Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
HATIPENA.COM – “Ah, tak can, udah damai. Saya kan suka keributan,” kata Matasam, kawan ngopi di Warkop Qahwah Jl Apel Pontianak.
Matasam merespon konflik di tubuh Kemendiktisaintek yang sempat membara, sekarang sudah damai. Ia ingin keributan terus lanjut, biar ada tontonan, tambahnya.
“Jangan gitu, Mat. Orang sudah damai, itu bagus. Ingat damai itu indah.”
Yok kita bahas kisah sesungguhnya di kementerian yang kemarin bikin heboh nusantara.
Keributan. Ricuh. Drama. Semua lenyap di malam itu, ketika ruang tamu rumah dinas Menteri Satryo Soemantri Brodjonegoro menjadi saksi bisu perdamaian yang penuh ketegangan. Oh, betapa para penggemar konflik pasti kecewa. Tidak ada adu mulut yang meledak-ledak. Tidak ada meja yang terbalik. Bahkan tidak ada secangkir kopi yang tumpah. Semua berakhir dengan… damai.
Padahal, sebelumnya, suasana di Kemendiktisaintek lebih panas dari tungku api di neraka. Pegawai ASN, yang merasa diperlakukan semena-mena, menggelar aksi unjuk rasa. Spanduk dibentangkan. Aspirasi diteriakkan. Nama Neni Herlina bergema seperti mantra pemanggil badai.
Menteri Satryo dituding main lempar-lemparan jabatan. Neni diminta pindah ke Kemendikdasmen, katanya. Angga ikut terseret. “Drama tingkat dewa,” pikir warganet sambil ngopi di warkop atap rumbia.
Namun, cerita berubah haluan. Malam itu, pukul setengah delapan, Menteri Satryo memanggil semua pihak ke ruang tamunya. Ini bukan rapat biasa. Ini adalah diplomasi tingkat tinggi, lengkap dengan atmosfer tegang seperti adegan terakhir film perang.
Di sana ada Sekjen Togar M Simatupang. Ada Neni Herlina, yang konon matanya tajam seperti elang. Ada Suwitno, sang Ketua Paguyuban Pegawai Dikti, yang suaranya kabarnya mampu menggetarkan dinding.
Mereka berbincang. Tidak, mereka berunding. Aspirasi disampaikan. Kesalahpahaman diluruskan. Togar menyebut ini sebagai “rekonsiliasi”. Bahasa sederhana? Semua saling memaafkan, seperti adegan klimaks sinetron Ramadan.
“Iyalah, damai. Kita harus dewasa dalam menyikapi perbedaan,” ujar Togar dengan penuh kebijaksanaan yang memancar seperti lampu neon di malam hari.
Neni dan Angga akhirnya tetap di Kemendiktisaintek. Para ASN kembali bekerja. Semua pihak sepakat bahwa pemekaran organisasi memang membutuhkan pengorbanan, tapi tidak sampai menumpahkan air mata lebih banyak lagi.
“Ini dinamika biasa,” kata Menteri Satryo dengan santai. Seolah-olah kericuhan kemarin hanyalah pertunjukan gladi bersih sebelum malam perdamaian itu.
Namun, jangan salah. Di balik “damaian” ini, ada pesan tersembunyi. Bahwa konflik, kata Menteri Satryo, bukanlah akhir dunia. Justru konflik adalah bahan bakar untuk bertumbuh. Seperti badai yang menumbangkan pohon tua, sehingga tunas baru bisa tumbuh.
Begitulah, drama ini berakhir dengan damai. Tidak ada perang besar. Tidak ada ledakan. Hanya secangkir teh hangat di ruang tamu Menteri, dengan dialog-dialog yang terlalu indah untuk disebut biasa.
Bagi penggemar konflik, ini mungkin akhir yang mengecewakan. Tapi bagi dunia birokrasi? Ini epik. Sebuah opera sabun bergengsi, tanpa air mata berlebihan, tapi tetap memukau hingga babak terakhir. (*)
#camanewak