Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

SMS dari Dek di Kota Mosul

January 28, 2025 11:14
IMG-20250128-WA0058(1)

Cerpen Fanny J. Poyk

HATIPENA.COM – Dari kota Mosul, ia mengirimkan dua kalimat bernada kepedihan. Hanya dua kalimat itu saja. Lalu kabar yang dikirimkan melalui SMS tak lagi muncul. Biasanya tidak demikian, paling tidak sehari bisa dua kali ia mengirim berita apa saja lewat jalur telepon selulernya, kadang juga melalui WhatsApp. Dan berita darinya sungguh menghibur hatinya, hati seorang perempuan tua berusia enam puluh tahun. Hati yang gundah tatkala diam-diam sang putera menyatakan hendak bergabung dengan Islamiq State of Iraq and Syria (ISIS). Dua kalimat bernada kepedihan itulah yang kini membuatnya masgul, merenung di sudut kamarnya yang muram, bertanya pada angin malam dengan desis tanpa daya, “Mengapa kau mau ke sana, Nak?”

Janda beranak satu, penjual sayur di pasar tradisional di sebuah pasar kaget yang diadakan setiap Rabu di desanya ini, bangga sekali pada anak lelakinya yang selalu ia panggil Dek, sebenarnya nama putera satu-satunya itu cukup bagus, Pendekar Kebajikan. Nama itu diberikan suaminya ketika kandungannya berusia lima bulan dan beberapa bulan sebelum sang putra lulus SMA, suaminya yang berprofesi nelayan perahu ketinting, dikabarkan hilang ditelan ombak pasang lautan Pasifik. Mayatnya sampai sekarang tak pernah ditemukan.

“Paino sedang tertidur ketika ombak besar menggulung perahunya. Kami berteriak untuk mengingatkan, tapi dia tidak mendengar. Ketika gulungan ombak hampir setinggi pohon kelapa datang, perahunya ikut masuk dalam gulungan ombak itu, dan suamimu tidak muncul-muncul lagi,” begitu lapor Marjano, teman sesama nelayan dari desa yang sama yang selamat ketika ombak besar menelan perahu ketinting mereka.

Perempuan beranak satu ini menatap nanar ke arah laut. Hatinya retak, bagai retaknya tanah yang tertimpa kemarau panjang. Sejak suaminya tak kembali, ia merasa separuh sayapnya hilang, sang suami yang punya cita-cita untuk membiayai pendidikan anaknya hingga ke jenjang yang lebih tinggi, kini entah ke mana, apakah benar ia sudah mati ditelan ombak lautan Pasifik, atau terdampar di pulau tanpa nama? Memikirkan hal itu, benar-benar membuatnya nelangsa. Lalu, tatkala sang putera lulus Sekolah Menengah Atas, perempuan berusia enam puluh tahun ini hanya bisa berkata dengan suara halus dan datar padanya, “Ayahmu sudah tak ada, Ibu tak sanggup membiayai pendidikanmu ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Kau cari kerjalah Nak, agar bisa membayar sendiri biaya kuliahmu. Penghasilan Ibu hanya cukup untuk makan kita sehari-hari.”

Sang putera tertunduk diam. Itulah terakhir kali ia terlihat bersedih. Hari-hari selanjutnya, ia tampak sibuk. Ibunya melihat sang anak mulai ceria dan aktif mengunjungi warung internet di dekat rumah mereka, dan satu-satunya warung internet yang ada di desa itu. Tanya ibunya, “Dek, apakah kau sudah memperoleh pekerjaan?”

“Sudah, Bu. Aku melamar menjadi tenaga medis di Syria, tepatnya di kota Mosul. Mereka sedang berperang dan aku akan menjadi perawat untuk menolong para korban perang. Meski aku bukan lulusan sekolah perawat, tak apa-apa, katanya di sana akan diberi pelatihan,” Sahut putranya.

“Di manakah letaknya negeri itu?”

“Jauh, Bu. Tapi Ibu tenang saja, katanya gajiku besar dan aku bisa menabung untuk biaya kuliah nanti, juga membantu Ibu untuk modal jualan.”

