingerprint di hotel prodeo.
Tapi yang bikin heran, kenapa tujuannya hanya ke Kemendagri doang. Memangnya mereka nggak mikir apa? Itu kan kantor pemerintah yang paling mudah dilacak jejaknya. Harus dapat tanda tangan dari sekretariat Kemendagri, stempel, minimal selfie-selfie dengan menterinya. Atau kalau tak sempat, ya selfie dengan cleaning service-nya juga bolehlah, asalkan di belakangnya ada tulisan “Kementerian Dalam Negeri Konoha.”
Kalau mau buat perjalanan fiktif, ya jangan tanggung-tanggung! Bikin aja sekalian perjalanan dinas ke Benua Antartika, biar sulit dilacak. Kalau ditanya, kan bisa alasan jejaknya ketutup salju. Atau sekalian saja ke daerah konflik, seperti ke Israel, supaya nanti kalau pulang bisa cerita pengalaman spiritual sekalian buat surat keterangan luka kena peluru basoka model terbaru.
Lagi pula, kedengarannya juga agak keren dikit kalau perjalanan dinasnya jauh, “Kami baru saja pulang studi banding dari daerah konflik, bro.” Tapi ini cuma kok ke Jakarta yang jaraknya segitu doang, tapi mark-up-nya seperti mau berangkat ke planet Mars. Selain receh, gayanya seperti lagi tugas negara menyelamatkan rakyat dari gangguan alien.
Padahal nih, ya, kalau direken-reken, jarak kantor DPRD Lampung Utara dengan Kemendagri di Jakarta itu sebenarnya nggak jauh-jauh amat. Cuma melewati provinsi Banten doang langsung sampai. Saking deketnya, Jakarta – Lampung bisa pergi pulang dalam sehari. Deket banget! Ini mah nggak perlu pakai ilmu teleportasi apalagi “meraga sukma” untuk sampai ke Jakarta.
Lagian, kalau memang harus ke Jakarta sekali pun, rasanya nggak perlu pake korupsi segala. Cukup dengan Rp150 ribu saja, sudah bisa naik bus omprengan, bisa lihat Monas, lihat gedung pencakar langit, dan bisa beli kerak telor di emperan jalan. Itu saja sudah bisa disebut perjalanan dinas pribadi tapi versi hemat. Dan kalau ingin kelihatan sedikit keren di laporan keuangan, kan bisa minta nota fiktif, meski itu bukan cara cerdas, tapi cukup kreatif.
Kalau dihitung, hasil uang korupsinya pun nggak seberapa, tapi malunya itu yang bisa bikin tujuh turunan. Apalagi kalau sudah P-21, bisa masuk bui dan masa tua pun dihabiskan di balik jeruji besi sambil ngitung cicilan dosa.
Dan kalau ditanya wartawan, biasanya alasan mereka pasti jawab, “Demi pembangunan daerah, kita siap siang malam bekerja 24 jam, Bang.” Padahal yang mereka bangun hanya rekening pribadinya.
Guna meloloskan modus ini, mereka biasanya nggak kerja sendirian. Apalagi yang namanya proyek. Dapat dipastikan, di balik setiap perjalanan dinas fiktif, ada tangan-tangan ASN yang turut membantu. Mereka berbagi peran, ada yang membuat surat tugas, ada yang menyusun anggaran, mengetik laporan, bahkan ada yang pura-pura nelpon ke Jakarta.
Ketika kampanye, dulu mereka pakai jargon “bersih dan anti korupsi.” Tapi setelah mereka terpilih, yang bersih hanya kemeja safarinya, sementara tangannya belepotan noda tinta anggaran. Mereka berwisata dengan laporan fiktif sementara rakyat disuruh berhemat.
Yang bikin geli, saat disinggung tentang temuan BPK, mereka seperti orang bingung, “Lho, masa iya sih? Mungkin saya lupa, itu yang tahun berapa ya?” Lupa itu memang cara aman untuk menghindar dan menjadi ciri khas pejabat kita. Semua tiba-tiba menjadi alzheimer stadium politis ketika ada pemeriksaan.
Tapi apa pun alasannya, permainan seperti ini membuat rakyat muak. Bagi rakyat kecil, Rp500 ribu sudah bisa beli beras, untuk bertahan hidup selama satu bulan, bukan Rp500 juta untuk pelesiran. Sesungguhnya, rakyat cuma berharap wakilnya punya integritas, bukan justru mengakali uang rakyat yang berasal dari pajak para pemilihnya.
Makanya, kalau berani jangan takut-takut, tapi kalau takut, jangan berani-berani. Karena negara ini rasanya sudah cukup banyak pelatih moral tetapi gagal, jadi jangan lagi ditambah dengan junior-junior yang setengah niat. Sebab yang membuat ngeri-ngeri sedap itu bukan korupsi besar, tapi juga kebohongan kecil yang dilakukan berjamaah yang mengatasnamakan perjalanan dinas. Yuuk… dihabisin lalapnya dicocol sambal delan. (*)
Bandar Lampung, 8 Oktober 2025
#MakDacokPedom