Oleh Dalem Tehang
HATIPENA.COM – “Kenapa to adek ini. Sejak pulang tadi bawaannya uring-uringan melulu,” kata Dinda, mengomeli Gilang yang sejak tadi mengurung di kamar dan berwajah ‘batem’.
“Lagi nggak mood aja, mbak. Ada yang buat kesel hati dan pikiran,” sahut Gilang, dengan cueknya.
“Mbak paham kok, seringkali emang nggak cocok usia kedewasaan akal sama usia kedewasaan umur. Tapi, adek kan remaja yang teruji kedewasaan lahir batinnya,” kata Dinda.
“Nggak usah ngalemin gitu, mbak. Nggak pas timingnya,” celetuk Gilang, sambil membaringkan badan di kasur kamarnya.
“Mbak nggak ngalemin, dek. Cuma pengen ngingetin aja, sekuat apa pun, kita nggak akan menang kalau logika kalah sama emosi. Walau, ngebiasain ngelawan yang beginian emang nggak mudah,” tanggap Dinda dengan nada lembut.
“Kenapa mesti ngebiasain, mbak?” tanya Gilang.
“Karena kebiasaan yang dilakuin terus menerus bakal jadi kekuatan. Gitu juga, kebaikan yang dilakuin terus menerus bakalan jadi keajaiban. Dan kehidupan ini disesaki sama keajaiban,” ucap Dinda.
“O gitu ya. Alhamdulillah, adek nambah pengetahuan,” ujar Gilang, melepas senyuman.
“Nah, kalau sudah senyum gini, sekarang cerita. Kenapa bawaan adek uring-uringan dengan wajah ‘batem’ kayak tempe kelamaan di wajan,” kata Dinda, dan duduk di samping Gilang yang tetap rebahan.
“Adek lagi kesel aja sama kawan-kawan di kelas. Mereka pragmatis bener mikirnya,” Gilang mulai bercerita.
“Memangnya ada apa?” tanya Dinda. Penasaran.
“Sekolahan adek kan lagi disorot, karena nggak ikut tournament futsal rebutin piala Gubernur. Tadi guru olahraga bilang, kalau kepala sekolah tanya, jawab aja emang kami nggak siap. Eh, kawan-kawan langsung oke. Padahal nggak gitu. Kami siap tampil, cuma guru olahraga nggak mau dampingi karena istrinya mau lahiran,” Gilang mengurai.
“Terus yang adek anggep pragmatis itu di mananya?” tanya Dinda lagi.
“Ya sikap kawan-kawan yang langsung oke-in maunya guru olahraga itu, mbak. Mestinya kan ditimbang dulu,” lanjut Gilang.
“Adek tahu nggak apa pragmatisme itu?” Dinda ajukan pertanyaan.
“Tahulah, mbak. Pragmatisme itu sifat atau ciri seseorang yang cenderung mikirnya praktis, sempit, dan instan,” sahut Gilang.
“Bener itu. Tapi jangan lupa, pragmatisme juga dikenal sebagai aliran filsafat lo. Yang ngajarin, kalau kebenaran dari segala sesuatu berdasar manfaatnya. Jadi, nggak bisa memaknai sikap kawan-kawan hanya dari satu sisi aja. Adek mesti juga ngenilai dari sisi kemanfaatan dengan ke-oke-an atas kemauan guru olah ya iburaga tadi,” tutur Dinda panjang lebar.
“Adek nyambung kok, mbak. Dari arti pragmatisme yang mbak sampein, intinya sama aja. Beri manfaat. Cuma, pragmatisme yang adek sampein lebih ke arah negatif, yang mbak omongin karena berfilosofi jadinya ngarah ke positif. Bener gitukan,” jawab Gilang.
“Adek mbak satu-satunya ini emang cerdas,” sahut Dinda, dan spontan memeluk Gilang erat-erat.
“Pragmatisme itulah yang sekarang lagi dominan ya, mbak,” kata Gilang, setelah Dinda melepas pelukannya.
“Maksudnya gimana, dek?” tanya Dinda.
“Iya itu, pemanfaatan situasi dengan pikiran sempit, praktis, dan instan,” ucap Gilang.
“Contohnya kayak mana, dek?” tanya Dinda.
“Contoh aja ini ya, mbak. Pas sudah mau ganti gubernur, bupati atau walikota, pada siwek lobi sana, lobi sini, biar tetep masuk dalam lingkaran kekuasaan,” beber Gilang, sambil cengengesan.
“Ya itulah pelajaran kehidupan, dek. Nggak ada di sekolahan, pengetahuan kayak gini. Kita bisa belajar dari setiap orang dan setiap peristiwa tanpa harus memilah dan memilih, cuma tetep mesti berhati-hati,” kata Dinda.
“Kenapa mesti hati-hati, mbak?” tanya Gilang. Menatap wajah Dinda.
“Karena orang yang paling sengsara itu yang nggak bisa manfaatin akal dan pengalamannya, dek. Dan yang terbiasa dengan pragmatisme, akan ngalami kematian akal dan ketertutupan atas pengalaman hidupnya,” ujar Dinda, dan langsung keluar dari kamar, meninggalkan Gilang yang masih mengernyitkan dahi untuk memahami nilai intrinsik dari perkataannya. (*)