Cerpen Rastono Sumardi
HATIPENA.COM – Di sebuah desa kecil di tepi hutan lebat tak jauh dari Kota Jin Wentira Sulawesi Tengah, hiduplah seorang pemuda bernama Arga. Dia adalah seorang penjelajah alam yang gigih, terkenal di kampungnya karena sering masuk hutan untuk berburu dan mencari tanaman obat.
Suatu sore, saat langit mulai menggelap dan kabut menyelimuti hutan, Arga memutuskan untuk menjelajah lebih dalam ke daerah yang belum pernah dia datangi sebelumnya.
Meski sudah diperingatkan oleh tetua desa agar tidak terlalu jauh masuk ke dalam hutan, rasa penasaran Arga mengalahkan ketakutannya.
Saat dia berjalan makin jauh, tiba-tiba dia merasa udara di sekitarnya berubah. Hutan yang biasanya gelap dan lembab kini terasa hangat dan terang.
Di hadapannya terbentang sebuah kota yang indah dan megah, dengan rumah-rumah bersinar berkilauan, dikelilingi oleh pohon-pohon yang tampak lebih hidup dari hutan yang dia kenal.
Wentira, nama yang pernah diceritakan oleh orang-orangtua, kota gaib yang tersembunyi di antara pepohonan.
Di tengah kekagumannya, Arga melihat seorang wanita cantik berdiri di tepi sebuah danau kecil, wajahnya memancarkan kecantikan yang tak pernah dia temui sebelumnya.
Alya, itulah namanya. Dia adalah putri dari pemimpin kota Wentira, dengan kulit sehalus pualam dan mata seindah bintang malam. Alya menyadari keberadaan Arga dan menghampirinya dengan senyum lembut.
Mereka mulai berbicara, dan dalam sekejap, Arga merasa bahwa dia tidak lagi berada di dunia nyata. Suaranya lembut, menyelimuti Arga dengan rasa damai yang belum pernah dia rasakan.
Hari-hari berlalu, dan setiap malam Arga kembali ke Wentira, berjumpa dengan Alya. Mereka saling jatuh cinta, meskipun tahu bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Arga tahu bahwa Alya bukan manusia biasa, tapi dia tidak peduli.
Setiap momen bersama Alya membuatnya merasa hidup, bahkan lebih dari saat dia berada di dunia nyata.
Namun, cinta mereka tidak semudah yang diharapkan. Orangtua Alya melarang hubungan mereka. Kota Wentira memiliki aturan ketat: tidak ada manusia dari dunia luar yang boleh tinggal atau menjalin hubungan dengan penduduk Wentira, karena akan merusak keseimbangan antara dunia nyata dan gaib.
Meski Alya berusaha membela cinta mereka, orangtuanya tetap bersikeras bahwa Arga harus melupakan Alya dan tidak boleh kembali ke Wentira.
Suatu malam, saat mereka bertemu di tepi danau, Alya menatap Arga dengan mata penuh kesedihan.
“Arga, ini mungkin malam terakhir kita bertemu,” katanya dengan suara yang bergetar.
“Aku tak bisa melawan takdir yang mengikat kita. Aku harus kembali ke duniaku, dan kau harus tetap di duniamu.”
Arga merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu.
“Tidak, Alya,” katanya tegas.
“Kita bisa melawan takdir ini. Aku akan melakukan apa saja untuk bersamamu, bahkan jika itu berarti meninggalkan duniaku.”
Alya tersenyum lembut.
“Cinta kita abadi, Arga. Tapi dunia kita tidak. Jika kau tinggal di sini selamanya, kau akan kehilangan dirimu sebagai manusia.”
Meskipun begitu, cinta mereka terlalu kuat untuk diabaikan. Alya memberikan Arga sebuah cincin yang memungkinkannya datang ke Wentira hanya pada saat-saat tertentu, saat bulan purnama penuh menerangi langit.
“Ini adalah janji kita,” kata Alya. “Meski kita tak bisa selalu bersama, aku akan menunggumu di sini setiap bulan purnama.”
