Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
DI POJOK Warkop Asiang Jalan Haji Abas Pontianak, Wak Dalek menyandarkan punggung pada kursi yang sudah aus dimakan waktu. Di depannya, secangkir kopi hitam mengepul seperti pabrik kecil. Di sebelahnya, Wan Dolah, sahabat sejati sekaligus partner debat abadi, mengunyah pisang goreng dengan cara yang lebih dramatis dari aktor sinetron.
“Los Angeles terbakar lagi,” ujar Wak Dalek, membuka percakapan seperti pembawa berita lokal. “Kau tahu apa artinya ini, Wan?”
Wan Dolah mengangkat alisnya. “Artinya Hollywood lagi bikin sequel film kebakaran. Judulnya ‘Inferno 2, Balas Dendam Api’.”
“Bukan itu,” Wak Dalek mendengus. “Ini azab, Dolah. Karma dunia. Amerika bantu Israel, nah, sekarang Tuhan balas dengan bakar Los Angeles.”
Wan Dolah tertawa sampai pisang goreng hampir melompat dari mulutnya. “Kalau itu azab, kenapa cuma Los Angeles? Kenapa nggak sekalian Washington? Atau New York? Tuhan kurang bensin, kah?”
“Eh, jangan main-main soal azab,” sergah Wak Dalek, menunjuk dengan sendok kecil. “Kalau Tuhan mau, dia bisa bakar satu planet sekaligus.”
“Kalau Tuhan memang mau bakar planet,” jawab Wan Dolah santai, “kenapa mulai dari kota yang banyak selebritinya? Supaya ada liputan eksklusif CNN?”
Wak Dalek terdiam sejenak, mencoba mencerna argumen temannya. Tapi bukannya menyerah, dia menyeruput kopinya dengan gaya seorang filsuf yang merenungkan makna kehidupan.
“Bisa jadi ini karena manusia sendiri,” ujarnya akhirnya. “Pemanasan global. Lihat kau, tiap hari naik motor, buang asap karbon. Semua ikut andil.”
“Ah, jadi sekarang aku penyebab kebakaran di Los Angeles?” Wan Dolah tertawa. “Padahal motorku cuma Honda CB yang lebih tua dari anak sulungmu.”
Wak Dalek menggeleng. “Manusia ini rakus, Dolah. Pakai plastik terlalu banyak, tebang pohon sembarangan. Alam sudah capek, jadi dia reset.”
“Reset macam mana?” Wan Dolah menyeka tangannya dengan tisu. “Alam itu apa, komputer? Ada tombol Ctrl+Alt+Del?”
Wak Dalek mendesah, merasa percakapan ini semakin jauh dari harapan. Tapi sebelum dia bisa melanjutkan argumennya, Wan Dolah menepuk bahunya.
“Kau tahu apa yang paling lucu dari kebakaran ini?” tanyanya dengan senyum lebar.
“Apa?”
“Orang-orang sibuk menyalahkan Tuhan, alam, atau manusia lain. Tapi kalau api sampai ke sini, kau tahu apa yang pertama mereka lakukan?”
“Apa?” Wak Dalek mulai penasaran.
“Mereka ambil ponsel, selfie, lalu unggah di Facebook. ‘Doakan kami ya, guys.’”
Keduanya tertawa terbahak-bahak, mengabaikan beberapa pelanggan lain yang menatap mereka dengan tatapan heran.
Warkop Asiang tetap ramai, kopi tetap panas, dan di sudut kecil dunia itu, Wak Dalek dan Wan Dolah melanjutkan obrolan mereka tentang dunia yang tak pernah berhenti terbakar, baik oleh api, dosa, atau mungkin, hanya kebodohan manusia.
#camanewak