Drs. Makmur, M.Ag
Kepala Kemenag Kota Bandar Lampung
HATIPENA.COM – Ada banyak kisah sahabat Nabi Muhammad yang selalu hidup sepanjang zaman. Kisah-kisah itu bukan sekadar cerita sejarah, melainkan cermin kehidupan yang memantulkan pelajaran berharga bagi siapa saja yang mau mengambil hikmah. Salah satunya adalah kisah Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu, sahabat Nabi yang dikenal sebagai saudagar kaya, dermawan besar, sekaligus termasuk dalam sepuluh orang yang dijamin surga (al-‘Asyarah al-Mubashsharun bil Jannah). Namanya harum dikenang bukan karena tumpukan kekayaannya, melainkan karena ketakwaan, kedermawanan, dan keikhlasannya yang luar biasa.
Suatu ketika Rasulullah saw bersabda bahwa di antara para sahabatnya, yang paling terakhir masuk surga adalah Abdurrahman bin Auf, sebab harta yang dimilikinya amat banyak dan harus dihisab terlebih dahulu. (HR. Ahmad). Mendengar sabda itu, Abdurrahman tak merasa bangga. Hatinya justru diliputi rasa sedih. Ia ingin bersama Nabi Muhammad di surga tanpa penundaan. Maka sejak itu ia bertekad untuk menjadi miskin agar bisa segera masuk surga. Namun, ketentuan Allah berkehendak lain—setiap kali ia mencoba menjadi miskin, justru kekayaannya bertambah berlipat.
Salah satu kisah menakjubkan terjadi setelah perang Tabuk. Saat para sahabat kembali ke Madinah, mereka mendapati kurma-kurma di rumah mereka telah membusuk karena ditinggalkan berbulan-bulan. Harga kurma pun anjlok, banyak sahabat yang bersedih. Tetapi Abdurrahman melihatnya sebagai peluang. Ia menjual sebagian hartanya, lalu membeli semua kurma busuk milik para sahabat dengan harga kurma yang bagus. Sahabat-sahabat merasa sangat terbantu, sementara Abdurrahman merasa lega karena hartanya berkurang drastis. Ia berharap kurma busuk itu tak laku, hingga ia benar-benar jatuh miskin dan bisa masuk surga lebih cepat.
Namun, Allah menulis takdir yang berbeda. Beberapa hari kemudian, datang utusan Raja Yaman yang mencari kurma busuk untuk dijadikan obat karena negeri mereka dilanda wabah. Ternyata, hanya Abdurrahman bin Auf yang memiliki persediaan kurma busuk dalam jumlah besar. Utusan itu memborong semua dengan harga sepuluh kali lipat dari kurma terbaik. Seketika, Abdurrahman kembali menjadi hartawan. Ia pun gagal menjadi miskin, namun tetap menjadi Abdurrahman bin Auf: sahabat mulia, ahli surga yang kaya raya, dermawan, dan diridhai Allah.
Kisah ini bukan sekadar anekdot sejarah. Ia adalah bukti nyata bahwa rezeki sepenuhnya berada di tangan Allah. Allah berfirman: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. At-Thalaq: 2–3)
Demikian pula janji Allah tentang sedekah: “Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap bulirnya seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas karunia-Nya, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Bahkan Rasulullah saw menegaskan: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan ikhlas kecuali Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad)
Abdurrahman bin Auf membuktikan semua janji itu. Ia tidak pernah ragu menginfakkan hartanya. Dalam sejarah, beliau tercatat pernah menyumbang 200 uqiyah emas untuk perang Tabuk, memberikan separuh dari hartanya, bahkan menyerahkan 500 ekor kuda dan 1.500 unta untuk jihad fi sabilillah. Setelah Rasulullah saw wafat, beliau juga menanggung nafkah seluruh istri Nabi hingga akhir hayat mereka, sebuah kemuliaan yang hanya dimiliki segelintir manusia pilihan.
Maka benarlah sabda Nabi saw tentang beliau: “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dinilai hasan oleh sebagian ulama)
Hadis ini dipahami bahwa banyaknya harta membuat hisabnya panjang. Namun, berkat keimanan, kejujuran, dan kedermawanannya, beliau tetap masuk surga dengan selamat. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan: “Tidak akan membahayakan Abdurrahman bin Auf berjalan di atas Shirath dengan lambat.”
Dan dalam hadis yang lain, untuk orang yang gemar bersedekah, Rasulullah saw juga menegaskan dalam sabdanya: “Orang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah daripada ahli ibadah yang kikir.” (HR. Tirmidzi)
Dari kisah ini kita belajar, bahwa menjadi kaya bukanlah aib. Justru dalam doa duduk di antara dua sujud kita selalu memohon: “Warzuqni” (Ya Allah, berilah aku rezeki). Artinya, menjadi kaya adalah fitrah dan harapan manusia. Tetapi kaya saja tidak cukup. Kekayaan harus disertai dengan kedermawanan, agar harta menjadi berkah dan mendatangkan ridha Allah.
Sebab di hari kiamat nanti, harta adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang ilmunya bagaimana diamalkan, tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dibelanjakan, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakan.”
(HR. Tirmidzi).
Abdurrahman bin Auf adalah teladan yang nyata: seorang pengusaha sukses, hartawan yang zuhud, dermawan yang peduli pada fakir miskin, dan sahabat Nabi yang dijamin surga. Ia membuktikan bahwa harta tidak menghalangi seseorang menuju surga, bahkan bisa menjadi jalan lapang menuju ridha Allah bila digunakan dengan benar.
Maka, mari kita bekerja dengan sungguh-sungguh, mencari rezeki yang halal, dan jangan lupa berbagi. Sebab berbagi bukan hanya membuat kita kaya di dunia, tetapi juga kaya pahala di akhirat. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita rezeki yang berkah, hati yang ikhlas, dan surga sebagai tempat kembali. (*)
Wallahu a‘lam