Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Duda Keparat

January 26, 2025 14:01
IMG-20250126-WA0096

Cerpen Fanny J. Poyk

HATIPENA.COM – Kutatap menara Eiffel dengan tengadah wajah bersama kecamuk pikiran yang berjalan ke segala arah. Hari ini aku berjanji untuk bertemu dengan Joana Veronica, aku memanggilnya Joana, gadis Prancis yang berasal dari kota Toulouse. Ibunya berdarah Indonesia, tepatnya dari Depok, Jawa Barat. Sedang sang ayah berasal kota Toulouse. Kedua orangtuanya masih tinggal di kota itu, sedang ia tinggal di pusat kota tua Le Marai, bekerja di kafe yang bernama sama. Alasannya, ia suka pada suasana kota itu, juga jalan-jalan serta bangunan berasitektur penuh sejarah dan klasik. Di sana ada banyak galeri seni juga museum, “Aku suka tinggal di daerah ini, tempat ini membuatku lebih menukik ke bawah, mencoba merasakan kala para pelukis jalanan mengembangkan imajinasi mereka di atas kanvas.” ujarnya dalam Bahasa Indonesia yang fasih.

Aku tertegun. Di sanalah kami bertemu, pada sebuah kafe tempatnya bekerja. Joana menatapku tajam ketika aku duduk di sudut ruangan, ia manajer di kafe itu. Namun ia tak sungkan untuk mengantarkan sendiri pesanan para tamu yang menikmati kudapan di situ. Tiga kali aku ke Le Marai, selalu kupesan sajian cafe gourmand yaitu kopi yang ditemani kue-kue mini dengan cita rasa yang lezat. Joana mulai mengetahui kegemaranku.

Ia mengatakan bahwa semua kudapan yang ada di kafenya olahan dirinya dan seorang ahli membuat kue lulusan Le Cordon Bleu Paris. “Di sini kami juga membuat chocolate eclair atau lemon meringue tart.” Bak seorang penjual yang lihai, ia menawarkan dagangannya, Joana memperlihatkan gambar kue-kue buatan kafe mereka padaku.

Hm…ia lulusan Le Cordon Bleu Paris yang khusus mengambil jurusan kuliner, pikirku. Aku tahu itu sebuah lembaga pendidikan kuliner yang bergengsi di Paris. Pastinya ia telah dilatih secara profesional oleh dosen-dosen yang rata-rata chef terkenal dari restoran atau hotel ternama yang ada di seluruh dunia. Lalu, sebelum aku pergi kembali ke asrama tempatku tinggal, gadis cantik itu tersenyum manis padaku. Ia mempersilakan aku untuk datang lagi ke kafenya. Dan aku tentu saja menyanggupi, tatapannya yang ramah dengan sorot mata coklat khas Asia, membuat rasa rinduku pada Indonesia terobati.

Keberadaanku di Paris berkaitan erat dengan beasiswa yang kudapatkan dari Pemerintah Prancis melalui Kementerian Luar Negeri Indonesia. Aku memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliah doktoralku di sebuah perguruan tinggi yang ada di kota nan indah itu. Tepatnya di Institut d’Etudes Politiques de Paris. Aku mengambil jurusan ilmu ekonomi.

Kampus yang terletak dekat sungai Seine, membuatku bisa merambah kemana-mana. Aku dapat mencapai Notre Dame de Paris dan Assemblee Nationale dengan berjalan kaki. Gedung berupa bangunan mewah abad ke-17 dan 18 yang terletak di Rue Saint-Guillaume, terletak tepat di tepi kiri sungat tersebut, gedung itu menjadi pemandangan yang sangat cantik dan indah. Kesan klasik yang epic sangat terasa.

Biasanya jika libur kuliah tiba, aku mampir ke Procope Coffe House, sebuah kafe tua di Paris. Kafe ini berdiri pada tahun 1986, atau sekitar 335 tahun yang lalu. Aku yang juga seorang penulis cerita pendek dan puisi, sembari minum kopi dan memakan croissant gurih, duduk menulis di sudut kafe itu sungguh merupakan kenikmatan hidup yang tiada tara. Saat itu aku belum menemui kafe tempat Joana bekerja, Le Marai.

Di Procope Coffe House, aku menikmati ketenangan yang ada sambil sesekali melirik pasangan tua yang tengah serius membaca, atau sekilas melirik kekasih muda yang berciuman lembut diiringi musik klasik karya Wolfgang Amadeus Mozart Symphony On. 40 in G, Minor, yang kerap diputarkan ibuku saat aku balita dulu.

