Cerpen Sadri Ondang Jaya
DI SEBUAH lembaga mentereng, di mana lorong-lorong kekuasaan dibungkus kabut intrik, kata-kata menjadi senjata. Bukan lagi alat komunikasi, melainkan benang halus yang merajut kebohongan, menjerat kebenaran, dan meluruhkan ketulusan.
Di dalamnya, ada sekelompok pegawai yang telah menjadi seniman tipu daya. Mereka mahir menganyam kebohongan menjadi jubah mulia, mencampuradukkan kebenaran dan kepalsuan hingga sulit dibedakan. Dalam dunia itu, batas antara yang asli dan yang palsu menghilang, seperti bayangan di bawah sinar remang.
Bayu adalah satu dari sedikit pengecualian. Sebagai kepala bidang, ia adalah figur langka yang berjalan di jalur kejujuran. Dedikasi dan kerja kerasnya tak perlu diragukan. Ia tak neko-neko, tak pernah mengusik apapun kecuali tugas yang diembannya. Baginya, integritas bukan hanya kata, tetapi fondasi. Namun, fondasi itu kini goyah.
Di pagi yang suram, ketika matahari seperti enggan menampakkan dirinya, seorang penjilat melangkah memasuki ruang atasan. Ia datang dengan senyum yang mengembang, senyum yang tampak seperti bunga mekar mewangi, tapi penuh onak dan duri.
“Pak, saya ingin menyampaikan sesuatu tentang Bayu,” katanya, membuka pembicaraan dengan nada yang penuh kehati-hatian berselimut palsu.
Atasannya mengangkat alis. “Ada apa dengan Bayu?”
“Menurut saya, dia terlalu kaku, Pak. Integritasnya memang baik, tapi seringkali itu menghambat fleksibilitas tim. Saya khawatir, jika terus begini, performa kita malah menurun,” ucapnya dengan nada rendah, seolah-olah memberikan masukan yang tulus.
Sang atasan mengangguk pelan, wajahnya serius. Penjilat itu melanjutkan, “Mungkin ada baiknya kita mempertimbangkan orang lain yang lebih penurut, mudah diajak kompromi.”
Kata-kata penjilat meluncur lembut, seperti sutra yang mengusap, namun menyisakan racun tak terlihat. Di balik topeng manisnya, ia merajut jaring halus untuk menjatuhkan Bayu. Ia tahu, kejujuran adalah musuhnya, karena dalam kejujuran, segala kebohongan yang ia anyam bisa tersingkap.
Bayu, tanpa sadar, menjadi daun yang terancam luruh oleh angin licik yang tak ia lihat datang.
Aku menyaksikan semuanya, diam dalam ruang hening penuh pertanyaan yang tak terjawab. Setiap bisikan penjilat itu terasa seperti pukulan bagi prinsip yang selama ini kuyakini. Bayu tidak sempurna, tapi ia adalah simbol harapan di tempat ini, pohon tegak di tengah badai kepalsuan.
Dalam diam, aku bertanya: Kapan kejujuran kembali dihargai? Kapan dunia berhenti mengagungkan kepalsuan yang berbalut senyum manis?
Aku melihat Bayu terus bekerja, meski kabar angin tentang dirinya mulai berembus di lorong-lorong kantor. Ia tak membela diri, tak mencoba menangkis. Mungkin karena ia tahu, di tempat seperti ini, kata-kata lebih tajam daripada kenyataan.
Namun, aku melihat kelelahan di matanya. Bukan lelah karena pekerjaan, tetapi karena berjuang sendirian melawan arus besar, menyeret kebenaran ke lembah kebatilan.
Suatu hari, aku mendengar percakapan di sudut ruangan. Seorang rekan kerja, sambil tertawa kecil, berkata kepada penjilat itu, “Kamu hebat juga, bisa membuat bos percaya begitu saja.”
“Ah, itu biasa saja,” jawabnya, menyeringai. “Yang penting, kita tahu cara bicara.”
Mereka tertawa terbahak bersama, suaranya terdengar seperti ironi di telingaku.
Meski begitu, aku tak bisa menghapus keyakinan bahwa waktu akan menjadi hakim yang adil. Mereka yang menabur kebohongan akan menuai badai.
Penjilat itu mungkin tampak menang hari ini, tetapi ia tak menyadari bahwa jaring kebohongan yang ia tenun juga bisa menjerat dirinya sendiri.
Bayu, meski goyah, tetap berdiri. Baginya, kejujuran adalah warisan yang tak bisa digadaikan. Ia tahu, kemenangan sejati bukan tentang siapa yang lebih cepat mencapai puncak, tetapi siapa yang tetap utuh ketika badai berlalu.
Aku ingin memberitahunya bahwa aku percaya padanya. Bahwa kebenaran, meskipun tersembunyi di balik tirai kebohongan, akan menemukan jalannya. Tapi aku hanya seorang saksi bisu, terperangkap dalam ketakutan yang membelenggu.
Bayu adalah api kecil yang takkan pernah padam, meski dikelilingi angin kencang. Ia adalah simbol bahwa kejujuran, meskipun rapuh, tapi memiliki kekuatan yang tak dimiliki kebohongan: ia langgeng nan abadi.
Dan aku tahu, suatu hari nanti, kejujuran akan bangkit, menggulingkan semua topeng yang menutupi wajah dunia. Sang penjilat itu mungkin tertawa hari ini, riang gembira, tetapi waktu akan menjadikan tawanya kosong.
Kejujuran akan menemukan tahtanya, meski terlambat. Dan ketika itu terjadi, aku berharap masih ada jiwa-jiwa seperti Bayu dan pemimpin-pemimpin lain yang tetap berdiri tegak. Lurus selurus-lurusnya. Bukan sosok yang penjilat dan oportunis.[*]