Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Orkestra Hitam di Pintu Senayan

January 20, 2025 14:35
IMG-20250120-WA0070

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

HATIPENA.COM – Jakarta pagi tadi seperti ikut berkonspirasi. Awan kelabu menggantung, angin berembus pelan, seakan-akan semesta sedang menyimak sebuah drama besar yang bakal mengguncang kementerian di negeri ini. Puluhan pegawai Kemendikti Saintek muncul di depan gedung, mengenakan pakaian hitam dari kepala sampai kaki. Tidak, mereka bukan sedang menghadiri pemakaman. Tapi mereka memang sedang berduka untuk diri mereka sendiri.

Di tangan mereka, spanduk-spanduk seperti senjata perang. Ada yang bertuliskan “Institusi negara bukan perusahaan pribadi Satryo & istri.” Ada pula yang meminta tolong kepada Presiden Prabowo, “Selamatkan kami dari Menteri Pemarah.” Ini bukan sekadar protes. Ini adalah jeritan hati yang ditulis dengan tinta kemarahan dan air mata.

Ketika Kekuasaan Menampar Keadilan
Kabarnya, Menteri Satryo adalah tokoh antagonis yang kerap bermain tangan. Tamparan menjadi tanda tangan, dan pemecatan adalah kartu nama. Entah bagaimana seorang menteri bisa menjadikan kantor kementerian seperti arena gladiator. Pegawai yang tak sejalan? Tersingkir. Yang melawan? Ditampar.

“Institusi negara, bukan kerajaan,” kata mereka. Tapi siapa yang mendengar?

Lobi gedung kementerian dipenuhi karangan bunga. “Turut berduka cita atas wafatnya rasa keadilan,” tulis salah satu papan bunga. Yang lain lebih pedas, “Semoga Menteri Pemarah segera pensiun dini.” Ini adalah bentuk protes yang elegan, penuh seni. Kalau protes adalah seni, maka para pegawai ini adalah seniman terbaik.

Bayangkan ironi di sini, wak! Mereka tidak membawa senjata, tidak pula melempar batu. Mereka hanya membawa kata-kata. Tapi, bukankah kata-kata adalah senjata paling tajam?

Di tengah kegaduhan ini, mereka meminta bantuan. Bukan kepada atasan langsung, melainkan kepada Presiden. “Pak Prabowo, tolong kami,” tulis salah satu spanduk. Bayangkan betapa dalamnya luka yang mereka rasakan, sampai mereka melompati semua prosedur birokrasi dan langsung mengadu ke orang nomor satu negeri ini.

Ini bukan sekadar aksi protes. Ini adalah perjuangan kelas. Di satu sisi, ada Menteri Satryo dengan kekuasaan besar, mungkin juga ego yang lebih besar. Di sisi lain, ada pegawai biasa, yang tidak punya apa-apa kecuali keberanian untuk berdiri melawan.

Dalam dongeng, pahlawan kecil selalu menang melawan raksasa. Tapi ini bukan dongeng. Ini dunia nyata, di mana raksasa sering menang karena mereka punya segalanya, uang, kuasa, dan akses ke media.

Namun pagi itu, mereka menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu berarti kekuatan. Dengan pakaian hitam, spanduk pedas, dan karangan bunga penuh satire, mereka mengubah jalanan di depan gedung kementerian menjadi panggung drama epik. Mereka adalah David, berdiri melawan Goliath.

Apakah mereka akan menang? Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok. Tapi mereka sudah memulai sebuah narasi besar bahwa di negeri ini, bahkan kaum kecil pun berhak bersuara. Suara mereka, meski serak dan lirih, adalah awal dari sebuah perubahan.

Hari ini mereka berdiri di bawah langit kelabu. Tapi siapa tahu? Besok, mungkin langit akan cerah untuk mereka. Atau setidaknya, untuk anak cucu mereka.

#camanewak