Oleh: Sadri Ondang Jaya
ANGIN membawa desau doa yang terabaikan,
di bawah langit yang pecah oleh bara.
Los Angeles menyala dalam kidung merah,
seperti luka yang ditulis waktu.
Asap membubung, api menyala, membara.
Bayang-bayang melarikan diri
dari istana yang dibangun dengan percaya,
dari tiang-tiang kesombongan
yang hanya menunggu giliran untuk dilahap sunyi.
Santa Ana melenggok,
tangan-tangannya berkelebat tak terlihat,
memeluk kota dalam ritme tarian yang tak berulang.
Di setiap kipasnya, sejarah terkikis,
nama-nama larut dalam nyala yang tak berbelas.
Dinding-dinding gedung meleleh dalam bisu,
seperti doa yang terlambat dikirimkan.
Kaki-kaki berlari di atas tanah yang hangus,
mencari sesuatu yang tak bisa diselamatkan.
Tujuh puluh ribu jiwa menyusun tangis dan nestapa.
Tetapi siapa yang mendengar di tengah raungan bara?
Mereka yang pernah percaya akan ketangguhan,
kini menyaksikan betapa mudahnya segalanya hilang.
Di jantung yang terbakar, tersimpan pesan lama:
tak ada yang lebih abadi dari kefanaan,
tak ada yang lebih megah dari kehancuran.
Manusia, sekadar noktah kecil di antara takdir.
Api bukan sekadar amarah alam,
ia adalah tangan yang menggedor pintu sukma.
Ia datang bukan hanya membinasakan,
tetapi juga mengingatkan
bahwa segalanya bisa kembali ke azali.
Jika Allah sudah berkehendak,
tidak ada sesuatu yang mustahil. Kun fayakun. (*)