Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Senjakala Angka-angka

January 26, 2025 08:48
IMG_20250126_084620

Digubah oleh : Guys MPS

HATIPENA.COM – Bagi semua yang sibuk dengan rutinitas, angka-angka akan menjadi bayang-bayang, sekadar guratan di lembar-lembar buku yang berdebu. Tidak ada yang benar-benar memikirkan mereka. Tidak para siswa yang sibuk menghafal tanpa paham, tidak bagi seorang yang bahkan pernah mengajar mereka, tidak pula bagi para ahli yang telah puluhan tahun merancang dan menghitung. Demikian agaknya.

Di sebuah ruang kelas, seorang anak bertanya kepada temannya, suaranya nyaris hilang ditelan gemuruh bel sekolah, “Mana yang lebih besar ya, nol koma dua atau satu per lima?”

Temannya itu tersenyum samar. “Mungkin … satu per lima?” katanya ragu, lalu melanjutkan, “atau nol koma dua? Ah …, itu tak penting. Yang penting kita harus mengerjakan soal ujian dengan teliti.”

Anak itu terdiam. Lalu bertanya lagi, “Kalau lima pangkat minus satu dibandingkan dengan akar dari satu per dua puluh lima?”

Temannya itu tersenyum lagi, lebih lebar kali ini, “Pertanyaan itu terlalu teknis. Untuk apa kamu memikirkannya? Petuah yang sering kita dengar adalah bahwa dalam hidup, yang lebih penting adalah bekerja keras dan jujur.”

Anak itu menunduk. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang hilang dari jawaban itu.

Sementara itu, di sebuah bengkel tua, seorang lelaki lanjut usia duduk termenung. Dulu, tangannya gesit merancang mesin, merangkai angka-angka di atas kertas seperti seorang pelukis yang menciptakan dunia dari goresan kuasnya. Tetapi kini, ketika ditanya oleh seorang muda yang berkunjung ke bengkelnya, “Pak, jika kita mengisi bahan bakar sebanyak lima liter ke dalam tangki sepeda motor yang konsumsi bahan bakarnya adalah nol koma dua liter per kilometer, berapa jauh kendaraan bisa berjalan?”

Lelaki tua itu menghela napas. Tangannya yang dulu bergetar oleh semangat kini gemetar oleh usia. Ia mencoba menghitung dalam benaknya, tetapi angka-angka terasa berlarian liar, menolak untuk ditangkap. “Mungkin … tiga puluh kilometer? Atau dua puluh lima?”

Anak muda itu mengangguk, tidak berani bertanya lebih jauh.

Ketika angka-angka diperlakukan seperti siluet kabur di senja hari maka mereka ada, tetapi tidak pernah benar-benar dipegang, tidak pernah benar-benar dipahami. Mereka hanya sekadar alat yang dipakai sesekali, lalu dilupakan begitu saja.

Perhitungan-perhitungan dibuat dengan firasat, bukan dengan kepastian. Seorang pedagang di pinggir jalanan tidak benar-benar tahu apakah perolehannya akan cukup untuk bertahan esok hari. Seseorang perancang tidak pernah benar-benar paham berapa banyak sumber daya yang tersisa sebelum habis. Sementara itu, banyak orang tidak pernah benar-benar tahu apakah gaji yang diterima cukup untuk membayar semua kebutuhan hidupnya sebulan.

Berhitung adalah bahasa dunia yang tersembunyi dalam setiap langkah kita. Ia ada dalam hitungan detak jantung, dalam ritme ombak yang menghantam pantai, dalam pola bintang di langit malam. Tetapi bagi siapa yang terlupa untuk memahami angka, ia seperti musisi yang lupa membaca not balok, seperti pelaut yang lupa membaca peta, seperti ahli bangunan yang lupa bagaimana menakar batu dan pasir.

Angka-angka terus berbisik dalam senyap, menunggu seseorang mendengarnya. Namun, sampai saat itu tiba, seseorang akan tetap tersesat dalam kebingungan, mengira bahwa satu per lima lebih besar dari nol koma dua, dan percaya bahwa perhitungan hanyalah permainan, bukan kebenaran yang harus digenggam erat. (*)