Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Penjarakan Si Mantan Kejam

January 31, 2025 17:18
IMG-20250131-WA0078

Pipiet Senja

Cahaya di Langit Qatar (3)

HATIPENA.COM – Tahu-tahu tubuh kekar itu sudah mencelat, terlempar keluar ruangan tamu. Lelaki itu menggelundung ke bawah, terlempar dari pekarangan mereka yang landai menuju tembok perumahan yang membatasi rumahnya dengan kompleks real estate.

“Kita pergi dari rumah ini, Mama!” ajak Jay sambil kuat-kuat menutup pintu rumah, kemudian menguncinya dari dalam.

Lia menghela tangan ibunya, memaksanya masuk kamar.
“Sepertinya sudah saatnya kita cari tempat lain,” gumamnya terdengar parau.

Kali ini, Saribanon membiarkan kedua buah hati mengurus segala sesuatunya. Ia mulai merasa lelah dengan ketakberdayaannya sendiri.

Anak-anak sudah dewasa. Mereka sudah bisa diandalkan, menjadi benteng pertahanan hidupnya.

Gedung Pengadilan Agama masih berdiri megah. Namun, ada yang telah rubuh jauh di lubuk hati terdalam seorang perempuan.
Mengapa dia masih juga ingin menyerangku, desis Saribanon.

Ya, lelaki itu memang telah menyerangnya. Kali ini di depan umum, di depan perempuan muda yang telah mengikis habis rasa kemanusiaannya.

Seperti serangan-serangan sebelumnya yang tidak terduga, kali ini pun Saribanon tak sempat mengelak.
“Dasar perempuan tua! Jelek! Tak berguna, cuiiih!”

Lelaki itu melangkahi tubuh Saribanon yang terjajar di lantai, meludah dan nyaris mengenai wajahnya. Kalau saja Ros tidak sigap menarik kakaknya, niscaya ludah busuk itu akan menyembur ke wajah kakaknya.
“Awas, tunggu pembalasan kami, durjana!” teriak Ros berang sekali.

Jika memperturutkan nafsu, ingin saja dia pun mengikuti jejak kakaknya tersayang. Mungkin melemparkan bangku ke punggungnya, biar remuk dan hancur sekalian!

Saribanon membalikkan tubuhnya bermaksud menghalangi adiknya, agar mereka menghentikan bujukan para setan dari dasar neraka, mengumbar angkara.

Namun, tiba-tiba terasa ada yang menghantam kepalanya, keras, keras sekali. Saribanon merasakan dunia begitu gelap.

Dua Satpam datang sangat terlambat, niatan melerai tidak tersampaikan. Mereka bukannya menahan pasangan itu, sebaliknya malah menggiring Saribanon dan Ros ke Pos Satpam.

“Sekalian saja, saya akan melaporkan tindak kekerasan yang sudah dilakukan si jahanam itu,” desis Ros sudah tak tahan lagi.

“Mari, bapak-bapak, antar kami ke Polsek dan ke dokter, dibuatkan visumnya. Lihatlah, tangan kakak saya sampai biru begini, tulangnya pasti retak!”

Hari itu juga polisi segera menangkap si jahim dan karena bukti serta saksi-saksi menguatkan, dia langsung dijebloskan ke balik penjara.

Tuduhan yang dijatuhkan sangat mengerikan.
”Penganiayaan, perampokan mobil dan pengambil-alihan kepemilikan dua rumah.”

“Vonis sudah dijatuhkan, Teteh. Dia akan meringkuk di penjara selama tujuh tahun,” lapor Ros dalam nada puas.
Saribanon melengos, memejamkan matanya.

Seketika melembayanglah dua anak serta dua cucu tersayang.
Sulung, Jay, demikian dia memanggilnya, sudah tak mau ambil pusing dengan segala kebijaksanaan, tingkah-polah ibu dan bapaknya.

