Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya*)
HATIPENA.COM – Dalam keyakinan Hindu (Bali), hidup ini bukan sekadar perjalanan lahir, tumbuh, dan mati. Ia adalah lembaran penuh utang—rna—yang diwariskan sejak dalam kandungan dan tarikan napas pertama.
Hidup adalah janji, dan janji itu harus dibayar. Utang kepada Tuhan yang memberikan kehidupan (Dewa Rna), kepada orangtua dan leluhur yang memberikan jasad dan darah (Pitra Rna), kepada para guru yang membimbing akal budi (Rsi Rna), dan bahkan kepada diri sendiri yang menuntut kesadaran akan makna keberadaan (Atma Rna).
Membayar utang ini bukan perkara kecil. Ia terwujud dalam yadnya, persembahan yang dijalankan melalui upacara-upacara suci.
Mulai dari pemujaan harian di pura keluarga hingga upacara seperti ngaben, menek kelih, metatah, potong rambut dan lainnya.
Semua dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban spiritual, agar jiwa yang memikul beban utang ini dapat berjalan ringan menuju moksha—pembebasan tertinggi.
Namun, zaman kini membawa paradoks yang merayap dalam tradisi suci ini.
Ngaben, yang dilakukan dengan penuh kesakralan dalam lingkup keluarga, kini ada yang dilaksanakan oleh pihak ketiga: yayasan, panitia, atau lembaga yang mengorganisir upacara massal.
Dengan pendaftaran yang dibuka secara umum, biaya yang kecil, bahkan disubsidi oleh pemerintah atau tokoh tertentu, esensi yadnya seolah tereduksi. Apakah rna—utang kehidupan yang bersifat pribadi dan sakral—bisa lunas melalui tangan pihak ketiga? Apakah bayar-membayar dalam konsep rna ini bersifat serimonial belaka?
Bayangkan seorang anak yang ingin membayar utang pada orang tuanya dengan sepenuh hati. Ia memilih jalur yang lebih murah dan praktis: menyerahkan tanggung jawabnya kepada yayasan.
Memang, roh orang tua akan tetap dihormati, abu mereka tetap dilepaskan ke laut tetapi apakah hati sang anak telah benar-benar menyerahkan baktinya untuk membayar segala utangnya kepada orang tua yang diabenkan?
Tradisi massal ini, meski memudahkan dan menjawab tantangan ekonomi masyarakat modern, menimbulkan pertanyaan besar tentang inti yadnya itu sendiri.
Dalam yadnya, bukan hanya hasil yang penting, tetapi juga prosesnya—kesungguhan hati, pengorbanan waktu, tenaga, dan materi.
Ketika semuanya dibuat massal, apakah yadnya yang dilakukan itu masih memiliki nilai sakral yang sama?
Perlu direnungkan; Melunasi atau Sekadar Membayar?
Dalam dunia paradoks ini, rna menjadi konsep yang diterjemahkan dengan beragam pemahaman. Sebagian percaya bahwa upacara massal tetap memenuhi kewajiban spiritual, selama niat tulus tersimpan dalam hati. Namun, ada pula yang merasa bahwa tanggung jawab kepada leluhur tidak bisa diserahkan begitu saja kepada pihak lain.
Mungkin, paradoks ini adalah cermin zaman. Di satu sisi, ia mencerminkan kebutuhan masyarakat modern untuk menyederhanakan ritual tanpa kehilangan makna. Di sisi lain, ia menjadi pengingat bahwa rna bukan sekadar tentang membayar kewajiban, melainkan melibatkan hubungan batin yang mendalam antara manusia, leluhur, dan Tuhan.
Pada akhirnya, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah utang kehidupan ini benar-benar bisa lunas jika yang membayar adalah institusi, bukan hati?
Paradoks ini mungkin tidak akan pernah sepenuhnya terjawab, tetapi ia mengajak kita merenungkan kembali inti dari yadnya—sebuah jalan spiritual yang menghubungkan manusia dengan semesta. (*)
Denpasar, 24 Januari 2025
*) Penulis, Konsultan Sastra dan Literasi Hatipena.com