Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jateng)
HATIPENA.COM – Di tengah arus globalisasi yang deras, menanamkan nasionalisme pada Gen-Z menjadi tantangan besar. Denny JA, melalui inovasinya, menawarkan cara unik dan efektif membangkitkan semangat kebangsaan lewat puisi esai kepahlawanan. Karyanya, “Mereka yang Mulai Teriak Merdeka”, menjadi medium yang menggugah hati dan jiwa generasi muda.
Puisi esai ini memperkenalkan kembali figur-figur heroik, seperti Dr. Soetomo, Haji Samanhudi, Tirto Adhi Soerjo, HOS Tjokroaminoto, Semaun, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, hingga Ki Hajar Dewantara, dengan gaya naratif yang puitis. Pendekatan ini menghadirkan nilai-nilai patriotisme yang relevan bagi Gen-Z.
Melalui kisah Dr. Soetomo, misalnya, Denny JA menekankan pentingnya pendidikan dan perjuangan melalui organisasi. Nilai ini mengajarkan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang terencana dan berdampak luas.
Sementara itu, sosok Haji Samanhudi menggambarkan semangat ekonomi mandiri. Bagi Gen-Z yang hidup di era startup dan kewirausahaan, ini menjadi inspirasi untuk membangun kemandirian ekonomi tanpa melupakan akar nasionalisme.
Tirto Adhi Soerjo, sang perintis pers nasional, hadir dalam puisi ini sebagai simbol keberanian menyuarakan kebenaran. Hal ini relevan bagi generasi yang tumbuh di era informasi, di mana suara mereka dapat menjadi agen perubahan sosial.
HOS Tjokroaminoto tampil sebagai penggerak massa yang penuh integritas, mengajarkan pentingnya kepemimpinan berbasis moralitas. Pesan ini menanamkan kesadaran bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang berdedikasi untuk kepentingan rakyat.
Adapun Semaun, sebagai tokoh muda revolusioner, menggambarkan semangat anak muda yang tak kenal takut memperjuangkan keadilan. Ini menumbuhkan keberanian pada Gen-Z untuk berdiri melawan ketidakadilan.
Lalu hadir Douwes Dekker, yang dengan visi kebangsaannya menjadi salah satu motor utama gerakan kemerdekaan. Ia mengajarkan bahwa cinta tanah air tidak mengenal sekat ras atau latar belakang. Pesannya mengajarkan generasi muda untuk menilai manusia bukan dari asal-usulnya, melainkan dari kontribusinya.
Tjipto Mangunkusumo, dengan keberaniannya melawan penjajahan, memberikan pelajaran tentang pentingnya memiliki idealisme dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran, walau harus menghadapi risiko besar. Generasi muda diajak untuk memahami bahwa idealisme adalah modal penting untuk menciptakan perubahan.
Ki Hajar Dewantara, sang Bapak Pendidikan Nasional, membawa pesan tentang pentingnya pendidikan sebagai kunci kemajuan bangsa. Prinsip “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” menjadi panduan bagi Gen-Z untuk menjadi teladan, menginspirasi, dan mendukung sesama.
Denny JA tidak hanya menuturkan sejarah, tetapi juga meramu narasi dengan nilai artistik. Puisi esai menjadi jembatan antara sejarah dan kreativitas, menjadikannya lebih mudah diterima oleh generasi muda yang akrab dengan konten visual dan emosional.
Puitisasi tokoh-tokoh sejarah ini mampu menembus hati Gen-Z dengan cara yang sulit dicapai oleh buku sejarah konvensional. Puisi esai menawarkan pengalaman membaca yang lebih emosional, menggugah rasa, dan memantik semangat patriotisme.
Selain itu, Denny JA memahami karakter Gen-Z yang cenderung menyukai media digital. Karyanya sering diadaptasi dalam bentuk video, musikalisasi, atau visualisasi kreatif, membuat pesan kepahlawanan lebih mudah menjangkau audiens muda.
Nilai-nilai kepahlawanan yang diusung dalam puisi esai ini menjadi jawaban atas kebutuhan pendidikan karakter. Gen-Z tak hanya mengenal sejarah, tetapi juga belajar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Puisi esai juga mengajak Gen-Z untuk merefleksikan perjuangan masa lalu dan memproyeksikan masa depan. Mereka diingatkan bahwa kebebasan yang mereka nikmati hari ini adalah buah dari pengorbanan para pahlawan.
Melalui karya seperti “Mereka yang Mulai Teriak Merdeka”, Denny JA menunjukkan bahwa nasionalisme tidak harus diajarkan secara kaku. Seni dan sastra menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kebangsaan.
Selain itu, puisi esai ini mendorong Gen-Z untuk mengeksplorasi sejarah dengan sudut pandang yang lebih personal dan emosional. Mereka tidak hanya membaca, tetapi merasakan perjuangan para pahlawan.
Di era digital ini, nasionalisme sering disalahartikan sebagai sesuatu yang kuno atau tidak relevan. Namun, Denny JA membuktikan bahwa dengan pendekatan kreatif, nilai-nilai kebangsaan tetap dapat hidup dan berkembang.
Puisi esai kepahlawanan adalah bentuk edukasi yang menyenangkan dan menyentuh hati. Gen-Z diajak untuk mencintai Indonesia bukan karena kewajiban, tetapi karena memahami dan merasakan perjuangan para pendahulu.
Karya ini juga mendorong diskusi kritis di kalangan muda. Nilai-nilai yang terkandung dalam puisi esai membuka ruang dialog tentang apa arti nasionalisme di era modern.
Denny JA telah membawa puisi esai ke level yang lebih tinggi, menjadikannya bukan hanya karya seni, tetapi juga medium pendidikan. Melalui pendekatan ini, ia berhasil memadukan sejarah, seni, dan teknologi.
Dengan menghadirkan tokoh-tokoh pahlawan dalam nuansa puitis, “Mereka yang Mulai Teriak Merdeka” mampu menjadi lentera yang menerangi jalan Gen-Z menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang nasionalisme.
Karya ini adalah pengingat bahwa perjuangan belum usai. Semangat Dr. Soetomo, Haji Samanhudi, Tirto Adhi Soerjo, HOS Tjokroaminoto, Semaun, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara harus terus hidup di dalam hati setiap generasi.
Denny JA membuktikan bahwa puisi esai bukan sekadar karya sastra, tetapi juga alat transformasi sosial. Generasi muda dapat belajar, terinspirasi, dan bergerak melalui kisah-kisah yang dihidupkan kembali dalam karya ini.
Puisi esai kepahlawanan adalah wujud cinta tanah air yang relevan di era modern. Melalui karya seperti ini, nasionalisme bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga masa depan. (*)