Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
TADI singgah di Tebas, sekarang di Singkawang. Sambil istirahat minum kopi di Omni Cafe, kita lanjutkan soal kebakaran Los Angeles. Biar adil, Gaza juga.
Langit Los Angeles mendadak muram. Bukan senja. Bukan awan. Tapi asap. Asap tebal yang melilit gedung-gedung mewah. Udara panas merambat, memeluk setiap sudut kota. Los Angeles terbakar. Dalam api. Dalam ironi.
Dunia memandang dengan takjub. Sebagian dengan iba. Sebagian lagi, puas. Di sudut gelap internet, jari-jemari asing menari di atas keyboard, menyebut ini sebagai karma.
“Karma,” kata mereka. Kata yang dilumuri kepercayaan dan dendam. Kata yang lahir dari luka yang belum kering.
“Lihatlah! Amerika terbakar!” seru seorang anonim, diiringi gambar satelit yang memamerkan kobaran api, besar dan liar, seperti naga yang lepas dari belenggu.
Api ini, kata mereka, adalah prajurit Tuhan. Prajurit yang dikirim untuk mengingatkan mereka yang sombong. Prajurit yang membakar arogan.
“Bukankah ini yang mereka ancamkan pada Gaza? Neraka!”
Di Gaza, tempat luka menjadi sandi hidup, luas wilayah itu hanya 360 kilometer persegi. Di Los Angeles, kebakaran telah melahap lahan yang… oh, ajaibnya, persis seluas itu.
“Apakah ini kebetulan?” tanya mereka dengan nada penuh misteri.
Donald Trump, sang politisi flamboyan, pernah mengancam Gaza dengan “neraka.” Tapi kini, neraka itu melahap kota kebanggaan Hollywood. Kota para bintang dunia. Api itu, di tengah badai politik, menjadi simbol. Simbol apa? Itu tergantung dari sudut mana kau memandang.
Di sudut dunia lain, di ruang-ruang penuh lilin dan doa, seseorang berkata, “Ini tangan Tuhan.”
Los Angeles, simbol mimpi Amerika, kini menjadi mimpi buruk. Hanya dalam waktu singkat, api mencuri miliaran dolar. Gedung-gedung yang pernah berdiri megah kini hanya siluet hitam yang muram.
Dunia? Dunia menonton, menilai, dan diam-diam bersyukur bahwa neraka ini bukan milik mereka.
Seorang pengguna media sosial menulis: “Mereka tak perlu bom GBU-31. Tak perlu rudal canggih. Alam saja sudah cukup.”
Kalimat itu, pendek namun penuh luka, menjadi tamparan dingin bagi mereka yang membaca.
Malam itu, Los Angeles tertutup kabut asap. Gaza, di sisi lain dunia, tertutup debu perang. Dua kota yang berbeda, tapi entah bagaimana, terasa seperti cerminan satu sama lain.
Apakah ini karma? Atau hanya kebetulan Pertanyaan itu, sayangnya, tak punya jawaban. Seperti api, ia hanya akan terus membakar, sampai habis, sampai semuanya jadi abu.
#camanewak