Cerpen Rusmin Sopian
PENDUDUK Dusun Antah Berantah geger. Seluruh penghuni yang mendiami dusun yang damai dan religius ini merasa bak kiamat sudah datang menghampiri mereka. Menuju dusun mereka.
Berita tentang rencana perkawinan Mira dan Mae tiba-tiba menjadi trending topik di kehidupan warga dusun. Semua warga dusun membicarakan acara sakral itu.
Mereka seolah sangat bahagia kalau sudah berbicara soal perkawinan dua sosok manusia itu. Soal perut lapar itu soal lain. Soal ada yang memagari laut, itu persoalan nomor sekian.
“Apa dunia ini mau kiamat. Kok sama-sama wanita mau menikah,” ucap seorang warga.
“Saya tak mengerti. Tak mengerti sama sekali. Setahu saya Mae itu perempuan. Kok kini berubah menjadi Mawi. laki-laki pula. Dunia…dunia,” keluh yang lain.
” Kita harus bertindak. Kita jangan membiarkan semua ini terjadi. Aib bagi Dusun kita,” sambung seorang warga yang lain sambil menyeruput sisa kopi.
Dengan semangat 45, warga dusun secara beramai-ramai mendatangi rumah pak RT. Sepanjang perjalanan gerutuan terus tersembur dari mulut para warga.
Tanpa terasa mereka sudah tiba di halaman rumah pak RT.
“Ada apa kalian ini datang beramai-ramai? Malam-malam lagi,” tanya pak RT.
“Ini penting pak. Darurat,” jawab warga.
” Soal perkawinan Mira dan Mae kan,” tebak pak RT.
“Tepat sekali pak. Kami atas nama warga tidak setuju perkawinan mereka digelar di kampung ini. Tidak setuju,” ujar perwakilan warga.
“Betul pak RT. Kami tidak setuju,” kata warga lainnya sambil meneriakkan yel-yel tidak setuju hingga suara koor mereka menembus malam yang makin syahdu.
“Kalian tenang. Besok akan saya sampaikan dengan pak kadus,” jawab pak RT.
Bagi para warga Dusun Antah Berantah, perkawinan dua insan manusia ini sangat disesalkan mengingat setahu mereka Mira dan Mae adalah sesama perempuan.
Mae yang dulunya bernama Mawi memang sudah hampir belasan tahun meninggalkan dusun untuk bekerja di kota.
Hampir setiap tahun Mae alias Mawi selalu pulang ke dusun. Dan setiap pulang Kampung penampilannya selalu berubah. Sudah jauh dari sosok kewanitaannya.
Dalam setahun terakhir penampilan Mae sebagai sosok seorang laki-laki lebih kentara dibandingkan sosok kewanitaannya. Badannya berotot, kumisnya lebat dan tebal. Mirip tokoh dunia Saddam Husein, berwibawa sebagai lelaki.
Penampilan modis ala masa kini menambah kejantanannya. Pakaiannya selalu fashionable. Mengikuti trend masa kini.
Dari info terpercaya Mae memiliki sebuah rumah rias kecantikan terkenal di Kota. Langganannya warga kota yang berpenghasilan menengah ke atas.
Sementara Mira adalah kembang dusun. Dikenal sebagai penyanyi. Kecantikannya tak kalah kelas dengan para selebriti yang sering nongol di media tipi.
Rambutnya panjang. Suaranya bagus. Goyangannya di atas panggung selalu ditunggu-tunggu para penonton.
Para warga dusun selalu menyebut goyangan Mira sebagai goyangan ngelas karena dalam setiap atraksinya di panggung Mira selalu berlakon bak orang tukang las di bengkel.
Banyak para pemuda dusun yang tergila-gila dengan Mira. Namun tak seorang pun yang memikat hati Mira.
“Bagaimana saya mau terpikat dengan mereka, penampilan saja masih kuno,” ujar Mira kepada temannya.
“Kalau Mawi alias Mae?” tanya temannya dengan suara menggoda.
“Ha..ha..ha..kiamat dunia. Bisa-bisa aku diusir warga dusun dari sini,” ujar Mira ngakak.
Suaranya membangunkan para penghuni jagad alam yang sedang bermimpi.