Dengan hati yang berat, Arga kembali ke dunia nyata. Dia menjalani kehidupannya seperti biasa, tetapi setiap bulan purnama, dia kembali ke Wentira untuk bertemu dengan cinta sejatinya, Alya.
Meski mereka hidup di dua dunia yang berbeda, cinta mereka tetap hidup, abadi di antara batas-batas dunia nyata dan gaib.
Cinta Arga dan Alya menjadi legenda di desa itu.
Masyarakat percaya bahwa ada saat-saat ketika manusia dan makhluk gaib bisa saling mencintai, meskipun mereka terpisah oleh alam dan aturan takdir.
Hingga kini, beberapa orang mengklaim pernah melihat Arga di hutan saat bulan purnama, menuju ke arah hutan lebat di mana Wentira tersembunyi, membawa harapan bahwa cinta di antara dua dunia akan terus hidup selamanya.
Meski cinta Arga dan Alya terasa begitu kuat, takdir tak memihak mereka sepenuhnya. Malam-malam pertemuan mereka di kota gaib Wentira segera menarik perhatian penduduk kota itu.
Berbagai bisik-bisik mulai terdengar di antara mereka, bahwa seorang manusia dari dunia luar telah menginjakkan kaki di kota Wentira, dan bahkan jatuh cinta dengan seorang penduduknya.
Ini adalah sebuah pelanggaran besar terhadap aturan suci Wentira yang telah dijaga selama berabad-abad.
Di sebuah pertemuan rahasia, para tetua Wentira berkumpul membicarakan nasib Alya dan Arga. Mereka khawatir, cinta yang melibatkan manusia dan penduduk Wentira bisa membawa malapetaka bagi kota mereka.
Salah satu dari mereka berkata dengan tegas, “Cinta ini tidak boleh diteruskan. Jika dibiarkan, keseimbangan dunia gaib dan dunia nyata akan hancur.”
Namun, Alya dan Arga tidak menyerah begitu saja. Pada malam bulan purnama berikutnya, Arga datang dengan tekad yang membara. Saat bertemu Alya di tepi danau, Alya dengan wajah tegang memberitahukan bahwa warga Wentira sedang merencanakan untuk memisahkan mereka selamanya.
“Mereka berencana menutup semua jalan masuk dari dunia manusia ke Wentira, termasuk cincin yang kuberikan padamu,” kata Alya dengan suara bergetar.
Arga meraih tangan Alya, menggenggamnya erat.
“Aku tidak akan menyerah, Alya. Kita akan mencari cara untuk melawan ini, bahkan jika aku harus menghadapi seluruh penduduk Wentira.”
Saat itu, terdengar suara langkah-langkah mendekat. Dari balik pepohonan, muncul beberapa penduduk Wentira, dipimpin oleh Arkan, seorang pemuda tampan dan gagah yang sejak lama diam-diam mencintai Alya. Arkan memandang Arga dengan tatapan tajam, wajahnya penuh amarah.
“Kau, manusia,” katanya dengan suara dingin.
“Kau tidak berhak berada di sini, apalagi menyentuh Alya. Kota ini bukan tempatmu, dan hubungan ini harus dihentikan.”
Arga maju, berdiri di hadapan Arkan tanpa rasa takut. “Aku mencintai Alya, dan aku tak peduli meskipun aku berasal dari dunia lain. Cinta kami tidak bisa kau pisahkan begitu saja.”
Arkan mendengus.
“Cinta kalian hanya akan membawa kehancuran. Kau tidak tahu apa yang bisa terjadi jika manusia terlalu lama berada di dunia kami.
“Di tengah ketegangan itu, Alya berdiri di antara Arga dan Arkan.
“Arkan, hentikan. Aku tahu kau ingin melindungi Wentira, tapi Arga tidak pernah bermaksud mencelakai siapa pun. Cinta kami tidak akan menghancurkan apa pun. Justru dengan cinta, dua dunia ini bisa menemukan jalan untuk hidup berdampingan.”
Namun, warga Wentira yang hadir tidak semudah itu menerima alasan Alya. Para tetua yang mendengar perdebatan tersebut mulai mendekat dan bersiap untuk memisahkan mereka dengan kekuatan gaib yang hanya dimiliki oleh warga Wentira. Arga tahu bahwa jika mereka menggunakan kekuatan itu, dia tidak akan bisa kembali lagi ke Wentira, bahkan mungkin terhapus dari ingatan Alya selamanya.
