Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Eksistensi Hidup dalam Perdebatan Para Pemikir

February 3, 2025 08:28
IMG-20250203-WA0039

Cerpen Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Salju turun perlahan, seperti abu yang jatuh dari langit setelah peradaban terbakar oleh pikirannya sendiri. Di sudut ruang sunyi, di sebuah kafe tua yang remang-remang, di tengah meja bundar yang penuh dengan gelas separuh kosong, mereka duduk—para pemikir yang telah mati, atau setidaknya telah membunuh dirinya sendiri dalam gagasan yang tak pernah menemukan rumah.

Dostoevsky menghembuskan asap rokok yang menggantung di udara, seolah ingin memastikan bahwa Tuhan masih ada di antara kepulan nikotin dan kecemasan.

“Ini neraka,” gumamnya lirih. Matanya menatap keluar jendela, menembus kabut malam yang dingin. “Aku menulis tentang manusia, tetapi semakin aku menulis, semakin aku yakin bahwa manusia hanyalah eksperimen yang gagal.”

Socrates terkekeh pelan, menuangkan anggur ke dalam cawan yang sudah retak.

“Ah, kawan, neraka bukanlah tempat. Neraka adalah ketidaktahuan yang dipelihara dengan keangkuhan.” Ia menyesap anggur itu, merasakan pahitnya seperti seorang lelaki yang meneguk racun dengan kepala tegak. “Bukankah lebih baik mati dalam kebijaksanaan daripada hidup dalam kebodohan?”

Aristoteles, yang sibuk mencoret-coret sesuatu di atas serbet kertas, mengangkat kepalanya.

“Namun, kebijaksanaan sendiri hanyalah paradoks.” Ia menatap serbetnya yang penuh coretan—sebuah diagram yang tak pernah selesai. “Kita mencari kebenaran, tetapi semakin kita mencari, semakin kita terjebak dalam labirin akal kita sendiri. Tidak adakah jalan keluar?”

Nietzsche menatap mereka semua dengan sinis, menyandarkan punggungnya ke kursi dengan tangan terlipat.

“Keluar? Untuk apa? Dewa-dewa telah mati, raja-raja jatuh, dan manusia masih sibuk menciptakan berhala baru untuk disembah.” Matanya tajam, penuh dengan kebencian yang ia pendam untuk dunia yang terus berulang dalam kebodohannya. “Kalian semua berbicara tentang kebenaran dan kebijaksanaan, tapi pada akhirnya, yang berkuasa tetaplah yang terkuat.”

Freud mengangkat alisnya, mencoret-coret sesuatu di buku catatan kecilnya.

“Semua ini hanyalah ilusi dari trauma kolektif kita.” Ia tersenyum kecil, seperti seorang dokter yang sudah bosan dengan pasiennya. “Manusia tidak pernah benar-benar mencari kebenaran. Mereka hanya mencari pembenaran atas luka-luka yang mereka warisi.”

Marx, yang duduk dengan tangan terkepal di atas meja, menggeram pelan.

“Omong kosong,” katanya. “Segala filsafat ini hanyalah candu bagi mereka yang cukup kenyang untuk merenungkannya. Sementara kalian semua berbicara tentang eksistensi, di luar sana ada berjuta manusia yang mati kelaparan karena sistem yang diciptakan oleh para pemikir yang berpura-pura peduli.”

Picasso, yang sejak tadi hanya menggambar wajah-wajah yang terdistorsi di atas kertas, akhirnya berbicara.

“Dan ketika darah mereka mengalir, kita akan melukisnya di atas kanvas dan menyebutnya seni.” Ia mengangkat bahunya. “Dunia tidak butuh kebenaran, Marx. Dunia hanya butuh ilusi yang cukup indah untuk membuat mereka lupa bahwa mereka sedang mati.”

Di sudut ruangan, Gandhi tersenyum tipis, tangannya bermain dengan butiran roti yang tersisa di piringnya.

“Tapi bukankah cinta adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita?” katanya pelan.

Schopenhauer tertawa getir, suaranya seperti gelas yang retak.

“Cinta? Cinta hanyalah penderitaan yang kita pilih sendiri.” Ia menatap langit-langit, seolah mencari jawaban di antara bayang-bayang lampu. “Pada akhirnya, harapan itu hanyalah ilusi yang kita pelihara untuk menunda kesedihan yang tak terhindarkan.”

Bertrand Russell menghela napas panjang, menyesap kopinya yang telah dingin.

“Dan dalam perlombaan ini, yang menang bukanlah yang paling bijak, tetapi yang paling licik.”

Di seberang mereka, Steve Jobs duduk dengan iPhone di tangannya, mengamati cahaya layar yang memantul di matanya.

“Kalian terlalu banyak berpikir,” katanya. “Hidup bukan soal kebenaran atau kebijaksanaan. Hidup adalah soal menciptakan sesuatu yang membuat orang percaya bahwa mereka punya makna.”

Einstein tersenyum kecil, menatap ke luar jendela, ke arah bintang-bintang yang berkerlip di langit.

“Mungkin,” katanya. “Tapi waktu tetap relatif, dan pada akhirnya, segalanya hanya akan menjadi partikel yang saling berbenturan dalam kehampaan.”

Hawking, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara yang hampir seperti bisikan.

“Namun harapan tetap ada, selama masih ada bintang yang bersinar.”

Di ujung meja, Kafka tersenyum samar, menyesap kopinya dengan tenang.

“Ini baru permulaan,” katanya.

Lalu mereka semua terdiam.

Di luar, dunia tetap berjalan—mobil-mobil melintas, manusia berlalu-lalang, cahaya lampu neon berkelap-kelip. Tak ada yang peduli pada perdebatan mereka. Tak ada yang peduli bahwa para pemikir terbesar dunia telah duduk bersama di satu meja, membahas eksistensi, mencari makna yang tak pernah ada.

Karena pada akhirnya, hidup hanyalah simfoni tanpa nada, orkestra tanpa konduktor, tawa yang pecah di tengah duka.

Dan kita semua?

Sekadar biola yang senarnya telah putus, bermain bagi penonton yang telah mati.

Padang, 2 Februari 2025.