Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tak Dibolehkan Tapi Boleh

January 27, 2025 07:56
IMG-20250127-WA0035

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

Rahajeng Siwaratri……..

HATIPENA.COM – Di bawah langit pendidikan negeri ini, berdiri dua pilar yang saling beradu makna.

Pilar pertama adalah janji suci Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2008, yang lantang menggaungkan bahwa pendidikan adalah hak semua anak bangsa tanpa pungutan, tanpa beban tambahan di pundak siswa dan orangtua. Tak dibolehkan melakukan pungutan, memberikan iuran dan sumbangan dari siswa/walimurid.

Namun, di sisi lain, ada pilar kedua, bernama Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 75 Tahun 2016. Pilar ini memberi peluang kepada komite sekolah untuk mengetuk pintu-pintu orangtua, meminta kontribusi demi “kemajuan pendidikan”. Peraturan di bawah UU ini membolehkan memungut, memberikan sumbangan atau pun iuran dengan menggunakan ‘pintu’ komite sekolah.

Di tengah kedua pilar itu, berdiri masyarakat yang diam, bingung, dan letih bertanya. Apakah janji pendidikan gratis hanyalah bait puisi yang tak pernah selesai?

Atau justru aturan ini memang sengaja menciptakan ruang abu-abu, tempat pemerintah melepas tanggung jawabnya secara perlahan?

Pemerintah berdalih, “Anggaran pendidikan terbatas. Biaya operasional sekolah sering melampaui kemampuan negara.” Maka, komite sekolah menjadi ‘pintu’ dibolehkannya melakukan pungutan.

Tetapi jembatan ini lebih sering terasa seperti jurang, memisahkan mereka yang mampu membayar dan mereka yang terpaksa menundukkan kepala untuk membayar.

Paradoks ini mencuat dengan jelas: pada satu sisi, pendidikan seolah-olah diberikan secara cuma-cuma; pada sisi lain, ada kontribusi yang diatur, meski (konon) tak diwajibkan, tapi si anak terus dimintai untuk membayar uang komite dimaksud.

Bagi orangtua miskin, kata “tidak wajib” menjadi perang batin. Apakah akan diam dan membiarkan anak-anak mereka dipandang berbeda, atau memaksakan diri demi harga diri?

Permendikbud No. 75 Tahun 2016 mencoba memberi jalan keluar dengan menawarkan kata-kata seperti “transparansi” dan “akuntabilitas”. Apakah ini cukup untuk menyelesaikan kegelisahan mereka yang terus merasa diperas, meski dalam kerangka aturan?

Mungkin benar bahwa pendidikan adalah hak, tetapi hak itu kini berbiaya.

Dalam wujud paradoks ini, pendidikan berjalan di atas dua wajah: wajah negara yang seolah peduli, dan wajah komite yang memungut.

Pertanyaan besar pun muncul, “Apakah pendidikan negeri ini sungguh gratis, atau hanya dongeng yang terus berulang dalam setiap pidato?”

Paradoks ini tak hanya tentang aturan yang mendua, tetapi tentang prinsip yang goyah.

Pendidikan, yang seharusnya menjadi jembatan untuk masa depan, kini berubah menjadi jalan berliku, penuh dengan beban yang dipikul oleh mereka yang paling lemah.

Akankah kita terus berjalan di atas paradoks ini, atau akhirnya menyadari bahwa tanggung jawab pendidikan adalah milik negara, bukan komite, bukan masyarakat?

Denpasar, 27 Januari 2025

Berita Terkait

Berita Terbaru