Mata perempuan tua itu berkaca-kaca. Terlebih lagi tatkala putranya meyakinkannya bahwa ia dinyatakan lolos seleksi dan bisa berangkat di minggu ke dua bulan berikutnya. Semua urusan, termasuk paspor, visa, uang saku, tiket, uang makan dan hotel langsung dikirim ke rekening yang baru dibuat sang putra, dan ibunya merasakan apa yang mereka dapatkan adalah karunia Sang Maha Kuasa yang tiada tara.

“Alhamdullilah, Tuhan sangat baik kepadamu, Nak.” Kata perempuan itu dengan air mata mengambang di pipi. Ia melepaskan putranya hingga ke terminal terdekat, satu-satunya terminal yang ada di desanya, dari sana sang putra akan naik kapal ferry, menyeberang ke Ibu Kota Provinsi, lalu ia akan terbang ke Jakarta, di Ibu Kota, seseorang bernama Amir akan menjemputnya. Sang ibu yakin kalau putranya akan dijemput oleh orang yang tepat. Tepat membawanya ke negeri mimpi dengan limpahan uang yang akan dikirim putranya bulan demi bulan.

Mengapa SMS ini bernada kepedihan? Tanya perempuan itu sambil menatap layar Handphonenya yang bertipe sedang. Ia memang hanya mampu membeli Hp dengan model seperti itu, yang penting bisa SMS dan melihat foto-foto yang dikirim sang putra, itu cukup sudah. Di layar Hp-nya tertulis, “Pekerjaan yang kuterima ternyata berbeda, Bu. Aku ingin pulang, tapi sulit sekali. Sekarang aku ada di Aleppo, Ibu tahu, kota ini merupakan kota terbesar di Suriah, dulu penduduknya cukup padat, tapi setelah perang banyak yang mengungsi ke luar. Ini kota kuno Bu, sebelum perang kota ini penghasil tembaga dan marmer dengan kualitas bagus. Dulunya dia bernama Halb yang artinya besi, kota ini pernah diperintah oleh Dinasti Utsmaniyah. Tapi sekarang, ah Ibu, aku menyesal datang ke sini. Pemandangannya sungguh mengerikan, aku tidak sanggup menceritakannya pada Ibu. Aku ingin pulang Ibu…” Tak ada foto yang dikirimkan putranya. Jika ada pasti hatinya agak terhibur karena rasa gundahnya terjawabkan. Ia sangat rindu pada putra satu-satunya itu.

Di tengah kebingungannya, perempuan dengan kerut wajah yang tidak sesuai dengan usianya itu, mencoba mencari tahu tentang kota dan tempat yang dituju anaknya. Ia buta sekali dengan pesan tersembunyi dari SMS itu.

“Mengapa kau ijinkan anakmu pergi ke sana?” ujar Wak Dusan adiknya yang menjadi guru agama Sekolah Dasar Negeri di pusat kota. “Kau tahu itu negara yang sedang berperang, negara itu dikuasai oleh para penjahat perang, orang-orangnya suka membunuh. Duh, harusnya kau bilang padaku sebelum dia berangkat.”

“Dia melarang aku memberitahukan keberangkatannya pada siapa pun, Dus. Katanya, jika dia sudah mengirimkan aku uang yang banyak, baru kabarkan berita gembira itu pada para saudara. Tulisnya lagi, sekarang dia sedang dilatih menembak, dan setiap hari diharuskan memanggul senjata. Aku bingung, kan dia melamar untuk bekerja di bagian kesehatan, membantu para korban perang, mengapa sekarang harus berlatih menembak? Apa dia juga dilatih untuk membunuh orang?” Mata perempuan tua itu menatap tajam wajah adiknya tanpa kedip.

“Mana nomor Hpnya, biar kutelpon dia,” ucap adiknya.

Tak ada jawaban ketika telepon seluler itu dihubungkan ke nomor Hp putranya. Sang paman kembali menelpon. Ia menunggu cukup lama, sekitar lima belas menit baru telepon genggam itu diangkat. “Siapa ini?” tanya suara dari seberang.

“Aku Pamanmu, Wak Dusan. Bagaimana keadaanmu, Dek?”

Terdengar dengusan nafas terengah-engah. “Paman, aku sedang berjalan cepat, aku mau ke kamp pengungsian, dekat Suriah dan Irak, namanya desa Rajm al-Salibeh.”

“Untuk apa kamu ke sana, Nak? Kamu mau menolong orang-orang yang sakit?” tanya ibunya ketika mendengar suara anaknya dari Handphone yang volumenya dibesarkan.

