Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Cinta yang Tak Sampai, Duka yang Abadi

January 31, 2025 06:48
IMG_20250131_064111

Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jateng

HATIPENA.COM – Januari 2025, seorang perempuan berinisial UK ditemukan tewas dimutilasi dalam sebuah koper merah di Ngawi, Jawa Timur. Polisi telah menangkap pelaku berinisial RTH alias A yang terancam hukuman mati. [1]

Di bawah rembulan yang sendu, tergeletak koper merah bisu.
Di antara rimbun ilalang yang tak tahu malu, menyimpan rahasia tubuh yang membeku.

Dia dulu perempuan yang dicinta, dipeluk oleh harapan, dirayu oleh kata.
Matanya lautan yang tenang, tangannya lembut, hatinya lapang.

Lalu datang ia, lelaki berjanji setia, menenun rindu dengan untaian kata.
Namun cinta kadang ilusi belaka, menjelma belati yang menusuk dada.

Mereka bertemu di suatu senja, di kota yang syahdu dalam pelukan cahaya.
Ia menatapnya, penuh harapan, dengan mimpi yang disulam kesabaran.

“Jangan tinggalkan aku,” kata perempuan itu, lirih penuh pilu.
“Kita bersama, selamanya,” jawabnya, dengan senyum yang meyakinkan jiwa.

Tapi apakah cinta selalu berakhir bahagia?
Ataukah ia seperti bunga, mekar sejenak, lalu gugur dalam dera?

Hari berganti, janji pun rapuh, perdebatan menjadi serupa api membara.
Cinta yang dulu indah, kini hanya duri yang menyiksa.

Langkahnya gontai di lorong kota, hatinya dihantui bayang-bayang cinta.
Perempuan itu tak pernah menyangka, lelaki yang ia sanjung menjadi neraka.

Di malam yang dingin, genggaman yang dulu lembut berubah kasar.
Di sudut kamar, air mata jatuh dalam bisu yang tak terbaca.

“Kau milikku, dan hanya milikku!” Teriak lelaki itu, matanya merah menyala.
Perempuan itu berusaha bicara, tapi suara lenyap di cekikan cinta buta.

Pagi menyapa dengan pertanyaan, seonggok koper merah di jalanan.
Terbuka perlahan, dunia terdiam, perempuan itu telah hilang dalam kejam.

Matahari bersaksi dalam luka, bahwa cinta bisa berubah menjadi dusta.
Koper merah itu bukan sekadar benda, melainkan saksi bisu sebuah derita.

Tak ada lagi janji, tak ada lagi senja berdua.
Hanya tangis yang bersembunyi, di balik nisan tanpa nama.

Jika malam ini kau masih di sini, kita akan berjalan di bawah gemintang.
Bercerita tentang hari-hari esok, menyulam impian dalam genggaman tangan.

Tapi kau telah pergi, dengan cara yang tak kuduga.
Meninggalkan jejak yang tak akan hilang, menjadi puisi dalam kesedihan, menjadi kisah yang akan dikenang.

Semoga cinta tak lagi berakhir begini, semoga rindu tak menjelma tragedi.
Karena cinta seharusnya hidup, bukan mati di dalam koper sunyi. (*)

Rumah Kayu Cepu, 30 Januari 2025

Catatan:
[1] Puisi esai ini diinspirasi dari kisah nyata seorang perempuan yang ditemukan tewas dimutilasi dalam sebuah koper merah di Ngawi.