Alya, dalam keputusasaan, mengambil keputusan besar. Dia berlutut di hadapan para tetua dan berkata, “Jika cinta kami dilarang, maka biarkan aku memilih. Aku akan meninggalkan Wentira dan hidup di dunia Arga. Jika itu hukuman untuk cintaku, aku rela meninggalkan semua ini.”
Para tetua terkejut mendengar keputusan Alya. Mereka tidak pernah menduga bahwa putri dari pemimpin Wentira akan rela meninggalkan kota yang dia cintai hanya demi seorang manusia.
Arkan, yang sejak awal menyimpan perasaan untuk Alya, terlihat sangat terpukul. Dia tahu bahwa tidak ada yang bisa memaksa Alya untuk tetap tinggal jika hatinya sudah memilih Arga.
Tetua tertua dari Wentira, Nenek Suma, yang sangat dihormati, melangkah maju. Dia menatap Alya dengan penuh kasih sayang, namun juga dengan kebijaksanaan seorang yang telah hidup ratusan tahun.
“Cucu,” katanya dengan lembut, “kau tahu bahwa meninggalkan Wentira berarti kau akan kehilangan semua kekuatanmu sebagai penduduk kota ini. Kau akan menjadi manusia biasa, dan tak ada jalan kembali. Apakah kau benar-benar siap untuk itu?”
Alya menatap Arga, lalu kembali menatap Nenek Suma dengan mantap.
“Aku siap, Nenek. Cinta kami terlalu berharga untuk diabaikan. Aku rela menjadi manusia biasa asalkan aku bisa bersama Arga.”
Keputusan Alya mengguncang seluruh kota Wentira. Perdebatan panjang terjadi di antara para tetua dan warga, tetapi akhirnya, keputusan Alya dihormati. Mereka tidak bisa memaksa seorang putri untuk tinggal jika hatinya memilih jalan lain. Arga dan Alya diberi waktu satu malam terakhir di Wentira, sebelum Alya resmi meninggalkan dunia gaib selamanya.
Saat fajar menyingsing, Alya menggenggam tangan Arga erat-erat saat mereka melangkah keluar dari Wentira, meninggalkan kota itu di balik kabut tebal. Alya merasa berat, tapi juga penuh harapan. Dia tahu bahwa hidup di dunia manusia tidak akan mudah, namun dia yakin cintanya pada Arga akan memberinya kekuatan.
Arga dan Alya hidup bersama di dunia manusia, meski Alya tak lagi memiliki kekuatan gaibnya. Mereka menghadapi berbagai tantangan, tetapi cinta mereka tetap kuat. Warga Wentira tak pernah sepenuhnya melupakan mereka, namun kini mereka hidup dalam dua dunia yang terpisah, dengan keyakinan bahwa cinta sejati mampu menembus batasan apa pun, bahkan batas antara dunia nyata dan dunia gaib.
Bertahun-tahun setelah meninggalkan Wentira, Alya dan Arga menjalani hidup sederhana di dunia manusia. Mereka bahagia, meski kehidupan tidak selalu mudah. Namun, kebahagiaan mereka makin lengkap ketika Alya melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ardian.
Sejak kecil, Ardian sudah menunjukkan tanda-tanda luar biasa—kekuatan yang tidak dimiliki anak-anak lain seusianya. Alya segera menyadari bahwa meskipun dirinya telah meninggalkan Wentira, kekuatan mistis dari kota itu masih mengalir dalam darah Ardian.
Saat Ardian berumur lima tahun, tanda-tanda kekuatan mistisnya semakin jelas. Ia bisa berlari secepat angin, dan ada kalanya ia terlihat bercakap-cakap dengan makhluk yang tak terlihat oleh orang lain.
Arga, meskipun penuh kasih sayang terhadap putranya, merasa khawatir. Ia tak ingin Ardian tumbuh dengan kesulitan seperti yang mereka hadapi selama ini—terjebak di antara dua dunia.
