Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tirai Besi di Negeri Tak Bernama

January 23, 2025 06:33
IMG-20250123-WA0013

Oleh: Rizal Tanjung

di negeri tanpa nama, di bawah langit yang kelabu,
berdiri istana megah, temboknya tinggi menjulang,
namun bukan marmer yang menghiasinya,
melainkan darah rakyat yang terlanjur hilang.

sang penguasa, bermahkota besi berkarat,
duduk di singgasana emas yang berdesir,
namun emas itu palsu, tertutup debu,
diukir oleh janji kosong yang tak pernah lurus.

“akulah pemimpin abadi,” katanya lantang,
suara memecah, menggema di ruang kosong,
“rakyatku hidup untukku, tak peduli mereka lapar,
karena aku adalah dewa dalam bentuk manusia!”

di alun-alun, bendera berkibar megah,
warna merah, hitam, dan putih bercampur peluh,
namun tanah di bawahnya beku oleh ketakutan,
di mana setiap bisik adalah ancaman.

“keadilan!” seru mereka, mulutnya bersimbah api,
namun kata itu dipenjara di balik jeruji,
sementara penguasa sibuk menulis sejarah,
dengan tinta kebohongan dan pena ancaman.

di setiap jalan, patung sang raja berdiri gagah,
melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga,
namun rakyat tak berani menundukkan patung,
karena bahkan batu pun bisa menjadi saksi bagi hukum.

di meja panjang istana, pesta mewah berkilauan,
anggur dituangkan ke dalam gelas tanpa dasar,
para pejabat tersenyum, mulut mereka basah,
namun senyum itu palsu, hanya sisa kerakusan yang membara.

sementara itu, di desa yang jauh dan sepi,
anak-anak menangis kelaparan di gubuk usang,
tapi ibu mereka berkata, dengan suara retak,
“jangan menangis, nak, karena ini perintah tuhan.”

setiap pagi, surat kabar menulis kabar palsu,
“negara ini maju! penguasa kita agung!”
namun tinta itu tercampur darah,
dari pena wartawan yang telah kehilangan nyawa.

di sekolah-sekolah, guru mengajarkan pelajaran,
“cinta pada negara adalah cinta pada raja,”
namun pelajaran itu hanyalah mantra kosong,
yang merampas logika dari pikiran muda.

mereka yang berani bersuara di tengah malam,
adalah debu yang hilang tanpa jejak,
tertelan dalam lubang hitam keadilan,
di mana hukum hanya melayani penguasa semata.

namun tak ada malam tanpa pagi yang datang,
di balik tirai besi, ada bisik-bisik revolusi,
suara rakyat yang lemah namun berapi-api,
bersumpah untuk menghancurkan singgasana tirani.

dan di suatu hari, yang takkan tercatat sejarah,
tembok istana itu akan runtuh oleh tangan kasar,
namun bukan raja yang akan menangis,
melainkan rakyat yang sadar mereka pernah menjadi tawanan.

maka, penguasa yang sombong itu akhirnya menghilang,
namun bayangannya tetap menghantui tanah,
karena kekuasaan otoriter, seperti ular berbisa,
selalu meninggalkan racunnya dalam darah bangsa.

di negeri tak bernama itu, sejarah terulang lagi,
penguasa baru lahir dari keruntuhan yang sama,
dan rakyat terus berjalan dalam lingkaran,
menunggu pagi yang benar-benar bebas.

Padang, 22 Januari 2025