Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

100 Hari Kerja Menteri Didemo

January 22, 2025 16:48
IMG-20250122-WA0011

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

HATIPENA.COM – Di tengah gemerlap panggung kekuasaan, ketika segala sesuatu tampak sempurna dan teratur, ada sebuah rekaman yang membongkar tabir kebenaran. Sebuah suara yang menggema, keras, menembus dinding-dinding kemewahan rumah dinas Menteri Dikti Saintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro. Bukan pidato bijak atau kebijakan menginspirasi yang terdengar. Tidak! Yang terdengar adalah amarah, ledakan emosi seorang menteri yang kehilangan kendali. Air kosong. Begitu masalahnya. Pekerja itu hanya menjelaskan sesuatu yang sepele. Tetapi apa yang terjadi? Menteri, seorang yang seharusnya menjadi teladan bagi bangsa, memilih untuk melepaskan amarahnya.

Pukul! Suara itu memecah kesunyian, menandakan penghinaan yang lebih dalam dari sekadar kekerasan fisik. Ini adalah simbol dari ketidakadilan yang terpendam, ketidakmampuan seorang penguasa untuk mengendalikan dirinya. Seperti raja yang tak mampu menahan amarahnya, ia menampar seorang rakyat kecil. Ah, betapa tragisnya.

Namun, kisah ini belum berakhir. Seiring dengan beredarnya rekaman yang menghebohkan dunia maya, ribuan suara bergema dari para pekerja yang tak lagi mau diam. Mereka keluar dari balik bayang-bayang kekuasaan yang dulu mereka hormati. Mereka melangkah dengan penuh tekad, menuju gerbang Kemendiktisaintek. Mereka tak membawa senjata. Mereka membawa kebenaran. Mereka tak membawa kekerasan. Mereka membawa keberanian. Dengan pakaian hitam, simbol kesedihan dan protes, mereka membentangkan spanduk yang lebih tajam dari pedang.

“Institusi Negara Bukan Perusahaan Pribadi Satryo dan Istri,” tulisan itu menghantam, sekeras gempa yang mengguncang fondasi kerajaan menteri yang runtuh.

Mereka datang dengan pesan yang jelas, penuh makna, mereka lelah dengan perilaku sewenang-wenang sang menteri, yang kini dianggap lebih mirip seorang penguasa feodal dari seorang pembaharu bangsa. Satryo Soemantri Brodjonegoro, menteri yang seharusnya menjadi pilar pendidikan, ternyata lebih sibuk membangun kerajaan pribadi di dalam kementeriannya. Kementerian, yang seharusnya menjadi rumah bagi rakyat, kini menjadi milik keluarga. Para pegawai, yang dulu tunduk, kini bangkit menuntut keadilan.

Di balik kekecohan itu, ada Suwitno, ketua Paguyuban Pegawai Ditjen Dikti, yang mengungkapkan dengan tajam, “Perubahan jabatan itu biasa, tapi tidak dengan cara-cara yang hina, tidak adil, dan tidak sesuai prosedur!” Begitulah suara dari bawah, suara dari orang-orang yang bekerja keras untuk negara, namun diperlakukan seperti alat, bukan manusia.

Tetapi puncak dari semua kekecewaan itu bukan hanya soal jabatan atau kebijakan. Tidak. Ini adalah soal martabat. Tentang pemecatan seorang pegawai di bagian rumah tangga yang seharusnya dijalankan dengan prosedur yang jelas. Tapi apa yang terjadi? Pemecatan itu datang tanpa peringatan, tanpa proses yang adil. Inilah hasil dari sebuah pemerintahan yang dipenuhi dengan kekuasaan yang tak terkendali, dan para pegawai yang terinjak-injak di bawahnya.

Demonstrasi itu mengguncang, tapi jangan salah, itu baru permulaan. Massa itu memang bubar, tetapi protes mereka tidak akan pernah dilupakan. Spanduk mereka, kata-kata mereka, perasaan mereka akan tetap hidup, bergaung di telinga mereka yang berkuasa. Evaluasi? Presiden Prabowo Subianto, inilah saatnya untuk menilai apakah negara ini benar-benar milik rakyat, ataukah hanya milik para penguasa yang menganggap kementerian adalah istana pribadi mereka.

Apakah ente mengira ini akan berakhir dengan mudah? Tentu tidak. Dalam dunia ini, yang satu adalah tokoh besar, sementara yang lain adalah rakyat kecil. Tetapi hari ini, dalam sejarah yang ditulis dengan tinta kebenaran, kita tahu bahwa meskipun kekuasaan tampak tak terhentikan, sebuah pukulan yang memalukan bisa meruntuhkan tembok tertinggi dari segala kebohongan.

#camanewak