Adiknya, Lia, pernah menyesalkan tindakannya, dan memilih tetap menyayangi ayahnya.

“Mama sudah kelewat batas! Biar bagaimanapun dia itu ayah kandung Lia, Ma. Memang betul, waktu kecil dia suka menganiaya kita. Tapi beberapa tahun terakhir, kita tahu persis, dia sudah banyak berubah. Lagipula, dulu sering KDRT itu kan memang karena sakit, Ma. Dokter bilang skizoprenia.”

“Berubah, tapi dengan maksud tertentu!” bantah Saribanon, geram, tak paham dengan pilihan putrinya.
Mengapa dia lebih membela ayahnya daripada dirinya?

“Dia hanya mau beristri lagi, sementara Mama tak sudi dipoligami. Ya, sudah, cerai saja, itu kesepakatan kita. Karena dia tidak mau cerai, Mama yang gugat. Habis perkara! Mengapa harus sekejam itu, Mama?”

Gugatnya suatu malam, sengaja menyambanginya ke rumah yang tak pernah diinjak anak-anak dan cucunya lagi, sejak ia menjebloskan lelaki itu ke penjara.

Ya, dia memang hanya mau beristri lagi, tetapi bersikeras tak ingin menceraikan dirinya. Perempuan mana yang tahan dipoligami, bahkan sebelumnya pun tanpa pernah dinafakahi, dan selalu dilecehkan dengan kalimat-kalimat melukai.

“Tak ada cinta, tak ada rasa lagi!”
“Kamu sudah tua, tak berguna!”

“Jangan dengarkan, sudah, cukup, cukup sampai di sini, Mama. Lupakan dan buang tali kebencian itu. Jangan sia-siakan sisa hidupmu dengan dendam kesumat. Semuanya permainan iblis dari dasar neraka, Mama,” itulah wejangan putrinya yang terakhir, sebelum dia memutuskan menikah dengan mualaf bule dan diboyong ke Australia.

Mama kangen, anakku, demi Allah!
Mama kangen Jay, Lia dan cucu-cucuku, jeritnya kini mengawang langit.

Jeritan hatinya kali ini seakan menggelontorkan seluruh lautan kebencian, dendam dan segala penyakit hati yang menyesatkan.

Dan dia tersentak dari tidur panjang yang melenakan itu.

“Ros!” teriaknya memanggil sang adik yang sangat terkejut.
“Ya, ya, Teteh, ada apa? Adikmu selalu di sini.”
“Apa yang terjadi?”
“Teteh demam sejak pulang dari pengadilan Agama kemarin. Semalaman Teteh terus-menerus mengigau.”

“Aku…, mengigau ya….” Suaranya mengambang.
“Iya, Teteh. Duh, sehatlah, Teteh, kuat, ya,” terdengar ratapan adiknya yang menyayat hati.

“Aku tidak mengerti,” gumam Saribanon nyaris tak terdengar.
”Teteh mau apa? Minum?”
“Tidak, adikku, Ros sayang. Bukan itu karakterku. Bukan di sini pula rumahku,” ujarnya dan perlahan membuka matanya.

Tampaklah Rosi duduk bersimpuh di sebelahnya, di samping kasur, tempatnya berbaring.
“Ada apa, Teteh?”

Saribanon berusaha bangkit, duduk, disangga oleh tubuh adiknya yang mengusap-usap wajahnya sepenuh sayang.

Di Ibukota ini, mereka memang hanya berdua saja, tanpa sanak-saudara. Lima saudara mereka tinggal berjauhan.

“Terima kasih, Ros,” ujar Saribanon sesaat meminum habis air bening yang disodorkan adiknya.
“Bagaimana kondisimu? Sudah enakan? Kata dokter yang kupanggil tadi malam, Teteh hanya kelelahan dan syok. Kita tidak akan pernah mengira bapaknya Lia akan sekejam itu memperlakukan dirimu,” jelas Ros.