Atau kadang-kadang diputar juga karya-karya Ludwig van Beethoven Emperor Concerto for Piano, No. 5 dan Johan Sebastian Bach yaitu Brandenburg Consertos. Pemutaran musik yang tidak terlalu keras membuat suasana kian syahdu, aku menikmatinya meski tidak terlalu paham akan makna sesungguhnya dari karya-karya pemusik legendaris itu. Dan keasyikkanku akan tersedot oleh perilaku anak muda Paris yang lembut dan dalam kala mereka berciuman.

Sungguh ini bukan imaji ‘jorok’ atau pengaruh libidoku yang berlebihan, melihat para muda-mudi di kafe yang sering kukunjungi ini tengah memadu kasih dengan olah tubuh yang tidak agresif, aku suka.

Imajiku lalu melayang pada dua kata yaitu French Kiss yang melegenda, di mana pada awalnya ciuman ini dilakukan oleh orang Amerika kala ia mencium seorang gadis Prancis. Ciuman yang hot dengan memasukkan unsur lidah di dalamnya, konon diprediksi dapat memberikan rasa bahagia dan meningkatkan imun.

Barangkali anak-anak muda yang melakukannya diam-diam berpadu dengan kesunyian di dalam kafe, juga merasakan imun dan rasa bahagia kala mereka saling mengulum lidah, buktinya tatkala kulirik sekilas, mata mereka saling terpejam, lalu berbinar-binar, dan kebahagiaan itu dibiarkan oleh para penjaga kafe selama mereka tidak melakukan hal yang lebih frontal dengan melakukan adegan yang lebih liar misalnya.

Procope Coffe House, kemudian menggiringku pada peninggalan yang tak pernah kulihat namun dapat kurasakan auranya, di sana di sudut ruangan, pada tahun 1750-an, ada meja yang selalu diduduki Voltaire, di tahun yang sama Victor Hugo juga senang duduk di sudut coffee house itu.

“Ratusan tahun yang lalu, mereka sering datang ke tempat ini,” ucap sang pelayan kafe akrab kusapa Philipe, ia mengaku berasal dari Paris, bahasa Prancisnya terdengar seksi. “Dan Bapak perlu tahu juga, pada tahun 1770-an Benyamin Franklin menulis sebagian konsep Declaration of Independencenya di sudut ruangan yang ada di kafe ini.” lanjutnya.

“Darimana kau tahu semua peristiwa yang ada di sini?” tanyaku.

“Sebelum kami bekerja di sini, kami dilatih untuk mempelajari kisah sejarah yang terjadi di tempat ini. Bahkan ketika Napoleon masih menjadi serdadu ia pernah ke kafe ini, ia pernah berhutang di sini dan membayar sisa tagihan dengan topinya.”

Kisah masa lalu yang menjadi pembicaraan para turis tentang Procope Coffe House, kemudian kutulis dalam lembaran buku catatan kecil yang selalu kubawa. Suasana klasik di dalam coffe house itu memang membuatku selalu ingin kembali, namun kafe Le Mari lebih kuat menarik langkahku untuk ke sana. Pesona dan tatap mata Joana Veronica selalu menyayat ruang kalbuku.

Aku, lelaki berusia mendekati tiga puluh sembilan tahun, yang tengah berada di puncak karierku sebagai penulis dan dosen di sebuah universitas swasta ternama di Jakarta, rasanya normal bila menyukai seorang gadis cantik dengan penampilan elegan dan ramah seperti Joana. Haruskah kupupuk rasa ini dengan kompilasi beragam masalah yang kelak akan menghadang di hadapan? Tanya itu hanya aku yang bisa menjawabnya.


Malam ini kubuka E-mail di layar laptopku. Ada inbok dari Deana, istriku. Ia mengirim lembaran surat perceraian kami yang harus kutandatangani. “Segera setelah ditandatangani, kau kirim balik padaku. Di sana jelas tertera tentang pembagian harta gono-gini. Ingat lima tahun menikah, bukan aku yang mandul. Aku sudah cek ke dokter kandungan, aku subur. Ternyata kaulah yang mandul. Bilang itu pada Ibumu, jadi dia tidak bisa menyalahkan aku lagi dan Ibumu yang julid itu tidak bisa mencari-cari kesalahan di diriku sebab kesalahan perihal penerus keturunan ada di dirimu. Kutunggu E-mail balik darimu!”

Aku terkesiap. E-mail yang singkat, jelas dan tegas dari Deana yang sekarang masih menjadi istriku, membuat jantungku berdetak cepat. Bisa kubayangkan jika pengadilan menyetujui permintaannya dan dia menang, mungkin aku akan menjadi pria paling malang sedunia; sudah tak punya rumah, mandul pula. Andai gelar doktor sudah kudapatkan, apa kebanggaan yang akan kudapatkan? Deana akan pergi, aku sendirian dan tiap hari hanya bergaul dengan makalah kuliah serta mahasiswaku yang terkadang kepala batu dan merasa sok pintar. Usiaku sudah berjalan ke arah angka 40 tahun.