“Aduh Ibu, aku mau mengungsi, di sini tak aman, bom bunuh diri, peluru berterbangan di sana-sini, juga tembakan dari udara datang beruntun, mereka yang menembak itu tidak tahu yang mana musuh dan bukan musuh. Aku harus selamat, aku ingin pulang, Bu. Doakan anakmu selamat yaaa…” Lalu suara Hp terhenti dan Dek tak bisa dihubungi lagi.

Perempuan tua itu diam di tempat. Kakinya gemetar. Tangannya kanannya segera memegang pergelangan tangan adiknya. Lalu sambil menangis ia berkata, “Jadi dia bekerja bukan untuk menolong orang sakit, dia …dia pergi berperang, mengapa dia pergi jauh hanya untuk memusnahkan nyawa orang dan nyawanya sendiri, mengapa?”

“Mungkin awalnya dia mau membantu orang sakit atau korban perang, Kak. Jadi, ketika kenyataannya pekerjaan di sana berbeda, mau bilang apa. Kita doakan saja semoga Dek kembali dengan selamat.”

Inilah kisah Dek sesudah ia mengirim SMS terakhir ke ibunya. Sebelum berhasil lolos dari sekapan musuh republik, Dek yang merasa tertipu dengan iming-iming gaji jutaan rupiah sebagai tenaga paramedis yang ada di internet, merasa hidupnya sudah di ujung tanduk, terlebih lagi ketika ia dipaksa untuk ikut dalam latihan militer di kamp persembunyian tentara pmberontak yang sulit dideteksi musuh di kota Mosul. Ia merasa beruntung tatkala ada serangan dari Tentara Irak ke kota itu.

Ketika rudal mereka menghantam kantong-kantong persembunyian musuh, Dek yang sedang latihan menembak, spontan berlari, ke luar dari daerah itu lalu bergabung dengan para pengungsi yang tengah menuju ke perbatasan Suriah dengan Irak. Ia sempat ditangkap tentara Irak, namun seorang ibu yang berhutang budi karena sudah dibantu membawakan barang-barang bawaannya saat mengungsi, membela dia dan mengatakan bahwa dirinya diperbantukan untuk menolong orang-orang yang sakit dari Palang Merah Internasional.

Keberuntungan terkadang datang tidak memihak, artinya ia bisa tiba di saat yang kurang tepat. Dek mengalaminya. Ia terguncang tatkala melihat beberapa orang anak dan seorang ibu hamil mati oleh serangan udara yang entah berasal dari tentara pemberontak atau Tentara Irak. “Aku tidak berani menggambarkannya pada Ibu. Aku sungguh tertekan. Rasanya seperti berada di sebuah lokasi syuting film perang. Tapi kali ini benar-benar nyata, Bu. Ibu, aku tak akan ke mana-mana lagi setibanya di rumah nanti. Biar aku menjadi pengepul kopra dan membantu Ibu berjualan di pasar saja. Dalam hidup ini, kita tokh hanya butuh makan dan minum secukupnya. Sungguh Bu, aku hanya ingin berada di dekat Ibu…”

SMS tersebut masih di simpan perempuan tua berusia enam puluh tahun itu di Hp-nya. Sudah hampir satu tahun ia menyimpannya, Dek sang anak belum juga kembali, matanya selalu memandang ke luar pintu rumah, menanti Dek berdiri sambil berkata, “Ibu aku kembali!” Tamat

Depok Juli 2017

*) Cerpen ini pernah dimuat di koran Pikiran Rakyat, Bandung

Tentang saya :

Nama Lengkap : Fanny Jonathans Poyk, nama pena Fanny J.Poyk, aktif menulis sejak tahun 1973-an di berbagai majalah dan suratkabar. Cerpen-cerpennya dimuat di suratkabar Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Karya, Jurnal Nasional, Surabaya Post, Bali Post, Jawa Pos, Kompas, Tribun Jabar, Timor Ekspres, Harian Ekspres (Malayasia), Dalang Publishing (Amerika), Daily News Malaysia, dll, salah satu cerpennya terpilih dalam 20 Cerpen pilihan Kompas. Fanny juga menulis biografi, puisi, esei, artikel, cerita anak, novel, buku motivasi, editor dll.