Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cut Nyak Meutia: Mutiara yang Tak Pernah Padam

January 24, 2025 09:51
IMG_20250124_093929

Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jateng)

Jejak Perempuan di Palagan Nusantara (3)


Cut Meutia tengah berduka. Suaminya, Pang Nangroe, tewas ditembak tentara Belanda dalam peperangan yang terjadi pada 26 September 1910. Namun, kematian sang suami tidak menyurutkan nyali Cut Meutia untuk terus melawan dengan harapan bisa mengusir kaum penjajah dari bumi Aceh Darussalam. [1]


Di lembah hijau Aceh, suara angin berbisik pelan,
Menyanyikan balada perempuan perkasa, Cut Meutia namanya.
Bukan hanya sebuah nama dalam sejarah yang dituliskan,
Namun jiwa yang hidup dalam denyut tanah dan debur ombaknya.

Dari rumah panggung tempat ia bertumbuh,
Hingga senja di medan perang terakhirnya,
Ia belajar bahwa tanah ini adalah janji,
Yang tak boleh jatuh pada tangan tamak penjajah.
Rencong di genggamannya adalah doa,
Setiap tikamannya adalah lantunan ayat suci,
Menembus hati musuh yang mengancam marwah negeri.

Di bawah kanopi daun yang merunduk,
Di mana sinar matahari hanya mencuri celah,
Cut Meutia berdiri teguh dengan mata berapi,
Memimpin jiwa-jiwa yang merintih luka.
“Kita adalah pohon yang akarnya mencengkeram tanah,
Takkan tumbang meski badai merontokkan daunnya.”
Ucapannya menggema, menciptakan bara,
Membakar hati mereka yang dulu hampir menyerah.

Belanda datang dengan kapal dan bedil,
Namun Cut Meutia, perempuan yang lembut di wajah,
Adalah badai yang menghempas kapal besar itu,
Gelombang keberanian yang menolak tunduk.
Ia tahu, perjuangan adalah jalan berbatu,
Di mana darah menjadi saksi,
Dan kehilangan adalah sahabat setia.

Ketika suami tercinta, Teuku Tjik Tunong, pergi selamanya,
Kesedihan itu ia lipat rapi,
Menjadi api yang memanaskan langkah kakinya.
“Aku takkan berhenti, demi tanah ini,” bisiknya,
Kepada tanah basah tempat suaminya berbaring.
Dalam pelukannya, rencong menjadi teman setia,
Dalam hatinya, semangat tak pernah padam.

Kemudian datang Pang Nagroe,
Sahabat seperjuangan yang menjadi sandaran,
Namun sekali lagi takdir mengulangi luka,
Ia kehilangan sosok itu di medan yang sama.
Namun bagi Cut Meutia, kehilangan bukan akhir,
Ia menjadikannya cahaya penuntun,
Bahwa pengorbanan adalah harga bagi kemerdekaan.

1910, di suatu pagi yang basah oleh embun,
Belanda mengepung hutan dengan teriakan perang.
Namun Cut Meutia tidak berlari,
Ia berdiri, tubuhnya kecil tetapi jiwanya tak terbendung.
Rencong di tangannya berkilau seperti bintang,
Setiap ayunannya adalah sajak keberanian,
Hingga akhirnya tubuhnya jatuh ke bumi.
Namun, apakah ia kalah?
Tidak. Ia abadi.
Karena perjuangan adalah jiwa,
Dan jiwa tak pernah mati.

Kini, namanya bergema di setiap doa,
Di setiap cerita rakyat yang dilantunkan ibu kepada anak.
Cut Meutia adalah mutiara yang bersinar di kegelapan,
Cahaya yang menuntun mereka yang hampir menyerah.
Dalam setiap langkah generasi Aceh,
Ia hidup sebagai nyala obor,
Menerangi jalan menuju kebebasan.

Di bawah langit biru yang menjadi atap perjuangan,
Cut Meutia meninggalkan warisan abadi.
Bukan harta atau istana megah,
Namun keberanian yang tak terbeli oleh apa pun.
Ia adalah pesan dari masa lalu,
Bahwa cinta kepada negeri tak mengenal waktu,
Bahwa kemerdekaan adalah doa,
Yang dilantunkan oleh darah dan air mata.\

Cut Meutia, engkau tidak pernah benar-benar pergi,
Langkahmu terus terdengar di hutan-hutan Aceh,
Doamu mengalir dalam sungai-sungai yang tak pernah kering.
Engkau adalah mutiara,
Yang sinarnya tidak pernah padam,
Meski badai mencoba memadamkan.

Di hati setiap anak negeri,
Engkau hidup sebagai ilham,
Bahwa perempuan bukan hanya pelengkap,
Namun tiang yang menegakkan marwah bangsa.
Aceh menangis saat engkau gugur,
Namun air mata itu menjadi sungai keberanian,
Yang terus mengalir hingga kini.


Rumah Kayu Cepu, 24 Januari 2025

Catatan:
[1] Puisi esai ini diinspirasi dari kisah Cut Meutia salah satu pahlawan nasional Indonesia dari Aceh, yang memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda hingga akhir hayatnya.