Dulu yang kupunya hanya Ibuku, ia satu-satunya orang yang membelaku. Meski Deana mengatakan ia ‘julid’ atau nyinyir dan selalu berpikiran negatif, aku tahu ia menyayangiku melebihi segala yang ia punya di dunia ini. Ya, aku satu-satunya anak yang ia lahirkan, satu-satunya milik yang ia banggakan.

Usai Ayahku kawin lagi lalu menceraikannya, tak ada lagi yang ia miliki selain aku. Saat Deana masuk ke kehidupanku, aku tahu Ibu menganggapnya sebagai rival, dalam segala hal ia selalu melihat Deana dari perspektif yang negatif.

Aku tak bisa seratus persen menyalahkan Ibu, sebab ketika aku tahu ia menderita kanker ovarium stadium akhir, tak ada lagi orang yang bisa mengerti tentang Ibu selain aku.

Deana dendam akan segala tuduhan dan cercaan Ibu padanya. Ia tak mau mengalah dengan situasi. Ia tidak mau mengerti kalau Ibuku sebentar lagi akan tiada. Dan Ibu benar tiada.

Deana akan menceraikanku, Ayahku sudah dua tahun lalu pergi menghadap yang kuasa akibat stroke. Saat sakit, ia tak mau bertemu denganku, dua saudara tiri dan Ibu mereka bersikap sama, aku tidak pernah mengerti mengapa mereka membenciku. Apakah karena sikap Ibu yang begitu frontal memperlakukan Ayah dan anak-anak serta Ibu tiriku dengan kasar serta penuh dengan agitasi dan intrik yang mereka anggap keji?

Sekali lagi aku tak bisa menyalahkan Ibu. Usai perselingkuhan Ayah dengan perempuan itu, Ibu berjuang sendirian untuk kehidupan dan pendidikanku. Rasa sayangnya padaku tanpa reserve, tanpa syarat. Kini aku sendiri tak punya siapa-siapa. Bila aku kembali ke Indonesia, aku harus memulainya dari awal lagi. Yang tersisa hanya makam Ibuku, ke sana aku akan selalu mengadu tentang nasibku.

Hari itu kugiring langkahku ke kafe Le Mari. Kucari sosok Joana di sana. Beberapa pelayan kafe mengatakan kalau gadis itu pulang ke Toulouse, menengok Ibunya yang sedang sakit. Sepi sekali kurasakan suasana di kafe tanpa kehadirannya. Aku ingat di dompet ada nomor Hp yang diberikan gadis itu, aku belum sempat menyimpannya di Handphoneku.

Kutulis nomor itu dengan hati-hati. Kemudian kusimpan di nomor Whatsappku. Perlahan kutulis kalimat, “Bonjour Joana. Tu me manques ” Joana aku rindu padamu, begitu arti yang bisa kuucapkan dalam sunyi.
Aku mencoba menghilangkan rasa maluku ketika menuliskan kata-kata itu, tiba-tiba saja timbul keberanian untuk mengirim tulisan tersebut saat menyapanya di WA. Aku kangen kamu Joana. Sungguh, saat itu aku merasa galau, kesepian yang luar biasa menerpaku. Tak lama WA-ku berbunyi. Ada jawaban dari gadis cantik berwajah campuran Eropa dan Asia itu, ia menulisnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

“Halo Adrian, apa kabar? Lama kau tidak ke kafe. Aku harus pulang ke Tuolouse, mengantarkan Ibuku kemoterapi, kanker payudaranya sudah memasuki stadium tiga.” tulisnya tanpa emoticon.

Kukatakan kalau aku ingin mengunjunginya jika ia mengijinkan. Dan tak lama muncul jawaban yang bertuliskan alamat rumahnya di Touluse. Debar di dadaku bergelora. Sejenak kesedihan yang menghantui hilang. Seketika itu juga aku berkemas menuju kota Toulouse. Segera kubeli tiket kereta api seharga 5,70 Euro. Jarak antara Paris-Toulouse sekitar 677 Km dan dapat ditempuh sekitar 5 jam 2 menit. Perjalanan yang lumayan jauh. Tapi aku gembira. Rasa bahagia ini sulit kulukiskan dengan kata-kata. Aku bagai hendak menemui kekasih hati yang lama kurindu. Entah inikah yang disebut cinta? Aku seorang calon doktor, lelaki berusia 39 tahun yang akan menjadi duda cerai dengan harta yang sudah habis dikuras mantan istriku.

Sekarang aku mengejawantah bagai remaja berusia 17 belas tahun yang terpesona pada pandangan pertama. Sungguh cinta itu begitu ajaib datangnya.

