Wawan Susetya*)
HATIPENA.COM – Merupakan suatu kelaziman sejak zaman dahulu kalau orang ingin mendapatkan suatu anugerah dari Tuhan itu biasanya dibarengi dengan suatu tirakat (ekspresi keprihatinan). Tentu bentuk keprihatinan itu bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing.
Barangkali bentuk keprihatinan itu ada yang dengan berpuasa atau setidaknya mengurangi makan dan minum, ada yang melakukan shalat malam dengan khusyuk, bahkan ada yang melakukan ziarah kubur ke makam-makam kramat atau makamnya para wali (kekasih Allah), menyepi di tempat yang sepi dan sebagainya.
Dalam konteks ini sebenarnya tirakat (ekspresi keprihatinan) itu merupakan sunatullah atau hukum alam yang bersifat wajar dalam kehidupan. Ada kalanya ekspresi keprihatinan itu dilakukan dengan ikut berperang seperti yang pernah dilakukan oleh pemuda Daud ketika membantu Raja Thalut saat berperang menghadapi Raja Jalut beserta tentaranya.
Ujian pun mendera kepada para pengikut Raja Thalut yang merasa kehausan saat berada di tengah padang pasir. Tiba-tiba di tengah perjalanan itu mereka melihat ada sumber air yang sangat menggiurkan bagi orang yang kehausan.
Sesungguhnya itu merupakan ujian dari Allah. Barangsiapa yang minum air itu secara berlebihan, niscaya mereka akan merasa kelelahan. Dalam hal ini Raja Thalut beserta orang-orang yang beriman termasuk pemuda Daudhanya minum air sekadarnya saja. Dan, itulah salah satu bentuk tirakat yang dilakukan oleh mereka sebelum berperang menghadapi Raja Jalut beserta bala tentaranya.
Dalam peperangan itu, meski hanya berbekal ketepel sebuah senjata yang sangat sederhana tetapi pemuda Daud akhirnya berhasil menghabisi musuhnya, Raja Jalut. Demikian halnya tentara yang dipimpin Raja Thalut berhasil mengalahkan manusia-manusia raksasa anak buah Raja Jalut yang lalim.
Atas prestasi gilang-gemilang itu serta lantaran tirakat yang telah dilakukannya, pemuda Daud kemudian mendapatkan suatu anugerah dari Allah Swt yang luar biasa, yakni;
Pertama, Allah Swt menganugerahkan kepada Daud berupa Kitab Zabur sebagai pertanda pengangkatan sebagai utusan-Nya.
Kedua, Raja Thalut menganugerahkan separuh kerajaannya kepada pemuda Daud sebagai balasan karena telah berhasil mengalahkan Raja Jalut.
Ketiga, Raja Thalut juga menikahkan putrinya dengan pemuda Daud.
Kisah pemuda Daud hingga mendapatkan beberapa anugerah seperti itu nampaknya ada kemiripannya dengan kisah pemuda Raden Kakrasana, putra Prabu Basudewa Raja Mandura. Sekali lagi, anugerah itu ndilalah munculnya setelah melakukan suatu tirakat (ekspresi keprihatinan).
Apalagi ia (Raden Kakrasana) beserta dua adiknya Raden Narayana dan Dewi Lara Ireng sejak kecil telah dititipkan oleh ayahandanya kepada Ki Segopa dan Nyai Segopi di Padepokan Widara Kandhang karena keadaan di Negara Mandura tidak aman.
Ketika Dewi Erawati, putri Prabu Salya (Raja Mandaraka) hilang diculik orang tak bertanggung jawab, pada saat yang bersamaan pemuda Kakrasena tengah menjalani semadi (tapa brata) di tengah hutan. Atas hilangnya Dewi Erawati tersebut, maka Prabu Salya mengadakan suatu sayembara; barangsiapa yang bisa menemukan putrinya Dewi Erawati, maka dia akan dinikahkan dengan putrinya.
Ketika Prabu Salya mengumumkan sayembara itu, kebetulan Raden Arjuna sedang berada di Negara Mandaraka. Setelah itu ia (Raden Arjuna) mohon izin hendak membantu mencari familinya, Dewi Erawati yang hilang.
Dalam perjalanannya, Raden Arjuna bertemu dengan saudara sepupunya Raden Kakrasana yang baru saja selesai menjalani tapa brata. Arjuna pun menceritakan hilangnya Dewi Erawati.
