Oleh Satrio Arismunandar
Di era artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan saat ini, rasanya aneh jika kita tidak memanfaatkan aplikasi dan teknologi masa depan yang tersedia meluas itu untuk menulis karya-karya kreatif. Salah satunya adalah menulis puisi esai.
Sebetulnya masih ada pro-kontra di kalangan sebagian penulis fiksi tentang seberapa jauh penggunaan AI ini dibolehkan dalam berkarya. Jawabannya bisa sangat beragam.
Namun, jawaban moderat yang masuk akal menurut saya adalah: kita tetap boleh menggunakan AI, sejauh kita memahami kelebihan dan kekurangannya, serta keunggulan dan keterbatasannya. Jadi, tidak mentah-mentah menyerahkan semuanya pada AI.
Menggunakan AI untuk menulis puisi esai dapat memberikan efisiensi dan kreativitas, terutama dalam menciptakan kerangka awal atau eksplorasi ide. AI mampu menghasilkan puisi biasa atau puisi esai dengan cepat berdasarkan tema atau gaya tertentu.
AI bahkan dapat melakukan eksperimen kata. AI dapat menciptakan kombinasi kata yang unik dan tidak konvensional dalam puisi esai.
Selain itu, karena bersifat data-driven, AI bisa memasukkan konteks sosial, sejarah, atau budaya untuk memperkaya narasi puisi esai.
AI juga dapat menyesuaikan gaya penulisan dengan preferensi pengguna. Misalnya, menulis dalam gaya puitis untuk karya fiksi atau analitis. Yang terakhir ini biasanya cocok untuk penulisan esai nonfiksi yang bertopik serius.
Tetapi di sisi lain, AI juga punya kelemahan dalam hal kedalaman emosi. Menulis puisi biasa atau puisi esai membutuhkan empati mendalam, yang sulit sepenuhnya ditiru oleh AI.
Bayangkan, Anda sedang menulis puisi esai tentang derita seorang gadis kecil dan anak yatim, yang menjadi korban kekerasan seksual dan perkosaan. Tak mungkin Anda mengabaikan tuntutan kedalaman emosi dan empati dalam menorehkan narasinya.
AI tidak punya emosi ataupun empati. Tetapi Anda sebagai penulis yang memanfaatkan bantuan AI harus memiliki emosi dan empati.
Kemudian, ada faktor kontekstualisasi yang kompleks. Narasi dalam puisi esai dengan nuansa moral atau politik yang kompleks bisa menjadi kurang akurat, jika hanya bergantung pada algoritma AI.
Kemudian ada aspek orisinalitas dan etis dalam penulisan karya fiksi, termasuk puisi esai. Dalam penciptaan narasi puisi esai, AI cenderung mengolah kata dan kalimat dari pola-pola yang sudah ada, yang berada di dunia maya. Hal ini berisiko menghasilkan karya puisi atau puisi esai yang terasa “tidak segar.” Bahkan, dalam bentuk ekstrem, bisa memunculkan tudingan “plagiat.”
Terakhir, AI tidak memiliki visi atau maksud artistik seperti manusia, sehingga kadang-kadang AI hanya menghasilkan struktur teknis tanpa makna yang mendalam. Dalam penulisan puisi esai, struktur puisi esai akan tercipta, namun maknanya mungkin terasa kosong.
Karena pentingnya isu ini, topik “Puisi Esai dan Artificial Intelligence” juga dibahas dalam dialog, yang diadakan di Festival Puisi Esai Jakarta II, 13-14 Desember 2024, di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat. Narasumbernya adalah Amelia Fitriani, Irsyad Mohamad, dan Gunawan Trihantoro, dengan moderator Milastri Muzakkar.
Pengalaman pribadi saya ketika menggunakan AI untuk menulis puisi esai atau karya lain adalah –harus diakui– AI memang sangat membantu dan memudahkan kerja penulisan. Karena puisi esai adalah karya fiksi bernuansa kritik sosial –yang mendapat inspirasi dari peristiwa nyata atau fakta konkret di lapangan– AI sangat membantu dalam mencari dan melengkapi data tersebut.
Sebelum ada aplikasi AI yang praktis, dulu secara ekstensif saya menggunakan mesin pencari Google, untuk riset data atau peristiwa yang berkaitan dengan kasus-kasus tertentu. Google cukup bermanfaat, meskipun mencari data dengan Google itu butuh waktu lama. Berkat bantuan aplikasi AI, pencarian data menjadi jauh lebih mudah dan terstruktur.
Maka pelajaran yang saya petik: AI adalah alat yang berguna untuk mendukung penulisan puisi edai, tetapi keterlibatan manusia tetap penting untuk memberikan sentuhan emosional dan intelektual pada puisi esai. Kombinasi AI dan kreativitas manusia dapat menghasilkan karya puisi esai yang lebih kuat.***
Depok, Desember 2024