Puisi: Rizal Tanjung
DI TANAH Sumatera, tanah yang subur,
Di bawah bayang Gunung Tinjau berdiri angkuh.
Kisah lama terukir di hamparan desa,
Di mana hidup, cinta, dan dendam berkelindan mesra.
Tersebutlah Bujang Sembilan, saudara erat,
Sembilan lelaki tangguh, satu perempuan memikat.
Siti Rasani, lembut bagai embun pagi,
Di hatinya tersembunyi cinta suci.
Datuk Limbatang, pemuka penuh wibawa,
Mengasuh mereka dengan kasih dan tata.
Hidup mereka damai, di bawah naungan adat,
Namun hidup jarang tanpa ujian berat.
Pada suatu hari di ladang nan sepi,
Giran bertemu Sani, dua hati terpaut tanpa caci.
Dengan pantun mereka bersua cinta,
Di ladang itu, cinta mulai bertahta.
Sani:
“Buah nangka dari seberang,
Sedap sekali dibuat sayur.
Sudah lama ku nanti abang,
Barulah kini dapat menegur.”
Giran:
“Sudah lama merendam selasih,
Barulah kini mau mengembang.
Sudah lama kupendam kasih,
Barulah kini bertemu pandang.”
Namun, cinta mereka tak bebas melayang,
Dendam Kukuban menjadi bayang.
Di gelanggang silat, ego terluka,
Giran menang, Kukuban tak terima.
Di gelanggang itu, harga diri terpatah,
Kaki Kukuban cedera, hatinya berdarah.
Dendam pun membara di dalam dada,
Membakar kasih, menutup logika.
Ketika pinangan datang dengan penuh harapan,
Datuk Limbatang berbicara dengan kesantunan.
Namun Kukuban berdiri, suara keras membelah,
“Tidak! Giran tak pantas menikahi adikku, tak usah!”
Hatinya gelap oleh dendam lama,
Tak ada ruang untuk maaf di jiwa.
Sani menangis, harapannya pupus,
Giran terpaku, rasa sakit menyusup halus.
Di malam purnama, cinta mencari jalan,
Sani dan Giran bertemu di ladang harapan.
Namun nasib tak berpihak pada dua jiwa,
Kukuban dan warga menangkap mereka tanpa asa.
Dengan tuduhan keji, mereka diarak,
Menuju puncak Gunung Tinjau yang menyeruak.
“Hukum mereka!” suara dendam memerintah,
Di hadapan adat, cinta mereka terhimpit pasrah.
Giran berdoa, suaranya memecah sunyi,
“Tuhan, saksikanlah kami ini.
Jika bersalah, biarlah kami hancur di sini,
Jika tidak, tunjukkanlah keadilan-Mu di bumi.”
Gemuruh langit menjawab doa,
Gunung Tinjau meletus dengan murka.
Lahar panas mengalir ke desa,
Menyapu segalanya tanpa sisa.
Bujang Sembilan, dalam dendam dan dosa,
Terkutuk menjadi ikan di perairan yang luas tercipta.
Gunung menjadi danau, saksi bisu,
Kisah cinta dan dendam yang menyatu.
Maninjau, 25 Desember 2024.