Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mengkritisi Penggusuran Tanah untuk Kepentingan Korporasi

January 27, 2025 15:21
IMG-20250127-WA0109

Bagindo Ishak

Kaba ” Catuih Ambuih”

HATIPENA.COM – Isu pengusuran dan perampasan tanah rakyat untuk kepentingan proyek strategis nasional (PSN), seperti yang sedang hangat dibicarakan dalam kasus PIK 2, menggambarkan betapa kompleks dan meresahkannya ketidakadilan yang terjadi.

Pengusuran yang dilakukan dengan dalih kemajuan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan, namun kenyataannya melibatkan ganti rugi tanah yang tidak layak, pengaplingan tanah rakyat, serta pemagaran laut yang bahkan diterbitkan sertifikat kepemilikan atasnya yang kontroversial, mencerminkan sebuah penyalahgunaan kewenangan yang sangat merugikan masyarakat kecil.

Hal ini bukan semata-mata akibat kekuatan dari pihak yang berniat jahat, tetapi karena banyaknya orang baik yang memilih untuk diam—yang dikenal sebagai “silent majority”. Kesadaran dan kepedulian yang rendah, yang juga dipengaruhi oleh kurangnya pendidikan kritis terhadap kebijakan, makin memperburuk keadaan.

Kebenaran bisa saja disembunyikan atau dibungkam oleh kekuatan politik atau ekonomi yang dominan, namun kebenaran pada akhirnya akan selalu menemukan jalannya. Kita tidak boleh lagi diam dan menerima kebijakan yang tidak adil dan merugikan masyarakat.

Harus ada keberanian untuk mengatakan yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Proyek-proyek strategis yang diwariskan oleh penguasa lama sering kali lebih mengutamakan kepentingan korporasi besar dan segelintir orang yang berkuasa, ketimbang memenuhi keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak menerima begitu saja kebijakan yang semena-mena dan penuh janji palsu. Kesejahteraan yang dijanjikan sering kali jauh dari kenyataan, dan pada akhirnya, rakyat yang sudah miskin justru semakin terpinggirkan.

David Harvey, seorang ahli geografi sosial yang banyak menulis tentang dampak neoliberalisme dalam kebijakan pembangunan, dalam bukunya “A Brief History of Neoliberalism” (2005), menegaskan bahwa kebijakan pembangunan sering digunakan sebagai alat untuk memperkaya segelintir orang dan korporasi besar.

Ia menyatakan, “Neoliberalisme menciptakan ketimpangan yang lebih besar, memperkaya elit dan korporasi sementara mengorbankan hak-hak rakyat.” Kasus PIK 2 adalah contoh nyata dari fenomena ini—di mana proyek yang seharusnya membawa kemakmuran malah merugikan mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara.

Arundhati Roy, dalam bukunya “Field Notes on Democracy” (2009), mengkritik keras bagaimana kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil malah menjadi alat penindasan. Roy berpendapat, “Pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak adalah bentuk kekerasan terhadap hak-hak mereka.”

Dalam konteks ini, kebijakan pengusuran tanah untuk kepentingan PSN tanpa memperhatikan hak rakyat adalah bentuk penindasan yang harus dihentikan.

Martha Nussbaum, seorang ahli filsafat, dalam bukunya “Creating Capabilities: The Human Development Approach” (2011), berbicara tentang pentingnya keadilan sosial yang memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk hidup layak dan berkembang.

Menurut Nussbaum, “Pembangunan tidak bisa hanya dilihat sebagai pembangunan fisik dan ekonomi; ia harus berorientasi pada peningkatan kualitas hidup dan kesempatan yang setara bagi semua orang.” Jika kebijakan pembangunan hanya memperkaya segelintir orang dan mengabaikan kesejahteraan rakyat kecil, maka kebijakan itu harus dipertanyakan.

Paulo Freire, dalam “Pedagogy of the Oppressed” (1970), juga menyatakan bahwa ketidaktahuan yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan adalah salah satu akar masalah ketidakadilan.

Menurut Freire, “Pendidikan harus membangkitkan kesadaran kritis terhadap kondisi sosial, sehingga rakyat mampu melawan penindasan dan memperjuangkan hak-haknya.” Di sinilah peran pendidikan kritis sangat penting, agar masyarakat tidak hanya menjadi objek kebijakan, tetapi juga subjek yang aktif dalam menentukan arah pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

Jadi, kita harus memiliki kesadaran lebih tinggi, bukan hanya untuk menyuarakan kebenaran, tetapi juga untuk berani melawan ketidakadilan. Kebenaran tidak bisa dibungkam, dan kita sebagai masyarakat harus bersama-sama mengkritisi kebijakan yang semena-mena dan tidak berpihak pada keadilan.

Sebagai negara yang mengutamakan ” keadilan sosial”, kita wajib memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan yang diterapkan benar-benar memperhatikan kesejahteraan rakyat, bukan hanya kepentingan segelintir orang atau korporasi besar. (*)

Padang, 26 Januari 2025.

Berita Terkait

Berita Terbaru