Tiba di kota Touluse aku terpesona akan keindahan dan kerapiannya. Kota ini merupakan salah satu kota paling indah di Prancis. Touluse dikenal dengan nama Ville Rose atau Red City. Pusat kota dihiasi dengan batu merah khas bangunan yang ada di kota ini.

Toulouse adalah kota terbesar kelima di Prancis, ia berada di titik pusat antara Laut Mediterania dan Samudra Antlantik, The Purenees dan Spanyol Andorra berada di dekatnya. Aku menarik lebih kuat tas ranselku ke atas. Di sekitar The Toulouse Metro, kucari sudut kafe yang bisa aku duduki barang sepuluh atau lima belas menit.

Penampilanku bagai turis Asia yang sedang menjelajahi kota-kota yang ada di Prancis, tampilan seperti ini biasa terlihat, mereka adalah backpackers yang melakukan perjalan murah dengan tidur di tiap stasiun kereta api atau ruang tunggu bandar udara. Mungkin aku mirip dengan mereka.

Kemudian, sesaat setelah perutku sudah terisi dengan segelas cappunio hangat, kutelpon Joana, suaranya yang sudah akrab di telingaku, terdengar seperti biasa, ramah dan penuh kehangatan.

“Halo Adrian, di mana kau berada? Kami sudah menunggumu sejak setengah jam yang lalu,” jawab Joana.

Aku mengernyitkan dahi, ‘kami?’ tanya itu menyesap di ruang benakku. Namun segera kulupakan.
Tak lama Joana datang ke kafe tempat aku menunggunya. Dia muncul bersama seorang lelaki muda seusianya. Wajahnya sangat tampan, mirip laki-laki yang ada di dongeng atau mitologi Yunani.

“Hai Adrian, ini suamiku, Nicholas. Kami baru saja menikah seminggu yang lalu. Ia seorang insinyur, asli dari kota ini,” katanya renyah tanpa tekanan.

Aku berdiri, lalu menyalami lelaki yang tinggi gagah itu. Tubuhku hanya sebahunya. Sungguh bila dibandingkan dengannya, aku bagai The Beast yang gagal mencari sasaran. Usai mereka minum cappucino bersamaku, kukeluarkan kain tenun ikat NTT yang memang akan kuhadiahkan pada Joana. Ia menerimanya dengan raut gembira dan mata berbinar indah, mata gadis Indonesia yang selalu kurindu.

“Maaf, aku harus segera kembali ke Paris. Aku hanya hendak menyerahkan hadiah ini, itu kain tenun asal ibuku, dia berasal dari Rote, NTT. Sekalian aku ingin melihat-lihat kota yang indah ini. Sekarang aku harus kembali, esok setumpuk tugas kuliah sudah menunggu. Sampai jumpa Joana, Nicholas,” ucapku sambil menyalami mereka berdua.

Senyum terindah terpahat di wajah Joana, di sampingnya sang suami yang teramat tampan itu ikut tersenyum. Ia memegang istrinya dengan erat. Pasangan yang serasi, pikirku.

Sayup-sayup tatkala bokongku sudah menyentuh jok di dalam kereta, kudengar lagu La Marseillase diperdengarkan. Lagu kebangsaan Prancis ini berhasil menghapus rasa sedih yang begitu kuat bersemayam di dada.

Tak lama, WA di Hpku berbunyi, ada harapan terselubung muncul di benakku, aku berharap itu dari Joana. Meski dia sudah menikah, paling tidak ada kata-kata mutiara yang ia tujukan padaku. Namun sayang,WA itu dari Deana yang mengabarkan ia kini bukan istriku lagi, ia berhasil menang di pengadilan, dan berhasil juga memperoleh semua harta yang kami kumpulkan selama lima tahun, termasuk harta peninggalan Ibuku.

Sekarang, di dalam kereta menuju Paris, aku benar-benar sempurna, sempurna sebagai duda keparat yang mandul dan tak punya apa-apa. Oh betapa absurnya hidup ini, kataku di dalam hati, hanya di dalam hati, je suis triste. (*)

Biodata Fanny J. Poyk

Fanny lahir di Bima pada 18 November dari pasangan Gerson Poyk dan Agustina Antoneta Saba. Lulusan IISIP Jakarta jurusan jurnalistik ini mulai menulis sejak tahun 1977.

Karya-karyanya berupa cerita anak-anak, remaja dan dewasa telah dimuat di berbagai media. Di antaranya Kompas, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos, Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Timur Ekspres dll. Salah satu cerpennya terpilih sebagai 20 cerpen terbaik Kompas.

Saat ini Fanny masif aktif menulis berbagai genre tulisan, mulai dari esei, arikel biografi, laporan perjalanan, novel, buku-buku motivasi dan memberikan pelatihan menulis di dalam dan luar negeri. Ia juga menjadi pembicara dan moderator di berbagai kegiatan sastra.