Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Hidup: Sebuah Orkestra Kekacauan

January 31, 2025 19:24
IMG-20250131-WA0101

Oleh: Rizal Tanjung

Dostoevsky menggumam dalam lenguh malam,
“Ini neraka,” bisiknya, sedingin kelam.
Jalan bersalju penuh tapak luka,
Seakan Tuhan sibuk, lupa menghakimi mereka.

Socrates tertawa dalam pahitnya racun,
“Ini ujian,” katanya, tanpa ragu, tanpa ampun.
Namun dunia hanya percaya pedang dan angka,
Lalu bijak bestari dihukum dengan dusta.

Aristoteles mencatat di atas batu,
“Ini pikiran,” katanya, menatap cakrawala yang bisu.
Tapi bukankah akal hanya tali kusut belaka?
Menjerat manusia, menguliti rasa, memuliakan dusta?

Nietzsche berdiri di reruntuhan kota,
“Ini kekuatan,” katanya, menatap langit tanpa sapa.
Namun dewa-dewa mati, raja-raja jatuh,
Siapa yang tersisa, kecuali debu yang utuh?

Freud tersenyum dalam mimpi yang remuk,
“Ini kematian,” katanya, dengan lirih yang mabuk.
Kita semua mayat berjalan dengan hati beku,
Menjadi boneka dari trauma yang mengendap di waktu.

Marx menulis dengan tinta merah darah,
“Ini ide,” katanya, menyulut dunia yang resah.
Tapi di tangan penguasa, ide hanyalah tali,
Membelit leher si miskin sampai mati.

Picasso mencoreng wajah dunia dengan warna,
“Ini seni,” katanya, penuh luka yang membara.
Namun seni di kanvas perang dan jeritan,
Hanyalah warna yang luntur oleh darah dan tangisan.

Gandhi berbisik dengan telapak terbuka,
“Ini cinta,” katanya, di antara debu dan luka.
Namun cinta di tanah yang lapar dan rakus,
Sering jadi umpan bagi serigala yang haus.

Schopenhauer menertawakan dunia yang karam,
“Ini penderitaan,” katanya, tenggelam tanpa salam.
Harapan hanyalah samudra yang terlalu dalam,
Kita berenang hanya untuk perlahan tenggelam.

Bertrand Russell menulis dalam sunyi,
“Ini kompetisi,” katanya, dengan getir yang ironi.
Namun di lomba tikus tanpa akhir,
Pemenangnya hanya tikus paling licik dan mahir.

Steve Jobs menggenggam dunia dalam genggaman,
“Ini iman,” katanya, mencipta masa depan.
Namun iman tanpa mata, tanpa telinga,
Hanya dogma yang dibungkus estetika.

Einstein melihat waktu menari-nari,
“Ini pengetahuan,” katanya, seakan dewa yang peduli.
Namun pengetahuan, setajam pedang,
Menebas harapan dalam dentuman bom yang bising.

Hawking menatap bintang jauh nan gelisah,
“Ini harapan,” katanya, seperti lilin di badai yang pasrah.
Namun harapan tanpa tangan untuk menggenggam,
Hanyalah angin yang tersesat di antara malam.

Kafka tersenyum dalam kabut yang pekat,
“Ini baru permulaan,” katanya, penuh isyarat.
Dan kita semua—malaikat kehilangan sayap,
Berjalan tanpa arah, menunggu takdir yang gelap.

Lalu apa itu hidup?
Sebuah simfoni tanpa nada,
Orkestra tanpa konduktor,
Lukisan yang dicoret tanpa makna,
Tawa yang pecah di tengah duka.

Dan kita?
Sekadar biola yang senarnya telah putus,
Bermain bagi penonton yang telah mati. (*)

Padang, 31, Januari 2025