Suatu hari, Ardian pulang dari bermain di hutan dengan wajah penuh kegembiraan.
“Ayah, Ibu! Aku bertemu seorang pria tua di hutan! Dia bilang aku berasal dari dua dunia, dunia manusia dan Wentira,” katanya dengan mata berbinar.
“Dia memberiku ini.” Ardian menunjukkan sebuah batu giok kecil berkilau yang tampak menyala dengan cahaya lembut.
Alya terkejut melihat batu itu. Batu giok tersebut adalah lambang para penjaga Wentira, sesuatu yang hanya diberikan kepada mereka yang memiliki hubungan erat dengan dunia gaib.
“Ardian, siapa pria tua itu? Apakah dia memberitahumu sesuatu lagi?” tanya Alya dengan nada cemas.
Ardian mengangguk. “Dia bilang aku memiliki kekuatan untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan Wentira. Tapi aku harus belajar mengendalikannya. Dia juga mengatakan bahwa suatu hari, aku mungkin harus kembali ke Wentira.”
Alya dan Arga saling berpandangan. Hati mereka penuh dengan kekhawatiran, tapi juga kebanggaan. Alya tahu bahwa darah Wentira yang mengalir dalam Ardian memberinya kekuatan, tetapi juga membawa takdir besar yang belum sepenuhnya mereka pahami.
Malam itu, Alya duduk bersama Arga, berbicara dengan hati-hati tentang masa depan anak mereka.
“Aku tahu ini sulit diterima, Arga. Tapi Ardian mungkin memiliki peran besar yang ditakdirkan di Wentira. Kita tidak bisa mengabaikan tanda-tandanya. Dia mewarisi kekuatan yang aku tinggalkan.
Arga menggenggam tangan Alya. “Aku hanya ingin dia tumbuh dengan damai di dunia ini, Alya. Aku tak ingin dia mengalami apa yang kita alami—terus terombang-ambing antara dua dunia. Tapi aku juga tahu, kita tak bisa menghindari takdir.”
Masa kecil Ardian pun penuh dengan latihan dan bimbingan dari Alya. Dia mulai belajar untuk mengendalikan kekuatannya yang mistis—belajar menggunakan kekuatan angin, berbicara dengan makhluk gaib, dan menyelami rahasia yang tersimpan di dalam dirinya.
Namun, makin Ardian tumbuh, makin jelas bahwa kekuatannya semakin kuat, dan dia tak bisa menolak panggilan dari Wentira.
Pada ulang tahunnya yang ke-15, Ardian mengalami mimpi yang terasa sangat nyata. Di dalam mimpinya, Arkan, pemuda yang dulu mencintai Alya, muncul di hadapannya. Arkan kini adalah pemimpin Wentira, dan dengan suara yang penuh wibawa, ia berkata, “Ardian, darah Wentira ada di dalam dirimu.
Kami membutuhkanmu di sini. Keseimbangan antara dunia kami dan dunia manusia mulai terganggu. Kembalilah ke Wentira untuk menjalani takdirmu.”
Keesokan harinya, Ardian menceritakan mimpi itu kepada Alya dan Arga. Alya tahu bahwa inilah saat yang ditakutkannya—hari di mana Ardian dipanggil kembali ke Wentira. Namun, kali ini, ia tidak merasa takut seperti dulu.
Ardian sudah lebih kuat dari yang pernah ia bayangkan, dan Alya percaya pada kekuatan anaknya.
Dengan berat hati, Alya dan Arga mengizinkan Ardian untuk pergi ke Wentira.
Namun, sebelum ia pergi, Alya memberi pesan penting kepadanya, “Ingatlah, Ardian, meskipun kau berasal dari dua dunia, selalu ikuti hatimu. Di mana pun kau berada, keluarga ini akan selalu menjadi rumahmu.”
Ardian mengangguk, memeluk kedua orang tuanya dengan erat, dan berjanji untuk kembali suatu hari nanti.
