Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pengaduan Janin (Refleksi Hari Ibu)

December 22, 2024 08:56
Foto: Kecerdasan Buatan
Foto: Kecerdasan Buatan

Oleh Suheri Simoen


“Ibu, berhakkah kau merampas hidupku sedang Tuhan memberi kesempatan.”

Wahai, wanita yang aku berada di rahimmu. Sungguh, tidur jadi tak nyaman, sejak kau membawaku ke jalan Kramat itu. Masih tebal dalam ingatan, percakapanmu dengan seseorang bersuara berat, ketika kalian menyoal diriku.

“Jadi begitu ceritanya?”

“Ia dok, tekad saya sudah lurus, dan ini harus. Telah saya ceritakan kepada dokter, mengapa ini saya lakukan?”

“Coba saya USG dulu, agar janinmu ketahuan telah berapa minggu. Oh, ini telah di atas tiga bulan. Cara apa yang Kau inginkan? Dan, upahnya tidak murah.”

“Cara apa pun dan berapa pun dok. Janin di kandungan ini mesti digugurkan.”

“Sepertinya kita akan gunakan suntikan saline.”

Ibu, kata-kata itu mengalir melalui aliran darah, menuju plasenta, dan merambat di telinga, selanjutnya berdiam di relung hatiku.

Aku kecewa, geram, marah, tapi cuma dapat menendang-nendang lemah rahimmu, hingga akhirnya kutulis pengaduan ini.

Bukankah kitab suci telah tegas menuliskan, bila Tuhan memuliakan janin selama umur kandungan, dan mengeluarkan dari rahim ibumu sebagai bayi.

Lupakah Ibu pada cerita di zaman Nabi Muhammad, kisah seorang wanita dari Ghamid?

Tuhan pun melarang membunuh hanya dikarenakan takut miskin dan membunuh tanpa alasan yang benar.

Jadi mengapa ibu, engkau merampas hidupku?

Bunda, lihatlah betapa mulia Tuhan menciptakanku. Mula-mula aku berada di rahimmu dalam bentuk nuthfah selama 40 hari. Kemudian berubah menjadi alaqah selama itu pula, selanjutnya dalam bentuk mudghah selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadaku.

Bunda, Jika nuthfah telah lewat 42 malam, maka Tuhan akan mengutus malaikatnya untuk membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya dan tulang-belulangnya.

Jadi, mengapa bunda kau seolah lebih kuasa dari Tuhan?

Wahai perempuan rupawan,
Cinta itu tidak pernah salah, terjadi kesalahan pada cinta itu karena kita salah pilih dan salah cara mencintainya. Dan engkau salah dua-duanya, Bunda.

Mengapa bunda tak pernah curiga pada sikap lelaki itu? Bukankah dia selalu menumpahkan janji-janji besar, padahal jika laki-laki janjinya terlalu besar, kemungkinan besar itu bohong. Bukankah dia suka bersolek dan selalu berpenampilan baik, padahal kalau terlalu baik untuk benar itu biasanya tidak benar!

Laki-laki sontoloyo itu juga bukankan suka mencari-cari kesempatan dalam kesempitan menyentuh bunda? Dan Bunda terlena dengan rayuan manisnya? Dengan gaya romantisnya, luluh karena ketampanannya, meski bunda tahu dia sukar untuk dihubungi, banyak alasan, dan menutupi identitasnya.

Semua itu bunda, melekat pada sifat laki-laki mata keranjang. Dan bunda telah salah memilih dan salah pula cara mencintainya.

Kepada laki-laki itu, ibarat rumah, bunda telah membuka pintu lebar-lebar, sehingga dengan leluasa dia masuk rumah bunda, bahkan sampai ke kamar-kamarnya. Tak ada lagi rahasia, tak ada lagi yang dapat disembunyikan, dia telah puas mendapatkan yang dia inginkan.

Kemudian, dia datang kepada bunda bila hanya ingin, dan lalu pergi dengan berbagai alasan. Dan masih tajam bunda, perkataan lelaki itu yang menggetarkan hati mulai ujung kepala sampai ujung kaki.

“Aku hamil Nero. Aku menuntut janjimu.”

“Menikah begitu? Coba berpikir jernih Nia, bila aku mengawinimu sekarang, kita akan dikeluarkan dari sekolah ini dan mengganti semua biaya ikatan dinas yang kita dapat. Aku belum siap menjadi ayah. Kita belum siap menikah.”

“Tapi kita dapat menikah secara agama Nero, menikah siri, agar bayi dalam kandungan ini mempunyai garis keturunan yang jelas. Bukan terlahir tanpa bapak. Kau harus bertanggungjawab Nero. Aku harus kau nikahi.”

“Nia, aku akan menikahimu tapi tidak sekarang. Kandungan ini,… gugurkan! Kita belum siap Nia. Kita akan dipecat bila mereka mendapati kau hamil. Kita akan dikeluarkan, lalu mengganti semua biaya pendididkan. Dan orangtua kita pasti akan murka bila mendapati kau telah berbadan dua.

Bila kita menikah, masa depan kita musnah. Dan, kuliah kita satu semester lagi. Kau mau seperti itu?”

Bunda, aku mendengar perkataan bengis itu dari laki-laki yang menyemprotkan aku ke rahimmu.

Ucapan itu sungguh melukai hatiku, aku marah bukan kepalang. Aku berontak, ingin teriak, tapi cuma bisa menggeliat dan menendang-nendang lemah perutmu. Aku tak hirau lagi kala kalian bertengkar dengan sengit, aku berontak dan bergerak semampuku, hingga akhirnya, aku mendengar bunda menangis, berteriak kemudian menjerit.

Aku benar-benar marah pada lelaki dursila itu, bunda.

(Bersambung)