Kakrasana yang baru saja bertapa seperti memiliki suatu firasat bahwa si penculik nanti malam akan kembali lagi ke taman kaputren Mandaraka. Maka Kakrasana dan Arjuna tidak perlu mencari jauh-jauh karena si penculiknya diduga akan kembali lagi ke Mandaraka.
Dugaan Raden Kakrasana benar. Si penculik yang ternyata bernama Kartapiyaga dari Negara Tirta Kadhasar itu malam harinya kembali lagi ke taman kaputren. Rencananya ia hendak menculik saudara atau adik-adik Dewi Erawati yaitu Dewi Surtikanthi dan Dewi Banowati.
Hal itu merupakan suatu siasat strategi Dewi Erawati yang dikatakan kepada si penculik bahwa ia mau dinikahi Kartapiyaga asalkan dua adiknya, yaitu Dewi Surtikanthi dan Dewi Banowatijuga dinikahi sekaligus. Permintaan Dewi Erawati pun disanggupi oleh Kartapiyaga.
Dasar bodoh! Padahal itu hanyalah suatu siasat Dewi Erawati bahwa nanti malam Ramandanya (Prabu Salya) pasti akan melakukan penjagaan ketat di taman kaputren setelah peristiwa penculikan terhadap dirinya.
Ibarat kutuk marani sunduk (ikan kutuk mendekati sunduk; artinya sengaja melawan bahaya), begitu Kartapiyaga menginjakkan kakinya ke taman kaputren Mandaraka, ia menjadi sasaran empuk bagi Raden Kakrasana dan Raden Arjuna yang sudah menunggunya. Kartapiyaga lari ke negaranya (Tirta Kadhasar) dan mengadu kepada ayahnya Prabu Kurandha Geni.
Tak ayal, orang tua yang ikut-ikutan membantu anaknya yang salah itu menjadi korban juga. Raden Kartapiyaga dan Prabu Kurandhageni tewas di tangan Kakrasana dan Arjuna. Keduanya kembali dengan memboyong Dewi Erawati.
Pasca peristiwa itu, yakni bertapanya Kakrasana dan lelabuhan (pengabdian) menemukan kembali Dewi Erawati, maka beberapa anugerah besar telah menunggunya, yakni;
Pertama, Bathara Guru memberikan anugerah berupa busana kanarendran (busana raja) kepada Raden Kakrasana sebagai isyarat bahwa ia sudah pantas menjadi raja.
Kedua, Raden Kakrasana mendapatkan tahta Negara Mandura mewarisi ayahandanya Prabu Basudewa.
Ketiga, Raden Kakrasana dinikahkan dengan Dewi Erawati, putri Prabu Salya.
Keempat, Raden Kakrasana juga mendapatkan anugerah berupa Sanjata Nanggala yang ampuhnya kagila-gila (sangat dahsyat), ibaratnya diarahkan ke gunung jugruk, diarahkan ke samudera asat (mengering), diarahkan ke tanah bengkah, dan sebagainya.
Yang jelas, semua anugerah yang diterima Raden Kakrasana itu didahului dengan suatu tirakat (ekspresi keprihatinan) terlebih dahulu. Mirip dengan kisah dan perjuangan pemuda Daud hingga memperoleh beberapa anugerah dari Allah yang luar biasa seperti di atas.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw pun sebelum diangkat menjadi Rasul dan Nabi Allah juga melakukan tahanuts (berdiam diri atau bertapa) di Gua Hira dalam kurun waktu yang sangat lama. Para raja dan sultan di Jawa pun juga demikian. Sebut saja Jaka Tingkir ketika menjalani tirakat (bertapa di dekat sungai), ia mendapatkan wahyu keprabon hingga akhirnya dinobatkan menjadi Raja Jawa di Kasultanan Pajang dengan bergelar Sultan Hadiwijaya.
Juga Raden Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan yang kemudian diambil anak angkat Sultan Hadiwijaya, setelah menjalani tapa brata, ia kemudian menjadi Sultan di Kasultanan Mataram dengan bergelar Panembahan Senapati Ing Ngalaga.
Sayang sekarang ini ingatan mengenai tapa brata atau katakanlah tirakat (ekspresi keprihatinan) jarang terdengar menjelang pergantian kepemimpinan di negara kita. Yang sering terdengar justru kumpul-kumpul bersama TS (tim sukses) dengan menikmati hidangan makanan yang penuh kenikmatan. Bila calon pemimpin zaman dulu dibarengi dengan tirakat termasuk mengurangi makan, tapi zaman sekarang menu hidangan harus menjadi andalan utama. (*)
*) Penulis adalah Sastrawan-budayawan dan penulis buku, tinggal di Tulungagung Jawa Timur.