HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Di Saat Paling Kritis Sekalipun, Harapan Akan Selalu Ada

October 9, 2025 13:09
IMG-20251009-WA0014

Oleh Ririe Aiko

HATIPENA.COM – Ketika membaca kisah tentang Haikal, seorang anak kecil yang selamat dari musibah yang menimpa Ponpes Al Khoziny pada Selasa, 1 Oktober 2025, hati saya begitu trenyuh. Ada perasaan sedih yang sulit dijelaskan, bercampur haru, sekaligus kekaguman mendalam pada sosok kecil yang begitu kuat memegang imannya. Dari seorang anak yang bahkan belum memiliki KTP, saya belajar bahwa keimanan sejati tidak ditentukan oleh usia, melainkan oleh kemurnian hati.

Selama tiga hari Haikal terjebak di bawah timbunan bangunan yang ambruk, terhimpit oleh jasad dua sahabatnya. Dalam gelap dan sesak, di tengah aroma debu dan kematian, justru di sanalah cahaya imannya paling terang. Ia tidak menjerit putus asa, tidak mengutuk nasib, tetapi tetap memelihara keyakinan bahwa Tuhan bersamanya. Meski tubuhnya lemah, namun tutur katanya menyalakan kekuatan yang sulit digambarkan. Dengan polos tapi yakin, ia menceritakan bagaimana ia dan teman-temannya yang masih hidup di bawah reruntuhan berusaha tetap menegakkan salat berjamaah.

Malam itu, ketika azan Isya hanya bergema dalam ingatan, Haikal membangunkan seorang temannya yang terbaring di sampingnya.
“Ayo salat, ayo salat,” katanya lembut sambil menepuk bahu sahabatnya.
Sahabatnya masih sempat menjawab lirih, “Siapa yang jadi imam?”
Lalu entah bagaimana, Haikal mendengar suara yang memimpin bacaan salat. Ia tidak tahu siapa sosok itu, tapi di tengah kegelapan yang pekat, keyakinannya membuatnya merasa tidak sendirian.

Ketika waktu Subuh tiba, ia kembali menepuk bahu sahabatnya. Namun kali ini, tak ada jawaban. Sunyi. Hening yang menggantung lama di dada.
Saat itulah Haikal menyadari bahwa sahabatnya telah pergi, meninggalkan dunia yang remuk bersama bangunan itu.

Di tengah kesedihan yang tak terucap dan rasa haus yang membakar tenggorokan, Haikal melihat dua botol air tak jauh darinya. Namun ia menahan diri.
“Itu bukan hak saya,” katanya pelan kepada petugas setelah diselamatkan.

Ucapan sederhana, tapi maknanya begitu dalam. Dalam situasi genting di mana nyawa menjadi taruhannya, anak sekecil itu masih mampu membedakan mana yang hak dan mana yang bukan. Di tengah dunia yang sering kali kehilangan rasa malu, di mana orang bisa dengan mudah mengambil yang bukan miliknya, Haikal berdiri sebagai cermin kecil tentang kesucian hati.

Ketika banyak orang dewasa kehilangan arah karena keserakahan, Haikal, dengan segala keterbatasannya, mengajarkan makna ketaatan yang sesungguhnya. Iman yang tidak hanya diucapkan, tapi dijalani, bahkan di ambang maut sekalipun.

Ibunda Haikal, Dwi Ajeng, tak kuasa menahan haru ketika menceritakan kisah putranya. Dalam kondisi haus yang luar biasa, Haikal mengaku sempat didatangi sosok anak kecil yang memberinya minum.
“Katanya anak saya haus sekali, terus ada anak kecil ngasih minum. Setelah itu dia tidur, dipanggil-panggil nggak ada,” tutur sang ibu dengan suara bergetar.
Kisah itu membuat saya merinding. Mungkin bagi sebagian orang itu terdengar mustahil, tapi bagi saya, itu bukti bahwa pertolongan Tuhan bisa datang dalam bentuk yang tak terduga.

Satu hal lagi yang paling membuat saya tertegun adalah ketika ibunya mengatakan bahwa Haikal tidak merasa panik ketakutan atau tidak nyaman selama terjebak di bawah reruntuhan.
“Katanya posisi tidur kakak itu enak, nyaman, kayak tidur biasa,” ujarnya.
Bayangkan, di tengah puing-puing bangunan, di antara rasa sakit dan sesak, Haikal justru diberi ketenangan. Seolah Tuhan menidurkannya dengan damai di pangkuan-Nya sendiri.

Kisah ini membuat saya merenung lama. Betapa sering kita mengeluh saat menghadapi sedikit kesulitan. Betapa mudahnya kita kehilangan arah ketika hidup terasa sempit. Padahal, dari seorang anak kecil yang hampir kehilangan segalanya, kita diajarkan arti berserah yang sesungguhnya.

Haikal menjadi pengingat bahwa pertolongan Tuhan tidak selalu hadir dalam wujud besar dan gemilang. Kadang Ia datang dalam bentuk rasa tenang di tengah kepanikan, dalam kekuatan untuk bertahan, atau dalam kejadian kecil yang tak bisa dijelaskan oleh logika.

Membaca kisah Haikal membuat saya belajar untuk lebih percaya. Bahwa seberat apa pun beban yang kita pikul, sekelam apa pun hari yang kita lalui, harapan tidak pernah benar-benar hilang.
Tuhan selalu punya cara untuk menunjukkan kasih-Nya, bahkan di saat paling kritis sekalipun.

Dari tragedi reruntuhan Ponpes Al Khoziny itu, Haikal telah membawa pesan besar bagi kita semua: bahwa dalam setiap kegelapan, selalu ada cahaya kecil yang tak pernah padam, cahaya harapan yang lahir dari iman. (*)