Ardian tiba di Wentira, diterima sebagai penjaga baru dengan kekuatan mistis yang menghubungkan dua dunia. Kehadirannya membawa harapan baru bagi kota gaib itu. Dengan darah manusia dan Wentira di dalam dirinya, Ardian menjadi simbol harapan untuk menjaga keseimbangan antara dua dunia yang dulu hampir terpecah.
Dan meskipun kini Ardian tinggal di Wentira, cintanya kepada kedua orang tuanya di dunia manusia tetaplah abadi. Ia sesekali kembali untuk mengunjungi Alya dan Arga, membawa cerita dari dunia gaib yang penuh misteri.
Cinta yang lahir di antara dua dunia kini mengalir melalui Ardian, sang penjaga Wentira.
Setelah Ardian kembali ke Wentira, kehidupan keluarganya menjadi lebih berwarna. Meskipun terpisah oleh dua dunia, mereka tetap merasakan kedekatan yang kuat. Ardian menjalani pelatihan sebagai penjaga Wentira, belajar untuk mengendalikan kekuatannya dan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Ia juga merindukan orangtuanya, Alya dan Arga, yang selalu memberinya dukungan meski jarak memisahkan mereka.
Di Wentira, Ardian mengungkapkan kekuatannya dengan luar biasa. Ia mampu menjalin hubungan dengan makhluk-makhluk mistis dan melindungi keseimbangan alam. Namun, setiap kali ia melihat ke arah cakrawala, ingatan akan rumahnya di dunia manusia dan cintanya kepada orang tuanya selalu hadir dalam hatinya.
Sementara itu, Alya dan Arga tidak berhenti mendukung Ardian dari jauh. Mereka sering mengunjungi tempat-tempat yang menjadi kenangan mereka, seperti hutan tempat Ardian sering bermain, dan mengenang momen-momen indah yang pernah mereka lalui sebagai keluarga. Mereka juga berusaha menjaga hubungan dengan Ardian melalui komunikasi magis yang diturunkan dari tradisi Wentira—sebuah cara untuk berbicara meski terpisah oleh jarak.
Suatu ketika, Ardian memutuskan untuk mengajak orangtuanya ke Wentira. Ia merancang sebuah acara spesial untuk memperkenalkan Alya dan Arga kepada komunitas Wentira.
Dengan bantuan makhluk-makhluk mistis, ia menciptakan portal yang membawa Alya dan Arga langsung ke kota gaib itu.
Ketika Alya dan Arga tiba di Wentira, mereka takjub melihat keindahan tempat itu—pegunungan berwarna-warni, sungai yang bersinar, dan flora yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.
Masyarakat Wentira menyambut mereka dengan hangat, mengakui keberanian Alya dan Arga yang telah melahirkan Ardian, sang penjaga baru.
Alya dan Arga akhirnya memahami sepenuhnya bagaimana Ardian menjalani kehidupannya di Wentira. Mereka melihat betapa Ardian dicintai dan dihormati di sana, bagaimana ia melindungi tidak hanya Wentira, tetapi juga jembatan antara dua dunia.
Selama mereka tinggal di Wentira, Alya dan Arga mengalami kebahagiaan yang tak terduga. Mereka berinteraksi dengan penduduk Wentira, belajar tentang budaya dan tradisi yang berakar dalam mistis. Malam hari, mereka sering berkumpul di bawah sinar bulan, mendengarkan cerita-cerita dari nenek moyang Wentira yang penuh dengan keajaiban.
Akhirnya, saatnya tiba bagi Alya dan Arga untuk kembali ke dunia manusia. Namun, dengan pengalaman baru dan ikatan yang lebih kuat dengan Ardian dan Wentira, mereka tahu bahwa mereka selalu bisa kembali ke tempat yang penuh keajaiban itu.
Keluarga ini kini memiliki dua rumah—satu di dunia nyata dan satu di dunia mistis Wentira.
Keduanya menjadi simbol cinta yang tak mengenal batas, yang mampu menghubungkan dua dunia dengan kehangatan, kebahagiaan, dan harapan. Mereka menjalani kehidupan yang harmonis, saling mendukung meski terpisah oleh dimensi, dan membuktikan bahwa cinta dapat melampaui segalanya. (*)
*) Penulis adalah Koordiantor Satupena Sulawesi Tenga