“Mana mungkinlah. Aku ini masih waras. Masa menikah dengan sesama wanita. Tak zaman,” sambung Mira sambil ketawa bebas hingga suara indahnya menghias malam yang makin menua.
Setiap Mae alias Mawi pulang kampung, memang Mira menjadi temannya ngobrol.
Mereka selalu berduaan kemana saja. Hampir setiap hari. Di mana ada Mae di situ ada pula Mira.
Mae bahkan rela mengantar dan menjemput Mira kalau sedang manggung di luar dusun dengan mobil terbarunya.
Bahkan pertemuan mereka di rumah Mira pun hingga tengah malam. Tak pelak banyak yang mulai curiga dan menebar isu hingga hinggap di telinga ibunya Mira.
“Kamu itu jangan terlalu membiarkan Mae datang ke rumah ini hingga larut malam. Tak enak dengan tetangga,” nasihat Ibunya.
“Kami cuma ngobrol saja, ibu. Tak ada yang istimewa. Toh Mae itu berencana mau mengajak saya mencari peruntungan di kota. Katanya langganan riasnya membutuhkan penyanyi. Kan tak ada salahnya toh mencoba peruntungan di kota. Siapa tahu cita-cita aku sebagai penyanyi terkenal tercapai,” jawab Mira.
“Alhamdulillah kalau memang begitu. Ibu cuma khawatir saja dengan pergaulanmu. Apalagi banyak yang bilang Mae itu sekarang berubah sebagai seorang lelaki,” ujar Ibunya.
Mira hanya terdiam. Penyanyi bersuara emas ini masih ingat dengan kata-kata Mae saat mengantarnya pulang.
“Kalau saja etika, aturan dan hukum di negeri ini memperbolehkan kita bersama, aku ingin menyuntingmu. Sayang semua itu hanya mimpi,” cetus Mae.
Dan Mira pun terkaget-kaget dengan ucapan Mae saat itu. Seluruh badannya menggigil. Ketakutan melanda sekujur tubuhnya. Ingin rasanya dia segera tiba di rumah.
Suasana kantor Dusun Antah Berantah pagi itu sungguh ramai bak pasar malam. Seluruh warga mendatangi kantor dusun. Mereka menuntut pak kadus untuk membatalkan pernikahan Mira dan Mae.
“Kami minta Pak Kadus segera mengusir mereka dari kampung ini. Mereka telah menebar aib bagi warga Desa,” ujar seorang warga sebagai orator lewat pengeras suara.
Suaranya yang menggelegar mengalahkan panasnya sinar mentari yang menerpa para warga.
“Tak ada tempat bagi mereka untuk hidup di kampung ini,” lanjutnya.
“Saudara-saudara semuanya harap tenang. Tak ada izin untuk acara perkawinan Mira dan Mae. Silakan bapak dan ibu tanya kepada pak penghulu. Tak ada,” jawab pak kadus menenangkan massa.
“Benar sekali wahai saudaraku. Tak ada izin kawin untuk Mira dan Mae alias Mawi. Tak ada. Kalian semua jangan termakan isu yang tak jelas sumbernya. Yang ada adalah izin kawin dari saudara Megi yang akan menikah dengan saudaranya pak kadus. Namanya sama Mira juga. Toh tak ada alasan saya menolak mereka menikah. Mereka kan warga yang berbeda kelamin. laki-laki dan perempuan,” jelas pak penghulu panjang lebar.
Mendengar paparan jelas dan tegas dari pak penghulu, semua warga dusun terdiam. Membisu. Tak ada narasi bantahan. Tak ada argumen. Seketika semuanya menjadi senyap.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus lewat pepohonan yang rimbun di halaman kantor dusun mendinginkan suasana hati mereka, para warga dusun.
Angin kebahagiaan sejukkan jiwa mereka dari segala isu dan rumor-rumor yang datang bak badai.
Berita dunia akan kiamat masih jauh.
Ya, masih jauh.
“Toboali, Januari 2025
Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca ( GPMB) Kabupaten Bangka Selatan.
Cerpennya termuat di berbagai media massa lokal dan luar Bangka Belitung.
Saat ini penulis kumpulan cerpen “Mereka Bilang Ayahku Koruptor” tinggal di Toboali bersama Istri dan dua putrinya yang cantik. (*)