Saribanon menatap wajah adiknya lekat-lekat.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Begitu kurasakan ada yang menghantam kepalaku dari belakang, aku tak ingat apapun.”

“Teteh pingsan dan kami, aku dibantu seorang petugas Pengadilan Agama mengangkutmu ke rumah ini.”
“Ini rumah siapa?”
“Rumah Mas Harji, petugas itu. Sekarang dia sudah berangkat kerja….”
“Anak-anak bagaimana?”

“Jay dan Lia marah besar. Apalagi Lia, namanya juga seorang pengacara.”
“Apa maksudmu?”
“Sepertinya dia akan memperkarakan bapaknya dan pasangan cintanya itu. Perempuan itu yang sudah menghantam kepalamu dengan payung, sekuat-kuatnya. Aduh, dasar iblis….”

“Pssst, sudahlah!” tukas Saribanon. “Jangan biarkan anak-anak menjadi durhaka, Ros. Tolong, cepat telepon mereka,” pintanya gemetar.

“Terlambat, tadi sebelum Teteh siuman, Lia mengabarkan, sebenarnya sudah membebaskan bapaknya dari penjara. Tapi karena bukti dan saksi-saksi yang melihat kejadian di ruang sidang itu, tetap saja, dia memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dua-duanya!”

Saribanon mengangguk lemah, tapi masih mencecarnya.

”Bagaimana, sudah dapatkah tempat tinggal untuk kita?”
“Ya, Teteh. Sudah kuatkah kalau kita jalan sekarang?”
Saribanon kini menjawab dengan penuh semangat.

”Ya, aku harus sehat dan kuat. Meskipun sepanjang hidup penyakitan, jantung bermasalah dan leverku error. Harus semangat dan terus berjuang. Ayo, berangkat!”

Beberapa saat kemudian sampailah mereka di sebuah panti lansia di kawasan Puncak.

Ya, inilah rumah lansia yang dibangun di atas tanah wakaf seorang pengusaha perempuan.

Dananya terhimpun dari para donatur, simpatisan serta klub pembaca Saribanon Ayuningtyas. Terutama sebagian besar didanai oleh Dewi Indisari.

Saribanon memasuki ruangan yang diperuntukkan bagi dirinya, bekerja, berkarya dan mengabdi dalam mengisi sisa-sisa hayatnya.

Rosi menguakkan tirai jendela dan menjelaskan kepada kakaknya, bahwa sebentar lagi akan datang rombongan lansia.

“Baiklah, akhirnya kita punya tempat tinggal sendiri, Teteh,” ujar Ros yang segera diiyakan oleh kakaknya.
“Ini rumah cinta kita, ya….”
“Pernyataannya harus lebih berkarakterlah, Teteh,” pinta Ros mencoba bergurau.

“Pernyataan berkarakter, ada-ada saja.” Saribanon mulai tersenyum lembut.”Hmm, semoga anak-anak mendukung….”

“Jay dan Lia tidak akan memaksakan kehendak mereka lagi. Anak-anak yang baik akan selalu mendukung pilihan ibu mereka.”

Beberapa jenak tak ada yang bicara lagi. Kedua perempuan itu, kakak-adik yang masih tersisa dan selalu terikat persaudaraan, kini statusnya sama dan sebangun.

“Jadi, kita sekarang sungguh jomblo, ya Ros?” tiba-tiba ia berkata.
“Iya, jomblo, eeeeh, jaher….”
“Jaher, apa itu?”
“Janda herang alias janda kinclong.”
“Masya Allah!” Saribanon tertawa.
Ros menatap wajah kakaknya lekat-lekat.

“Sudah hilang semua galaumu, Teteh.”
“Aku tak pernah galau,” sanggah Saribanon.
“Tentu saja, Teteh sudah berhasil melawan. Tak ada galau lagi, ya Teteh sayang,” kata Ros menyetujui. (*)
Bersambung