Elza Peldi Taher
HATIPENA.COM – Hari ini , sepuluh tahun yang lalu, langit di atas Lampung mendung. Sore itu, Muswardi Thaher, seorang ulama yang dicintai dan dihormati, berpulang ke pangkuan Ilahi. Kejadian itu berlangsung begitu cepat, seolah hidupnya direnggut pada sebuah momen yang sederhana namun penuh makna. Ia masih sehat saat bersiap menunaikan salat Ashar di rumahnya, di Lampung. Sang istri, yang selalu setia mendampingi, berdiri di belakang, siap menjadi makmum. Ketika rukuk, Muswardi tak bangkit lagi. Panggilan lembut sang istri tak ia jawab. Dengan cemas, tetangga dipanggil, dan ia segera dilarikan ke rumah sakit. Dokter, Muswardi sudah menghadap Sang Khalik bahkan sebelum sempat tiba.
Berita duka itu menyebar bak gelombang pasang, mengguncang hati masyarakat Lampung. Dalam hitungan jam, rumah duka dipenuhi oleh ribuan orang yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Karangan bunga duka membentang sejauh lebih dari satu kilometer, menjadi saksi betapa dalamnya cinta dan hormat masyarakat kepada Muswardi Taher. Tak mengherankan, karena sejak kedatangannya ke Lampung pada tahun 1970-an, Muswardi telah menjelma menjadi sosok panutan.
Ulama dengan Orasi yang Menggetarkan
Muswardi Thaher adalah penceramah yang mampu menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Setiap kali ia berbicara, masyarakat datang berbondong-bondong, seolah-olah kata-katanya adalah oase di tengah kegersangan jiwa. Sebagai seorang ulama Muhammadiyah, ia percaya bahwa dakwah bukan hanya soal ceramah, melainkan juga tindakan nyata. Maka, di sela kesibukannya sebagai pegawai negeri, ia mendirikan rumah sakit Islam dan sekolah berbasis agama yang kini menjadi mercusuar pendidikan di Lampung.
Ketika wafat, jasad Muswardi disalatkan di dua masjid besar, sesuai permintaan masyarakat yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Ribuan orang mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir, sebuah prosesi yang lebih mirip arus sungai besar yang mengalirkan cinta dan doa. Pemakaman itu menjadi bukti nyata kecintaan umat kepada sosok yang telah mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan.
Dari Surau Kecil hingga Lampung
Muswardi lahir tahun 1943, di Batang Lawe, Muara Labuh, Solok Selatan, dari keluarga petani sederhana. Ayahnya Muhammad Taher Djamil adalah seorang petani dan kepala kampung di Batang Lawe, Solok Selatan. Bakatnya sebagai seorang ulama sudah tampak sejak kecil. Di surau tempatnya menimba ilmu, ia sering diminta untuk berceramah. Kata-katanya memikat, membuat orang-orang di desanya yakin bahwa kelak ia akan menjadi sosok besar.
Kesempatan emas datang ketika ia melanjutkan pendidikan ke IAIN di Yogyakarta. Di sana, bakatnya semakin terasah. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswa, ia memberikan les privat dan berdakwah. Selepas kuliah, Muswardi memilih Lampung sebagai ladang dakwahnya, sebuah keputusan yang mengubah wajah masyarakat di provinsi itu.
Sebagai kader Muhammadiyah, ia menjalankan misi yang menjadi khas orang Muhammadiyah, mendirikan sekolah dan rumah sakit. Pada tahun 1980-an, ia mendirikan Al Azhar Lampung, sebuah sekolah yang kini telah mencetak ribuan lulusan. Ia mendirikan itu setelah dapat amanah dari Buya Hamka yang baru ditemuinya. Buya Hamka mengharapkan Muswardi mendirikan sekolah bernama Al-Azhar di lampung. Hamka bahkan menulis amanahnya itu dalam bentuk surat kepada Muswardi. Muswardi percaya, pendidikan adalah investasi terbaik untuk membangun umat. Dalam satu perbincangan malam hari di Klender kak Imuk, demikian panggilan saya padanya, mengatakan akan mendirikan sekolah bernama Al Azhar di Lampung. “Jika aku tiada,” kata kak Imuk, “biarlah sekolah ini dan rumah sakit menjadi warisan yang akan terus melanjutkan amal jariyahku.”, katanya pelan. Saya terdiam mendengarkannya.
Warisan Abadi
Kini, sepuluh tahun setelah kepergiannya, nama Muswardi Thaher tetap hidup. Amal baiknya, baik dalam bentuk ilmu maupun lembaga yang ia dirikan, terus mengalirkan manfaat bagi masyarakat. Rumah sakit yang ia bangun melayani ribuan pasien tanpa memandang latar belakang, sementara sekolah yang ia dirikan terus mencetak generasi baru yang beriman dan berilmu. Sekolah Al Azhar Lampung yang kini dikelola anak anaknya berkembang pesat dan menjadi salah satu sekolah yang bergengsi di Lampung.
Muswardi Thaher telah tiada, tapi ia meninggalkan jejak yang tak akan pernah pudar. Ia adalah pelita yang menerangi Lampung, dan cahayanya akan terus bersinar, bahkan setelah lilin itu padam. Seperti kata pepatah, “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Nama Muswardi Thaher akan terus dikenang, sebagai ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk umat. (*)
Pondok Cabe Udik 26 Januari 2025