Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ketimpangan Sosial Menciptakan Habitus

February 1, 2025 10:59
IMG-20250201-WA0052

Bagindo Ishak

Ciloteh “Catuih Ambuih”

“Krisis Pendidikan, Ekonomi, dan Moral: Tanda Kemunduran atau Pengendalian Peradaban?”

HATIPENA.COM – Pendidikan adalah pilar utama dalam membangun peradaban suatu bangsa. Namun, yang terjadi saat ini justru sebaliknya—pendidikan tidak lagi menjadi ruang pembelajaran yang humanis, melainkan cerminan dari carut-marut sosial yang lebih luas. Kekerasan terhadap guru, tawuran antar siswa, perundungan, dan pelecehan di lingkungan sekolah bukan sekadar insiden sporadis, melainkan gejala dari krisis multidimensi yang sedang melanda.

Di tengah kondisi ini, para guru justru disibukkan dengan urusan administratif yang berbelit, mengorbankan esensi utama mereka sebagai pendidik. Para tokoh masyarakat dan agama, yang dulu dihormati sebagai panutan, kini kehilangan kepercayaan publik akibat terseret dalam politik praktis.

Di sisi lain, tekanan ekonomi memaksa kedua orangtua bekerja, meninggalkan anak-anak tanpa bimbingan yang cukup di rumah. Pendidikan moral dan etika pun terpinggirkan, tergeser oleh tuntutan hidup yang makin tinggi. Kemiskinan terselubung merajalela, diperparah dengan sistem ekonomi yang mendorong masyarakat untuk berutang demi memenuhi kebutuhan dasar.

Rumah, kendaraan, hingga barang-barang konsumtif lainnya dapat diperoleh dengan kredit, tanpa memperhitungkan apakah pendapatan yang dimiliki cukup untuk membayarnya.

Seperti menarik kain sarung—satu sisi tertutup, sisi lainnya terbuka—masalah sosial ini terus berulang tanpa solusi tuntas. Hal yang semula dianggap tidak normal perlahan menjadi kebiasaan, hingga akhirnya diterima sebagai sesuatu yang wajar. Mentalitas korupsi pun tumbuh subur, menjadi pakaian sehari-hari bagi para oknum pejabat.

Tanda Kehancuran atau Upaya Sistematis untuk Mengendalikan?

Apakah ini sekadar kemunduran suatu bangsa, ataukah bentuk lain dari pengendalian sosial oleh oligarki? Negara yang kaya akan sumber daya justru menyaksikan rakyatnya terjebak dalam kemiskinan struktural. Sumber daya mineral dieksploitasi secara masif tanpa memberikan kesejahteraan yang nyata bagi masyarakat. Yang terjadi hanyalah ilusi kesejahteraan melalui bantuan langsung dan kemudahan pinjaman, yang pada akhirnya justru memperdalam ketimpangan ekonomi.

Alih-alih menciptakan lapangan kerja yang layak dan meningkatkan kompensasi upah, kebijakan ekonomi yang ada justru lebih banyak memberikan bantuan konsumtif yang tidak berdampak pada produktivitas.

Bantuan langsung yang tidak terarah sering kali mempercepat inflasi, bukannya menyelesaikan masalah kemiskinan. Akibatnya, kita seperti hidup di atas lumbung padi, tetapi tetap dalam kondisi kelaparan.

Krisis Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial

Menurut Paulo Freire, sistem pendidikan yang represif hanya akan melahirkan individu-individu yang terasing dari realitas sosialnya. Pendidikan semacam ini tidak membebaskan, melainkan menjinakkan dan mencetak individu yang pasif, tidak mampu berpikir kritis, dan mudah dikendalikan.

Sementara itu, Amartya Sen, seorang ekonom peraih Nobel, menegaskan bahwa kemiskinan bukan sekadar kekurangan uang, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk berkembang. Sistem yang hanya memberikan bantuan tanpa memberdayakan justru memperpanjang ketergantungan dan memperlemah daya saing masyarakat.

Dari perspektif sosiologi, Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa ketimpangan sosial menciptakan habitus atau pola pikir yang diwariskan dari generasi ke generasi. Jika masyarakat terus-menerus terpapar pada korupsi, ketidakadilan, dan keterbatasan ekonomi, maka kondisi tersebut akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tanpa adanya dorongan untuk melakukan perubahan.

Jika dibiarkan, kita tidak hanya menghadapi kemunduran, tetapi juga kehancuran peradaban secara bertahap. Namun, solusi bukanlah hal yang mustahil. Dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam berbagai aspek:

  1. Reorientasi Pendidikan

Mengurangi beban administratif guru agar mereka dapat kembali fokus pada tugas utama sebagai pendidik.

Menerapkan kurikulum yang tidak hanya menekankan akademik, tetapi juga membangun karakter dan pemikiran kritis.

Memastikan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari kekerasan.

  1. Reformasi Ekonomi

Mengurangi ketergantungan pada bantuan langsung dengan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

Meningkatkan upah yang layak agar daya beli masyarakat sejalan dengan biaya hidup.

Mengendalikan laju kredit konsumtif yang hanya memperburuk kemiskinan terselubung.

  1. Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Birokrasi

Memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara.

Menghilangkan budaya permisif terhadap korupsi, baik di kalangan pejabat maupun masyarakat.

  1. Penguatan Peran Keluarga dan Masyarakat

Memberikan dukungan kebijakan yang memungkinkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.

Meningkatkan kesadaran sosial agar masyarakat lebih proaktif dalam mengawal kebijakan publik.

Sejarah mencatat bahwa peradaban besar runtuh bukan karena serangan dari luar, tetapi karena kehancuran moral, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan yang dibiarkan berkembang tanpa solusi. Jika kita tidak segera bertindak, kita akan semakin jauh tenggelam dalam krisis yang tidak hanya merugikan generasi saat ini, tetapi juga masa depan bangsa.

Pilihan ada di tangan kita: terus berjalan dalam lingkaran yang tidak “bakajalehan” (berkejelasan), atau mengambil langkah nyata untuk membangun peradaban yang lebih adil dan berkelanjutan. (*)

Padang, 30 Januari 2025